Tingkat dua untuk menyimpan padi dari hasil cocok tanam kami sendiri dan kesemuanya itu adalah untuk konsumsi penghuni rumah bangsal, yaitu kami sendiri dan lantai tiga paling atas adalah untuk tempat tinggal.
"Begitulah kami belajar bercocok tanam dan berternak dari para petani di kampung yang kami datangi yaitu disebuah daerah pegunungan di provinsi Hokkien dan untuk mencapai daerah itu tentu tidak mudah kami harus berjalan kaki berpuluh puluh kilometer naik turun gunung dengan beban bawaan seberat hampir 40 kg."
"Karena kerasnya hidup yang kami alami bersama membuat tali persahabatan dan persaudaraan diantara kami begitu kuatnya dan tidak akan mudah terpisah kecuali oleh kematian."
Kami tetap bisa mempertahankan bahasa dan budaya Indonesia dengan mengadakan pertemuan rutin di Hongkong setiap ada waktu kalau tidak sebulan sekali ya tiga bulan sekali tergantung situasi dan dalam setiap acara reunian itu kami juga sering mengundang team kesenian daerah kadang dari Jawa kadang dari Sumatera untuk daerah Sumatera biasanya dari daerah Batak." dan kebetulan pula penyanyi dan pemain musik yang menghibur rombongan ini di sebuah hotel di kota Parapat ini adalah group penyanyi yang pernah mereka undang juga.
"Diantara kamipun ada yang sudah jadi pengusaha kaya di Hongkong tapi tetap menjaga tali silaturahmi sesama kami yang berasal dari Indonesia bahkan biaya Tour ini dibiayai oleh mereka yang tingkat ekonominya lebih baik."
Ujar Mr. Shu asal Siantar yang kini berusia 72 tahun itu mengakhiri percakapan kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H