Mohon tunggu...
Desak Gde Pravina Dianthi
Desak Gde Pravina Dianthi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan mahasiswa S1 Program Studi Manajemen, Fakultas Bisnis dan Ekonomika, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Reliable, persistent, and dedicated. Quickly adapt to a new environment and is interested in building new relationships. I am interested in the matter of sustainability and voluntarily work.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fast or Sustainable Fashion? Dunia Tekstil dan Thrifting sebagai Bentuk Gerakan Sustainability

11 Juni 2023   23:50 Diperbarui: 12 Juni 2023   00:08 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Goodwill, 2020 (https://www.goodwillsew.com/blog/5-reasons-to-embrace-the-art-of-thrifting)

Salah satu permasalahan yang cukup berdampak dan memberikan kontribusi besar dalam ketidakstabilan ekologi adalah industri tekstil. Limbah maupun bahan kimia yang digunakan dalam industri ini menjadi salah satu polutan terbesar bagi air dan tanah (Alanezi, 2018). Di sisi lain, industri tekstil memegang salah satu penggerak ekonomi yang cukup besar akibat pegawai yang bekerja di dalamnya yang berjumlah sangat banyak. Masyarakat pun masih memiliki ketertarikan atas barang-barang fast fashion atau barang-barang trendi yang dibuat dengan cepat dan terjual dengan harga yang terjangkau pula (Stanton, 2022). Meskipun demikian, di saat yang bersamaan industri ini tetap saja sangat berbahaya bagi manusia apabila dilihat dari segi kesehatannya, baik pegawai yang bekerja dalam industri ini sendiri maupun orang-orang lain yang turut serta terdampak polusi yang disebabkannya.

Inilah yang menjadi landasan bagi penggiat sustainable environment yang berusaha mengembalikan keseimbangan ekologi di dunia ini dengan mengajak masyarakat sekaligus meningkatkan awareness terhadap pentingnya menurunkan tingkat konsumerisme akan fast fashion beserta dampak yang akan mengikutinya.

Sayangnya, gerakan ini seringkali dikebelakangkan atas beberapa alasan, seperti harganya yang lebih mahal (Pucker, 2022), pengerjaannya yang jauh lebih lama, serta segi gengsi yang tidak bisa terpenuhi akibat (umumnya) mereka yang menjual barang-barang sustainable fashion tidak memiliki merk yang bergengsi seperti fast fashion lainnya.

Baru-baru ini, gerakan sustainable lainnya sebagai “bantahan” dari fast fashion hadir di masyarakat, dikenal dengan gerakan thrifting. Thrifting berasal dari kata “thrift” yang menurut Cambridge Dictionary diartikan sebagai usaha untuk dengan hati-hati menggunakan uang, terutama dengan menghindari pemborosan – sehingga thrifting menurut Virgina (2022) dapat diartikan sebagai kegiatan membeli barang-barang bekas dalam rangka melakukan penghematan atau menggunakan uang dengan efisien.

Thrifting menurut Waxman (2018) bermula pada era tahun 1900-an ketika revolusi industri ketika masyarakat gencar memperbaiki hajat hidupnya sendiri—sampai pada titik diperkenalkanlah industri pakaian dalam jumlah yang masif, menyebabkan lingkungan tercemari dengan sistem pengelolaan limbah yang masih sangat buruk. Saat inilah, orang-orang yang melihat hal ini sebagai peluang kemudian memanfaatkan kesempatan ini sebagai oportunitas bisnis, di mana barang-barang yang dianggap “limbah” dijual kembali dengan harga yang terjangkau dalam kualitas yang masih layak jual dengan harapan untuk mengurangi limbah.

Thrifting saat ini umumnya menjual barang-barang dalam kebutuhan fesyen yang sangat umum dan lumrah seperti baju dan celana. Seiring berjalannya waktu, orang-orang kemudian menggunakan sistematika penjualan thrifting untuk menjual barang-barang seperti tas, sepatu, jaket, maupun barang-barang lainnya dalam kebutuhan koleksi yang langka dan hanya diproduksi dalam jumlah terbatas.

Akan tetapi, tentu saja stigma buruk akan tetap diatribusikan pada thrifting, sebagaimana sifatnya yang merupakan pakaian bekas milik orang asing (Waxman, 2018). Stigma yang membersamai thrifting ini menjadi salah satu alasan terbesar masyarakat belum sepenuhnya berani untuk mempercayai terobosan ini meskipun telah menawarkan kualitas yang sepadan, bahkan barang-barang bekas dengan merek fast fashion itu sendiri. Di sisi lain, masyarakat seringkali skeptis tentang asal muasal baju-baju thrifting tersebut dan apakah thrifting bisa menjadi solusi permasalahan kerusakan lingkungan—sebagai salah satu pilihan untuk turut serta mengambil andil dalam gerakan sustainability sejalan dengan usaha untuk mengurangi limbah pabrik yang mencemari lingkungan, khususnya air dan tanah.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut terjawab dari bagaimana pesatnya thrifting berkembang khususnya di Indonesia. Dilansir dari Lestari dan Asmarani (2021), thrifting telah mengubah orientasi masyarakat milenial ke arah yang lebih serius, menyebabkan perkembangan thrifting menjadi lebih pesat dan bahkan kini sudah dianggap sebagai subbagian dari industri tekstil. Thrift Shops (tempat thrifting) di Indonesia sendiri sangat mudah ditemui, baik secara daring (kanal-kanal media sosial digital yang terpapar banyak konsumen seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan marketplace seperti Shopee dan Tokopedia) maupun luring yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sejatinya, thrifting hakekatnya membuat pakaian menjadi terjangkau bagi mereka yang tidak memiliki budget untuk membeli barang “baru” (Eviota, 2022). Sayangnya, tidak jarang ditemui oknum-oknum yang meletakkan peran thrifting sebagai ajang jual-beli koleksi langka dan limited edition dari industri fast-fashion dan high-end. Ini menyebabkan barang yang dijual dipasang pada harga yang sangat mahal, menghilangkan esensi dari thrifting yang sesungguhnya.

Kasus ini seringkali terjadi di Instagram, ketika banyak thrift shops yang menjual barang-barang keluaran merek fast-fashion yang menjual barangnya dengan rentang harga 100-300 ribuan. Bahkan pada beberapa kasus lainnya, beberapa thrift shops menjual barang-barang sangat langka dari merk-merk di atas dengan notabene harga yang melambung tinggi dengan rentang harga 500 ribuan hingga 1 jutaan. Ini mengartikan bahwa ada banyak thrift shops yang menetapkan pelanggannya secara tersegmentasi; beberapa stakeholders thrift shops telah melenceng dari esensi thrifting itu sendiri. Walaupun, masih banyak pula thrift shops yang benar-benar melakukan esensi dari thrifting dengan menjual barang dari harga 20-70 ribuan, dan seringkali toko-toko ini tersedia secara luring dan bukan daring.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun