Mohon tunggu...
ono Prayetno
ono Prayetno Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai semua Ciptaan Tuhan tanpa membeda bedakan

Bekerja sebagai Pramuwisata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Orang Jawa di Provinsi Sumut yang Unik

9 Januari 2018   11:35 Diperbarui: 25 Juli 2019   16:44 2507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ribut ribut masalah Pilgubsu yang mencalonkan Djarot saiful hidayat dari Jawa Timur membuat sebagian warga disini sempat mempertanyakan, "apakah tidak ada lagi Putra daerah yang bisa jadi pemimpin di daerah ini sehingga harus diimpor dari daerah lain.?"

jawabnya ya sudah pasti banyak. Tapi ini kan proses politik. Mungkin banyak yang Bagus tapi gak punya elektabilitas sementara Djarot ibarat Deterjen yang sudah punya nama dan mudah didapatkan di setiap pelosok penjuru negeri selain juga deterjennya yang sudah terbukti, "membersihkan paling bersih." seperti kata iklan. 

Tentu beragam reaksi pun mulai bermunculan mulai dari yang mendukung sampai yang menolak dari yang memuji sampai yang mencerca bahkan sudah mulai ada yang bernada provokatif, bertebaran di Medsos baik itu di FB, Instagram, twitter dll.

Dan ternyata yang mendukung kehadiran Djarot, secara terang-terangan memang kebanyakan datang dari etnis non Jawa.

Sementara etnis Jawa di Sumut sendiri mungkin masih merasa "malu" akibat kelakuan mantan gubernur kemarin yang juga bersuku Jawa terlepas partai mana yang mencalonkannya.

Sehingga mungkin lebih baik mengambil sikap diam tapi bukan berarti Apatis.

Sikapnya orang Jawa yang tak mau ribut ribut dan lebih memilih untuk tidak berkomentar, itu lebih karena demi menjaga persatuan yang telah lama terjalin di daerah ini. Atau memang tak tahu mau berkomentar apa. (ketawa sedikit)

Karena Sumut adalah provinsi yang unik. Disebut unik karena disini banyak sukunya. Batak saja ada enam sub etniknya belum lagi melayunya yang terdiri dari melayu langkat, serdang, Asahan dan Melayu Deli ditambah lagi dengan suku pendatang seperti Minang, Aceh dll.

Bagi orang diluar Sumut,cuma tau kalau salam khas Medan itu ya 'HORAS.!'

padahal masih banyak salam khas daerah yang lain seperti, 

Mejuahjuah(Karo),  Njuahjuah (Pakpak), Ahooy (Melayu Deli) Jahowu(Nias) dan Horas sendiri digunakan oleh suku batak Toba, Simalungun Angkola dan Mandailing. 

Keunikan tersendiri juga ada di Medan sebagai ibukota Provinsi. Suku terbanyak adalah suku Jawa(35%)  urutan kedua Tionghoa, dan yang menemukan kota Medan itu adalah Guru Patimpus Sembiring sama marganya dengan Tifatul sembiring dan Penduduk asli Medan itu suku Melayu Deli dan Karo, jadi semua suku suku di Sumut itu punya andil dalam membangun maupun merusak daerah ini.

Sehingga kehadiran gubernur Jawa itu oleh sebahagian orang atau kelompok dianggap bisa paling tidak mengurangi kecemburuan sosial atau ego ego sektoral yang ada. 

Ibaratnya Gubernur Jawa itu sebagai penengah.

Bagi warga Jawa yang tinggal di Sumut sendiri tentu lebih mementingkan keamanan dari pada ikut ikutan berpolitik cukuplah warga Jawa yang di Aceh, dulu pernah jadi korban Politik dan menorehkan luka yang sangat dalam dan meninggalkan trauma yang berkepanjangan akibat pengusiran besar-besaran dari tanah aceh yang terjadi pada tahun 2002.

Warga Jawa di Sumut pun cukup tau diri akan keberadaannya yang sudah biasa hidup bersahaja di Tanah Sumatera Utara ini. Apalagi Etnis Jawa di Sumut itu sangat identik dengan tukang cuci atau PRT, tukang bangunan, buruh perkebunan, tukang jaga ladang, jagaVilla, bungalow atau sopir pribadi dan profesi "blue collar" lainnya artinya walaupun jumlahnya banyak tapi masih sedikit sekali yang  berkiprah di politik maupun di Pemerintahan.

Berbeda sekali dengan penduduk asli Sumut yang memang punya semangat tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya yang juga punya kemauan belajar yang besar walaupun hidup sederhana sehingga mereka lebih banyak menduduki posisi strategis baik di Pemerintahan maupun swasta tidak hanya di daerahnya tapi juga di daerah lain maupun di Pusat.

Akibat dari status sosial yang terlanjur melekat itu banyak orang Jawa kemudian menanggalkan identitas"kejawaannya."  dan membaur jadi "kekaro-karoan" atau "kebatak-batakan," atau "kemelayu melayuan."

Akhirnya, biarlah politik terus berjalan sesuai iramanya tapi tetaplah bijaksana dalam menentukan pilihan karena masih banyak kita yang siap 'berdemonstrasi' tapi belum siap berdemokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun