Seorang teman memperkenalkanku dengan temannya yang baru dikenalnya. Penampilannya sederhana dan bersahaja, Â bicaranya pun sangat santun dan selalu tersenyum setiap kali dia menimpali percakapan kami.
Setelah beberapa saat ku tahu kalau dia seorang guru SLTA Â dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang sedang melakukan lawatan ke Medan - Danau Toba untuk perjalanan 4hari 3malam bersama rombongan sejawatnya sesama Guru.
Dia sedikit terheran ketika aku menyebutkan kalau aku adalah orang Jawa yang lahir di Sumatera sama herannya dia ketika didapatinya semua crew didalam Bus yang membawa rombongan mereka adalah orang Jawa yang juga adalah kelahiran Sumatera, Â yaitu mulai dari sopir, kernet dan Tour guide semua orang Jawa.
"Kok bisa ya?!"
Padahal sepengetahuannya Medan itu terkenal dengan Orang batak. seperti yang sering dilihatnya di acara acara reality show di TV.
Sampai sampai ketika dia pertama menjabat tanganku pun dia menyapaku dengan ungkapan, Â "HORAS..!" salamnya orang batak aku balik membalas dengan ucapan "Mejuahjuah !" karena kebetulan TKP nya di Berastagi tepatnya di Hotel Mikie Holidays.
" tapi bapak ini logat Jawanya sudah hilang ya?" tanyanya.
" Ya ..pak, wong saya lahir dan tumbuh besar mungkin kelak ninggalnya pun disini juga di Berastagi Tanah Karo."
"Sebagai bahasa kedua pun kami orang Jawa disini menggunakan bahasa Karo" Â kataku menerangkan dan kami orang Jawa disini punya julukan tersendiri yaitu "Karoja" Â = Karo Jawa. Sementara saudara Jawa kita yang di Parapat Danau Toba sana punya panggilan "Jawa Keparat," atau Jawa Kelahiran Parapat.
Anak anak kami  disini adalah Anak pejabat untuk yang orangtuanya kawin campur singkatan dari Peranakan Jawa Batak.  PerJaKa untuk yang lahir di Tanah karo ini atau Peranakan Jawa Karo.
"Hahaha.. bapak ini ada ada saja.!" tawanya menambah keakraban kami bertiga.
Sebenarnya ga ada yang istimewa  atau yang baru dengan semua kekagumannya itu karena Indonesia memang milik semua suku yang ada di Indonesia siapa saja boleh tinggal dimana saja sejauh kita bisa mematuhi dan menghormati adat istiadat daerah dimana kita berada tanpa harus menghilangkan identitas kesukuan kita.  Seperti pepatah minang yang mengatakan ; Â
 "Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang"
" Dimana Bumi Dipijak disitu Langit Dijunjung "
Aku hanya tersenyum sambil mengingat ingat cerita Kakekku dulu yang katanya dikibulin sama kaki tangan Belanda yang katanya mau diajak nonton wayang disebuah gedung, Tak taunya dimasukkan ke kapal laut dan didaratkan ke tanah deli dan kemudian dipekerjakan di Perkebunan tembakau di daerah kabupaten Langkat.
"Asalnya dari Jawa mana pak?"
"Kalau menurut mbahku dari pihak ibu, dia berasal dari daerah Sleman Yogyakarta." aku menjawab pertanyaannya.
"Gak pernah pulang ke Jawa pak? " tanyanya
" gak pak, Â pernah ke Jogja tapi ga pernah mikir mau mencari asal usul mbah kami itu."
"Karena memang kami tidak lagi ada kontak dengan keluarga disana." Â aku menjelaskan sambil kemudian kami berjabat tangan dan saling berpelukan karena aku dan groupku harus check-out dari hotel terlebih dahulu untuk menuju destinasi kami selanjutnya yaitu Parapat.
"Terimakasih pak, sudah ngomong banyak ternyata di daerah Batak ketemu sedulur" Â kami pun mengakhiri percakapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H