Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Goresan Bilur-bilur Merah, Tanda Cinta yang Tak Pernah Padam

26 November 2017   20:55 Diperbarui: 26 November 2017   21:29 1225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruben Onsu kerokan lho! (Foto: Kanal247.com)

Bilur-bilur merah yang merupakan hasil goresan pada kulit tubuh bagian belakang, biasanya merupakan tanda seseorang yang telah mengalami kerokan. Kerokan? Bagi yang sering masuk angin dan tak ingin dikit dikit minum obat, tentu saja kerokan menjadi alternatif yang paling efektif dalam waktu relatif singkat. Apalagi budaya kerokan telah turun temurun dilakukan dari generasi ke generasi.

Apalagi ada pengalaman pribadi pada saat remaja, yang sempat "ketagihan" dengan metode kerokan yang biasanya dipraktikan oleh kedua orangtua. Uang logam Rp 100,- berukuran tebal yang menjadi alat gores favorit, serta tentu saja Balsem Lang sebagai minyak gosok sahabat kehangatan keluarga.

Seingatku sih hampir tidak pernah  ayah kerokan. Justru ibu yang sering minta kerokan. Ini di saat tubuh merasa masuk angin. Kalo ayah lagi berhalangan, pastilah diriku yang harus melaksanakan tugas kerokan tersebut. Ketika diriku lagi masuk angin dan memang sebenarnya tak perlu minum obat, akhirnya mulai juga merasakan nikmatnya apa itu kerokan. Benar-benar seperti ada sensasi rasa ketagihan, apalagi ketika bilur-bilur berwarna merah menyala. Ada rasa segar dan rileks menjalar ke seluruh tubuh. 

Tak hanya bermanfaat untuk pencegahan sakit, namun juga ada komunikasi dua arah antara suami & istri serta anak & orangtua. Sebuah komunikasi yang semakin mempererat relasi antar anggota keluarga, ketika saling berbicara mengenai kegiatan sehari-hari yang telah dilalui serta harapan kedepannya.

Cuma ketika orangtua kerokan saat masih tak memiliki penyakit berat, ada terselip rasa khawatir jika tiba-tiba harus mengalami perhentian terakhirnya. Kadangkala beliau saling bercerita bahwa ada juga orang yang tiba-tiba dipanggil Sang Maha Pencipta setelah asyik menikmati kerokan. Akhirnya kedua orangtua memang mengalami perhentian terakhirnya bukan saat lagi kerokan, namun akibat sakit penyakit yang biasanya diderita orang-orang zaman modern.

Lalu seperti apa sih manfaat dan bahayanya dari budaya Kerokanisme?

Didik Gunawan Tamtomo, Donny Halim, Glory Ojong (ki-ka) (Foto: Prattemm)
Didik Gunawan Tamtomo, Donny Halim, Glory Ojong (ki-ka) (Foto: Prattemm)
"Upaya pengobatan tradisional yang dahulu dianggap kampungan dan tak berguna, maka dicoba untuk diangkat untuk dijelaskan secara ilmiah," ungkap Prof Dr. dr. Didik Gunawan Tamtomo, PAK, MM, M.Kes, saat Kompasiana Nangkring Kerokanisme pada 25 Oktober 2017 lalu di Santika Premiere Slipi Jakarta Pusat.

Prof Didik yang seorang Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Solo, menyatakan bahwa pengobatan tradisional telah dikenal sejak lama oleh banyak suku bangsa sebelum metode pengobatan modern. Prof Didik bercerita mengenai nenek buyutnya (ibu dari neneknya) yang dapat mencapai usia maksimal hingga 90 tahun lebih, namun sangat sering kerokan setiap tiga hari dalam kehidupannya. Maka diperkirakan kerokan telah dikenal sebagai metode pengobatan selama ratusan lalu.

Kerokan atau juga disebut Kerikan didefinisikan oleh Prof Didik, merupakan upaya pengobatan tradisional Jawa dengan cara menekan dan menggeser secara berulang-ulang menggunakan benda tumpul ke kulit tubuh. Hasil tekanan dari penggunaan uang logam benggol tersebut memakai pola-pola tertentu yang menghasilkan bilur-bilur merah. Menurut Prof Didik,  di kehidupan masyarakat Jawa, masih banyak warga kerokan di tempat-tempat terbuka dan meyakini akan segala manfaatnya.

Jadi teringat beberapa tahun lalu ketika masih beraktivitas di kota Surabaya. Seringnya berkeliling ke Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan) plus Pasuruan hingga Malang Raya, untuk aktivitas pekerjaan periklanan media luar ruang (outdoor advertising) serta menyuplai bahan baku bagi beberapa pabrik.

Tak jarang melihat aktivitas supir-supir truk yang sering kerokan antar sesama temannya, entah di dalam pabrik maupun luar pabrik (biasanya di warung makan) sambil menunggu proses bongkar muat. Terkadang anggota keluarga pemilik warung yang menyatu tempat tinggalnya, juga terlihat ritual kegiatan kerokan bagi yang merasa tubuhnya kurang sehat.

Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
Kadangkala ketika ada waktu luang "blusukan" menyusuri perkampungan kumuh di kota Surabaya yang panas, sering juga melihat suami istri yang saling kerokan antar pasangannya, kakek/nenek dengan cucunya, anak dengan orangtuanya di beranda rumahnya. Cuma senyum saja saat mendengarkan kata-kata khas Suroboyoan yang keluar saat cangkrukan sambil kerokan. "Jangkrik, ora matek-matek, taek, cangkem'e kon, mbadog, mbangkong, hingga yang paling legendaris JanCuk", itulah beberapa kosakata yang paling gampang masuk memoriku. Bahasa kasar itulah anehnya yang semakin mempererat rasa pertemanan dan persaudaraan.

Namun yang tak pernah habis pikir, kok diriku sangat bernyali untuk sering melewati sebuah perkampungan yang konon warganya bermayoritas kepala keluarga yang memiliki latar belakang bromocorah. Malah pernah "ribut-ribut" dengan sebuah keluarga terpandang yang berasal dari sebuah suku yang terkenal dengan ayunan senjata tajamnya. Tapi aman-aman saja melakoni hidup di Surabaya, meski agak juga dag dig dug jika mereka ingin melampiaskan dendam akibat jatuhnya harga diri keluarga mereka. Padahal selama masa kecil hingga dewasa muda di Jakarta, berusaha menghindari kelayapan ke tempat yang memiliki potensi tinggi terjadinya tindakan kejahatan. [mungkin karena diriku yang memiliki aura Brawijaya Lima plus memiliki perlindungan khusus dari Ilahi, padahal tak pernah belajar atau mencari hal-hal yang berhubungan dengan kesaktian tubuh. Hehehe].

Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
Ternyata budaya kerokan tak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia, tapi juga di beberapa negara lain seperti Tiongkok, Thailand dan Vietnam. Namun dapat diketahui pola-pola bilur merah mereka sangat berbeda dengan yang di Indonesia. Kerokan ala Tiongkok dikenal sebagai Guasha, Goh Kyol di Vietnam dan Cao gio di Thailand.

Secara anatomi syaraf manusia itu seperti tulang ikan. Pola-pola yang telah diteliti secara ilmiah, bagian sebelah kiri dan kanan tulang belakang manusia memiliki titik-titik akupunktur. Maka inilah hebatnya metode kerokan yang akan mengalirkan energi positip ke seluruh tubuh, yang akan memberikan proses penyembuhan secara holistik. Masuk angin telah dikenal oleh Kedokteran Timur, namun tak dikenal kalangan Kedokteran Barat.
Kerokan tak dapat efektif untuk orang yang benar-benar dengan gangguan penyakit seperti tipus, demam berdarah, TBC.

Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
Gambar: Presentasi Prof Didik Gunawan Tamtomo
"Bagian leher bagian depan, sebaiknya tak dianjurkan sebagai tempat kerokan," kata Prof Didik lebih lanjut.  Ada banyak titik pembuluh darah dan pembuluh syaraf. 

Dalam usaha menepis persepsi negatif terhadap metode kerikan ini, maka Prof Didik benar-benar menerapkan penelitian secara ilmiah.
Penelitian tahap pertama dilakukan dengan survei dan interview dalam mencari data pengguna kerokan. 90% responden sangat mengenal kerokan dan 85% sangat merasakan manfaatnya. Penelitian tahap kedua untuk membuktikan bahwa katanya kerokan itu dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Prof Didik meneliti dengan dirinya sendiri yang menjadi kelinci percobaan pemeriksaan patologi anatomis. Setelah dirinya dikerik, maka meminta bantuan koleganya untuk melakukan biopsi kulit (sedalam 1 cm) yang dikeriki. Hasilnya tak ada yang membahayakan.Penelitian tahap ketiga adalah penelitian bio-molekuler yang menghabiskan biaya puluhan juta rupiah. Dilakukan pemeriksaan darah pra-kerokan dan pasca kerokan. Hasilnya kadar beta endorfin naik disebabkan aktivitas glandula pituitari, yang menyebabkan penurunan kadar prostaglandin. Sementara kadar IL-Beta sedikit naik, yang berarti reaksi inflamasi ringan dan bersifat lokal.

Ada berbagai mitos yang berkaitan dengan kerokan. Seperti ibu hamil yang tak boleh dikerok, khawatir anaknya nanti lahir dengan kulit loreng-loreng. Kemudian angin duduk yang menyebabkan orang yang dikerik dapat meninggal dunia. Banyak sisnisme terhadap kerokan berupa serangan jantung hingga penularan penyakit. Kerokan janganlah menggunakan alat yang sama pada banyak orang, karena dapat berpotensi menularkan penyakit seperti semua jenis hepatitis. Jadi setiap keluarga dapat memiliki alatnya sendiri. Kerokan yang baik selalu ada batasnya dan jangan berlebihan, serta mengobati gejala-gejala yang tak terlalu berat sehingga dapat dilakukan penghematan biaya. Sebaiknya seorang anak dapat mulai menerima kerokan saat telah berusia sembilan tahun. Inipun menggunakan alat kerokan berupa bawang merah karena kulit anak masih belum dapat beradaptasi dengan alat yang berbentuk keras. Akhirnya fakta yang terjadi banyak orang terbantu penyembuhan tanpa harus mengakses faslitas kesehatan dan tentunya dapat dijadikan upaya pelestarian budaya hidup sehat secara alami.

BalsemLang (Foto: Prattemm)
BalsemLang (Foto: Prattemm)
BalsemLang (Foto: Prattemm)
BalsemLang (Foto: Prattemm)
Donny Halim (Brand Manager Balsem Lang) menjelaskan telah 40 tahun lebih Cap Lang menemani keluarga Indonesia. Balsem yang telah dianggap kuno, ternyata masih eksis dapat diterima oleh masyarakat terutama sebagai bagian budaya kerokan. Balsem Lang telah tak terpisahkan dari bagian kehidupan masyarakat.

Kandungan Camphor dalam Balsem Lang sangat efektif mengurangi pusing. masuk angin,  dan perut kembung, serta kandungan aromateraphy yang memberikan rasa kenyamanan. Berbagai inovasi bahan aktif kandungan dan kemasan produk Balsem Lang, agar balsem tak identik dengan kalangan lansia serta dapat diterima oleh kalangan muda. Kegunaan lain dalam aktivitas luar ruang adalah menjaga agar tak mabuk perjalanan, melegakan pernafasan, dan mengurangi gatal-gatal akibat gigitan serangga.

Berbagai lapisan masyarakat termasuk kalangan artis yang telah merasakan manfaat dari metode kerokan dalam menjaga kesehatan tubuhnya, menggambarkan bahwa goresan bilur-bilur merah hasil kerokan sebagai ekspresi tanda cinta yang tak pernah padam. Bagi yang dikerok merupakan tanda bahwa dirinya harus tetap bugar sehat agar dapat terus berada dalam lingkaran orang-orang yang dikasihinya dalam memberikan kebahagiaan yang lebih berarti, termasuk yang telah meluangkan waktu untuk mengerok dirinya.

Goresan Bilur-bilur Merah sebagai Tanda Cinta yang Tak Pernah Padam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun