Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Harus Bagaimana dengan Buddha?

6 Desember 2018   18:35 Diperbarui: 6 Desember 2018   18:44 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah Anda pernah bertemu dan bahkan menyentuh tubuh Sang Buddha? Mungkin Anda akan menjawabnya, "Tidak, karena Sang Buddha telah memasuki maha parinirvana." Ini adalah sebuah pola pikir yang banyak dianut orang dewasa ini: menganggap bahwasanya Buddha telah 'meninggal' dan oleh karena itu sekarang Buddha sudah tidak ada lagi, dan yang ada hanya ajaran beliau saja yang tertinggal. 

Pola pikir demikian meninggalkan sebuah lubang besar di hati umat Buddha Indonesia karena Triratna bagi mereka sudah tidak lengkap lagi, hanya tertinggal Ratna Dharma dan Ratna Sangha. Lubang inilah yang rawan bisa diisi oleh klesha keragu-raguan dan bisa menjadi alasan utama orang-orang mulai banyak berpindah agama, mempertanyakan manfaat dari belajar Buddhadharma, merasa terpaksa kalau harus ke vihara dan sejenisnya.

Bagaimana seandainya Anda bertemu dengan Buddha? Bayangkan bahwa Buddha pada dasarnya setiap hari ada, hidup dan beraktivitas di dekat Anda. Mungkin terasa sulit? Akan tetapi, sebenarnya tidaklah sulit. Karena Anda memang sering bertemu dengan Buddha. Bahkan mungkin tidak hanya sekali, tapi bahkan berkali-kali sepanjang hari. Di manakah Anda bertemu dengan Sang Buddha? Jawabannya ada di altar, baik di rumah Anda ataupun di vihara.

Anda mungkin akan menyanggah, "Bukankah itu hanya patung Buddha? Meskipun Aku memberi hormat pada-Nya, tapi aku menghormati Sang Buddha yang disimbolkan oleh patung itu. Bukan patung itu." Jika Anda berpikir seperti ini, maka Anda perlu mempertimbangkan ulang hal tersebut dengan bercermin pada ucapan Buddha berikut:

"Jika seseorang dengan tulus menghormat padanya, maka patung atau stupa itu akan menjadi sama dengan kehadiranku sendiri, tanpa perbedaan sedikitpun." -- Sutra Pahala Memandikan Buddha Rupang  (Taisho Tripitaka 698)

Dalam sutra tersebut, Sang Buddha mengatakan bahwa jika kita memberikan hormat pada patung Buddha (termasuk stupa), patung tersebut akan menjadi sama dengan kehadiran Sang Buddha itu sendiri tanpa perbedaan sedikitpun. Kuncinya adalah 'sraddha' yakni keyakinan. Penghormatan yang tulus akan terjadi secara otomatis jika keyakinan kita mampu berakar dengan kuat.

Poin ini juga dilukiskan oleh kisah seorang perempuan tua yang memperoleh relik Buddha asli karena keyakinannya kepada sebuah gigi anjing. Dikisahkan bahwa seorang perempuan yang tulus dari suatu keluarga kaya di Tibet memiliki seorang anak yang ingin berkelana ke India dengan seorang teman dalam ekspedisi dagang. Sang ibu tidak merelakannya pergi karena mereka sedang tidak membutuhkan uang. Akan tetapi, ketika sang anak bersikeras, sang ibu akhirnya mengizinkan setelah meminta anaknya berjanji untuk membawakan relik suci dari tanah di mana Sang Buddha pernah hidup. Maka sang anak pergi dan setelah tiba di India, cukup sukses dalam setiap transaksinya. Setelah menyelesaikan urusannya, ia kemudian berencana pulang ke Tibet. 

Ketika hampir sampai di rumah, ia menyadari bahwa ia telah melupakan janjinya untuk memperoleh relik yang diminta oleh ibunya. Malu mengakui kelalaiannya, ia melihat  bangkai anjing di pinggir jalan dan mengambil salah satu giginya. Ketika tiba di rumah, ia memberikan gigi itu kepada ibunya dan berpura-pura mengatakan bahwa itu adalah relik suci dari seorang Arahat. Sang ibu menaruh gigi itu di altarnya dan memujanya secara pantas. Beberapa saat kemudian, gigi itu memancarkan cahaya dan memberkahi perempuan tua tersebut karena keyakinannya yang mendalam, seakan-akan itu adalah relik asli.

Pada dasarnya, kita harus memahami bahwa kemampuan kita dalam mempersepsi objek adalah bergantung pada jenis skandha yang membentuk diri kita dan bagaimana cara skandha-skandha ('nama' dan 'rupa') tersebut bekerja. Ini pada gilirannya adalah sangat bergantung pada karma dan klesha kita. Sebagai contoh, seekor anjing (dengan skandha 'rupa'-nya yang berbentuk anjing dan kemampuan batin atau 'nama'-nya dalam mencerap objek) ketika melihat air comberan, tidak akan mempermasalahkannya dan akan meminumnya. 

Berbeda dengan manusia yang akan mengidentifikasi air comberan yang sama tersebut sebagai kotor dan akan membuangnya. Demikian pula, sang anjing pun tidak akan bisa memahami betapa emas adalah barang yang sangat bernilai sedangkan manusia akan melihat emas sebagai sesuatu yang sangat berharga dan akan menyimpannya sebaik-baiknya.

Dengan logika yang sama, kitab-kitab suci menjelaskan bahwa simbol tubuh yang kita lihat dalam  bentuk  yang  terbuat dari tanah liat, tembaga, dan material lainnya sebenarnya akan bisa dirasakan sebagai tubuh emanasi Buddha yang  unggul pada saat batin kita telah mencapai kondisi konsentrasi arus Dharma ('dharmasrota samadhi') di Marga Penghimpunan. Lalu ketika kita mencapai tingkat Bodhisatwa pertama, simbol-simbol tubuh Buddha tersebut pun akan bisa terlihat sebagai tubuh kenikmatan yang sebenarnya dari seorang Buddha.

Jadi ini adalah kasus yang sama dengan perbedaan antara manusia dan anjing dalam melihat, mencerap dan mengidentifikasi emas. Buddha pada dasarnya ada di sana, namun kondisi batin kita (yang dipengaruhi oleh karma dan klesha kita masing-masing) yang tidak sanggup melihat, mencerap dan mengidentifikasinya. Oleh karena itu, adalah sangat penting bagi kita untuk berlatih dari sekarang, secara perlahan-lahan dan bertahap, dalam menganggap simbol-simbol tersebut (arca, lukisan dsbnya) sebagai makhluk sesungguhnya yang mereka representasikan, yakni Sang Buddha itu sendiri.

Lebih jauh lagi, sebagai umat Buddha yang mengambil Triratna sebagai perlindungan kita, kita juga perlu berlatih untuk menjaga konsistensi dari tubuh, ucapan dan batin kita dalam berlindung kepada Triratna. Apa artinya? Artinya kita tidak sekedar mengucapkan "Buddham-Dhammam-Sangham Saranam Gacchami" melalui mulut kita, namun batin kita malah menganggap bahwa Buddha sudah tidak ada lagi sekarang dan tindakan kita dalam memperlakukan simbol-simbol Buddha (yang sebenarnya adalah Buddha itu sendiri) malah dengan tidak sopan.

Kita harus  berlatih menganggap rupang dan objek-objek sejenisnya sebagai Buddha dan Bodhisatwa yang sesungguhnya seperti yang mereka simbolkan. Dengan demikian, sudah seharusnya kita menghormati rupang Buddha tersebut sebagaimana kita menghormati Sang Buddha itu sendiri. Inilah yang dinamakan konsistensi dari tubuh, ucapan dan batin kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan? 

Hal-hal yang dianjurkan sebagai cara kita dalam memperlakukan simbol Buddha antara lain adalah:

  • Kita harus berlatih melihat semua simbol Buddha, baik itu gambar, arca, maupun ukiran, sebagai Buddha itu sendiri;
  • Kita harus menunjukkan rasa hormat yang besar seolah-olah simbol Buddha tersebut adalah Buddha yang hidup dan kita harus memberikan namaskara, persembahan, pemandian,dan membersihkan tempat rupang tersebut;
  • Kita harus berlatih melihat semua simbol Buddha sama rata tanpa memperdulikan bahan pembuatnya, apakah ia terbuat dari batu, kayu, emas, ataupun gypsum;
  • Kita harus berhati-hati dalam menggunakan pemilihan kata ketika membicarakan sebuah simbol Buddha, karena semua simbol Buddha adalah Buddha itu sendiri. Apa yang hendak kita bicarakan bukanlah kualitas tubuh Buddha, namun ketrampilan dari sang senimannya. Katakanlah, "ukirannya kurang indah," atau "kemampuan senimannya biasa-biasa saja," bukan "arca Buddha tersebut kurang indah."

Kemudian hal-hal yang dianjurkan untuk TIDAK dilakukan, antara lain:

  • Berlaku tidak hormat pada simbol Buddha seperti menjulurkan kaki ke arahnya, meletakkannya di tempat yang tidak layak termasuk di lantai tanpa alas;
  • Membesar-besarkan kekurangan fisik pada pahatan arca tersebut seperti keretakan dan sebagainya;
  • Memperjualbelikan simbol Buddha. Kita tidak seharusnya memperjualbelikan Guru kita sendiri, yang menjadi sumber perlindungan kita. Akan tetapi, kita bisa mengatakan 'mengundang' sebagai pengganti kata 'membeli', dan mengatakan 'persembahan' sebagai pengganti kata 'harga'. Pemilihan kata ini menunjukan seberapa besar penghormatan kita kepada Buddha;
  • Memperlakukan simbol Buddha layaknya objek milik pribadi yang bisa dibuang atau dirusak semaunya.

"Bahkan   mereka   yang   memandang   dengan   batin   yang terganggu, figur Para Sugata yang dilukis di dinding, pada akhirnya akan bertemu sepuluh juta Buddha." -- Saddharma Pundarika Sutra

Cuplikan sutra di atas menjelaskan tentang manfaat dari mellihat simbol-simbol Buddha. Bahkan jika seseorang yang memandang suatu figur Buddha dalam keadaan batin yang marah pun bisa mendapatkan manfaat-manfaat seperti itu, tentu saja kita juga akan mendapatkan manfaat yang lebih ketika memandang figur tersebut dengan sikap penuh hormat.

Lebih jauh lagi, Arya Sariputra tidak pernah meninggalkan sisi Sang Buddha setelah menjadi salah satu dari dua murid unggul beliau; dan dikatakan bahwa ini adalah akibat dari sebuah kejadian pada kehidupan sebelumnya ketika beliau memandang figur Buddha dalam kekaguman. Arya Sariputra terlahir sebagai seorang kurir dan sedang menginap di sebuah caitya yang telah ditinggalkan. Beliau menyalakan pelita yang sangat  terang dan duduk memperbaiki sepatunya sambil beristirahat. Lalu, melihat gambar Sang Tathagata di dinding, beliau berpikir, "Betapa saya ingin bertemu langsung dengan makhluk menakjubkan ini!" Harapan ini, yang beliau buat berulang kali, adalah penyebab yang memungkinkannya bertemu dengan Buddha Sakyamuni.

Dari penjelasan di atas, maka kesimpulannya adalah kita harus memperlakukan simbol Buddha sebagai Sang Buddha yang sesungguhnya. Dengan akal budi dan logika, kita bisa dengan mudah menentukan apakah sebuah perbuatan itu layak atau tidak layak dilakukan pada Sang Buddha. Sebagai contoh, jika kita masih bingung, kita bisa mencoba membayangkan mengenai perbuatan apa yang pantas dan tidak pantas dilakukan pada tamu kita. Jika tamu kita saja tidak pantas diperlakukan seperti itu, apalagi sosok Sang Buddha, sang Guru dan pelindung kita.********

Ditulis oleh Manavacary Jayawardhana dan Praviravara Jayawardhana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun