Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapakah Tara?

21 Desember 2015   18:08 Diperbarui: 21 Desember 2015   18:08 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arya Tara memiliki banyak sebutan, salah satunya adalah “Ibu dari para Buddha”. Orang mengenal ada dua “Ibu dari para Buddha” yaitu Arya Tara dan Prajna Paramita.

Prajna Paramita disebut sebagai Ibu dari para Buddha karena semua makhluk yang hendak mencapai Kebuddhaan harus menyempurnakan Kebijaksanaan Transendental dirinya. Penyempurnaan Kebijaksanaan Transendental (Sanskrit: Prajna Paramita) menghasilkan Kebuddhaan layaknya seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya di dunia. Prajna Paramita yang dipersonifikasi sebagai seorang Buddha yang berwujud wanita adalah manifestasi atau simbol dari kebijaksaan tersebut. Di Indonesia, Prajna Paramita paling dikenal melalui arca-Nya yang dipercaya dibuat sekitar abad ke-13 Masehi berdasarkan paras Ken Dedes, permaisuri pertama Kerajaan Singhasari di Jawa Timur yang juga dipercayai sebagai ibu dari asal mula silsilah para raja yang memerintah di pulau Jawa dari zaman Singhasari hingga ke Majapahit.

Di sisi lain, Arya Tara dikenal sebagai Ibu dari para Buddha karena Arya Tara merupakan manifestasi atau simbol dari Aktifitas Buddha . Apabila Kebijaksanaan Transendental adalah kekuatan yang menghasilkan pengalaman pencerahan secara langsung, maka Aktifitas Buddha adalah kekuatan yang menghasilkan kondisi-kondisi (atau faktor-faktor pendukung) yang memungkinkan lahirnya Kebijaksaan Transendental. Arya Tara disebut sebagai Ibu dari para Buddha karena Arya Tara adalah manifestasi atau simbol dari energi/aktifitas Buddha yang selalu hadir di mana-mana, bagaikan ‘Matahari yang memancarkan cahayanya secara alami dan menyebabkan bunga teratai bermekaran serta benih-benih menjadi tumbuh.’ Arya Tara adalah Ibu para Buddha karena berkat beliaulah, muncul kondisi-kondisi pendukung yang menyebabkan makhluk hidup dapat berevolusi dan berkembang menuju pencerahan. Arya Tara banyak digunakan sebagai objek istadewata di dalam meditasi tantrik. Dengan memeditasikan Arya Tara, seseorang membuat koneksi batin dengan Aktifitas Buddha dan menarik faktor-faktor positif seperti kesehatan, kebahagiaan, keberlimpahan (materi) dan kesuksesan ke dalam hidupnya, dan kemudian, energi ini dalam tingkatan yang lebih tinggi, akan bermanifestasi menjadi cinta kasih, belas kasihan, iba, keinginan untuk memberi, niat untuk menolong dan sebagainya yang pada akhirnya akan mendorong dirinya mencapai pencerahan.

Dan yang paling penting yang perlu diingat adalah bahwa kita sendiri juga pada akhirnya harus menjadi Buddha. Oleh karena itu, Arya Tara , Sang Ibu dari semua Buddha di masa lalu, sekarang dan yang akan datang, pada dasarnya juga adalah Ibu kita sendiri!

Asal Mula

Sebagaimana halnya kesinambungan mental (mental continuum) seorang Buddha yang tidak mungkin muncul sekonyong-konyong dari ketiadaan, namun pastilah muncul sebagai kelanjutan dari kesinambungan mental seorang makhluk yang sebelumnya belum tercerahkan, demikian juga halnya Arya Tara pasti sebelumnya merupakan manusia biasa pula seperti halnya diri kita sendiri, yang setelah berlatih di Jalan Bodhisatva selama waktu yang sangat lama, melalui kelahiran demi kelahiran, hingga akhirnya memperoleh Pencerahan Sempurna.

Dikisahkan bahwa pada banyak kalpa yang lampau yang tak terhitung jumlahnya terdapat seorang Arahat Tathagata Buddha Dundubhiswara yang membabarkan Dharma di dunia. Ketika itu lahirlah seorang putri raja yang diberi nama Rembulan Bijaksana (Sanskrit: Jnanacandra). Putri ini di kemudian hari memiliki keyakinan yang sangat mendalam yang tak tertandingi kepada Sang Triratna dan para Bodhisatwa serta para Srawaka yang tak terhitung jumlahnya. Putri inilah yang kemudian juga bersumpah untuk mencapai Kebuddhaan melalui tubuh perempuan dan Sang Tathagata Dundubhiswara ikut meramalkan bahwa sampai mencapai pencerahan Putri Jnanachandra akan menjadi perempuan dengan nama Tara (Sang Pembebas).

Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa di kalpa kita saat ini, Arya Tara pertama kali mewujudkan diri sebagai emanasi dari Yang Maha Welas Asih, Arya Avalokiteswara (Mandarin: Guan Yin Phu Sa) dan lahir dari genangan air mata beliau. Pada suatu waktu, Arya Avalokiteswara menangis penuh kesedihan karena melihat keadaan para makhluk yang dipenuhi penderitaan, dari genangan air mata beliau, Arya Tara muncul dan membesarkan hati beliau dalam dengan bersabda: “Janganlah berkecil hati, Saya akan membantu Engkau membebaskan semua makhluk!” Karena janji inilah, maka Arya Tara dipercaya selalu mendengarkan penderitaan semua makhluk hidup dan akan dengan sangat cepat dan tangkas untuk datang menolong.

Wujud dan Penampakan Tara

Karena Arya Tara merepresentasikan Aktifitas Buddha dan fenomena ini tidak ada batasan bentuknya, maka demikian pula Arya Tara muncul dalam berbagai bentuk yang tak terhingga jumlahnya di dunia ini.

Berikut adalah gambaran sosok Arya Tara secara umum, meskipun masih banyak pula bentuk-bentuk lain yang tidak dijelaskan di sini:

Arya Tara digambarkan dalam wujud perempuan muda, cantik dan penuh damai, seperti berusia 16 tahun, karena pencerahan membawa kondisi batin dan kebahagiaan serta stamina fisik layaknya seorang remaja. Beliau berwarna hijau emerald karena hijau adalah simbol energi (Sanskrit: prana) yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Tahta beliau ditopang oleh delapan singa yang melambangkan delapan kualitas pencerahan agung. Tangan kanan membentuk mudra ‘Kemurahhatian Terunggul’, melambangkan bahwa beliau selalu sigap memberikan pencapaian-pencapaian konvensional seperti kesehatan, kemakmuran dan sebagainya, serta juga pencapaian sejati berupa Kebuddhaan, kepada semua makhluk. Tangan kiri membentuk mudra ‘Menganugerahkan Perlindungan’ (ibu jari menyentuh jari manis, sedangkan ketiga jari lainnya terbuka ke atas), melambangkan bahwa beliau membawa perlindungan sejati dari Triratna. Kedua tangan juga memegang tangkai bunga Utpala, melambangkan bahwa praktik meditasi dan mantra beliau dapat memberikan kekuatan kepada sang praktisi untuk membawa kecantikan dan kesucian dari tradisi Tantrik ke dalam semua situasi dan kondisi kehidupan. Kaki kanan dalam postur ‘Pahlawan’ menunjukkan bahwa beliau tidak pernah takut dan selalu sigap serta aktif turun ke segala aktifitas duniawi untuk menolong para makhluk. Kaki kiri terlipat ke dalam membentuk postur ‘Meditasi’ menunjukkan bahwa meskipun seorang praktisi Tara aktif terlibat dalam segala kegiatan menolong di duniawi, batinnya harus selalu tenang di dalam kondisi meditatif.

Tara di Nusantara

Di beberapa wilayah Sunda, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bahkan Bali, sejak jaman dahulu yang tidak dapat ditelusuri asal mulanya hingga saat ini masih berlangsung pemujaan kepada Dewi Sri yang dikaitkan dengan tanaman padi. Berdasarkan studi para cendekiawan, dipercaya bahwa Dewi Sri atau Dewi Padi ini adalah perwujudan dari Arya Tara sebagai Vasundhari / Vasudharini, pemberi kemakmuran, dengan tubuh berwarna kuning dan memegang setangkai padi menguning.

Candi Kalasan di Yogyakarta diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di lokasi, candi ini dibangun oleh Raja Rakai Panangkaran dari Wangsa Sanjaya berdasarkan anjuran dari Guru Raja Syailendra sebagai mandala bagi Arya Tara dan sekaligus sebagai objek ibadah dan perlindungan bagi kerajaan, khususnya dari ancaman bencana alam, makhluk-makhluk jahat, binatang-binatang buas maupun penyakit epidemis.

Candi Jajaghu, atau yang kini lebih popular dikenal dengan nama Candi Jago, terletak di Jawa Timur dan merupakan candi Buddhis yang dibangun oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari (abad ke-13) sebagai pelimpahan kebajikan atas meninggalnya ayah Beliau, Raja Jaya Wisnuwardhana. Raja Kertanegara adalah seorang praktisi Tantra yang sangat unggul dan pada masa kekuasaan Beliaulah, praktik Tantra di Indonesia mengalami puncak keemasan. Di Candi Jago, dapat dijumpai arca Ksamatara dan Brkutitara, hampir seukuran orang dewasa, yang merupakan salah satu dari perwujudan Arya Tara.

Lebih jauh lagi, Guru agung dari India, Atisha Dipamkara Srijnana (982-1055) adalah orang yang berjasa besar dalam memurnikan Buddhisme di Tibet yang pada abad ke-10 sudah sangat merosot. Beliau jugalah yang memulai suatu tradisi ajaran dan latihan spiritual Buddhis yang bertahap atau dalam bahasa Tibet disebut sebagai Lamrim (Jalan Bertahap Menuju Pencerahan), yang mana semua ajaran Buddha dipadukan dan disusun secara sistematis sehingga mudah bagi praktisi mana pun untuk mengetahui maksud ajaran Buddha dan mempraktikannya. Adalah berdasarkan nasihat dari Arya Tara, Guru Atisha belajar selama 12 tahun di bumi Sriwijaya, Indonesia, di bawah kaki Guru utamanya yang sangat Beliau kasihi yaitu Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Di bawah bimbingan Sang Guru, Atisha belajar dan memeditasikan cinta kasih (metta) dan welas kasih agung (maha karuna) dalam upaya membangkitkan batin pencerahan (bodhicitta).

********

Panitia Pembangunan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling mengajak segenap khalayak masyarakat Indonesia untuk kembali mengingat kepada Arya Tara, mengaktifkan kembali koneksi karma kita dengan beliau dan memohon kepada beliau untuk dapat selalu menjaga bumi Nusantara kita yang tercinta ini, melindungi kita dari marabahaya dan bencana serta membantu menjaga keberlangsungan dan kelestarian Buddhadharma di Indonesia melalui pembangunan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling dan menganugerahkan umur yang panjang kepada Y.M. Guru Dagpo Rinpoche.

Untuk informasi lebih lanjut tentang cara berpartisipasi:

www.taradinusantara.org

www.facebook.com/kcimonastery

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun