Ribut ribut masalah Pilgubsu yang mencalonkan Djarot saiful hidayat dari Jawa Timur membuat sebagian warga disini sempat mempertanyakan, "apakah tidak ada lagi Putra daerah yang bisa jadi pemimpin di daerah ini sehingga harus diimpor dari daerah lain.?"
jawabnya ya sudah pasti banyak. Tapi ini kan proses politik. Mungkin banyak yang Bagus tapi gak punya elektabilitas sementara Djarot ibarat Deterjen yang sudah punya nama dan mudah didapatkan di setiap pelosok penjuru negeri selain juga deterjennya yang sudah terbukti, "membersihkan paling bersih." seperti kata iklan.Â
Tentu beragam reaksi pun mulai bermunculan mulai dari yang mendukung sampai yang menolak dari yang memuji sampai yang mencerca bahkan sudah mulai ada yang bernada provokatif, bertebaran di Medsos baik itu di FB, Instagram, twitter dll.
Dan ternyata yang mendukung kehadiran Djarot, secara terang-terangan memang kebanyakan datang dari etnis non Jawa.
Sementara etnis Jawa di Sumut sendiri mungkin masih merasa "malu" akibat kelakuan mantan gubernur kemarin yang juga bersuku Jawa terlepas partai mana yang mencalonkannya.
Sehingga mungkin lebih baik mengambil sikap diam tapi bukan berarti Apatis.
Sikapnya orang Jawa yang tak mau ribut ribut dan lebih memilih untuk tidak berkomentar, itu lebih karena demi menjaga persatuan yang telah lama terjalin di daerah ini. Atau memang tak tahu mau berkomentar apa. (ketawa sedikit)
Karena Sumut adalah provinsi yang unik. Disebut unik karena disini banyak sukunya. Batak saja ada enam sub etniknya belum lagi melayunya yang terdiri dari melayu langkat, serdang, Asahan dan Melayu Deli ditambah lagi dengan suku pendatang seperti Minang, Aceh dll.
Bagi orang diluar Sumut,cuma tau kalau salam khas Medan itu ya 'HORAS.!'
padahal masih banyak salam khas daerah yang lain seperti,Â
Mejuahjuah(Karo), Njuahjuah (Pakpak), Ahooy (Melayu Deli) Jahowu(Nias) dan Horas sendiri digunakan oleh suku batak Toba, Simalungun Angkola dan Mandailing.Â