Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keotentikan Memotret Nilai Humanisme dalam Festival Film Pendek Indonesia 2016 [1]

25 Januari 2017   09:07 Diperbarui: 25 Januari 2017   13:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk ketiga kalinya KompasTV menyelenggarakan Festival Film Pendek Indonesia (FFPI) di tahun 2016. Kompetisi film pendek ini telah terselenggara sejak 1 Oktober  hingga 20 Desember 2016, dengan didahului pelaksanaan workshop untuk pelajar & mahasiswa di 10 kota yaitu Medan, Palembang, Lampung, Tangerang, Jakarta, Pekalongan, Jogjakarta, Denpasar, Banjarmasin dan Gorontalo. Dalam workshop ini KompasTV bekerjasama dengan Fakultas Film & Televisi Universitas Multimedia Nusantara, mengajarkan para peserta menyusun sebuah ide cerita film.

FFPI 2016 ini mengangkat tema "Humanisme" dan berhasil menjaring 276 film karya para pelajar & mahasiswa se-Indonesia. Penjurian FFPI 2016 dilakukan oleh Makbul Mubarak (juri utama, seorang sutradara film & dosen Universitas Multimedia Nusantara), Ifa Ifansyah (Sutradara Film), Frans Sartono (Jurnalis Harian Kompas & General Manager Bentara Budaya Jakarta), Deddy Risnanto (KompasTV).

Akhirnya terpilih 5 film pendek kategori pelajar yang lolos ke Final FFPI 2016 yaitu "Kihung (Jalan Menikung)" (karya SMK Negeri 5 Bandar Lampung), "2 Hari" (karya SMA Negeri 1 Muara Enim Palembang), "Terminal" (karya SMK Negeri 2 Kuripan Lombok Barat NTB), "Mata Hati Djoyokardi" (karya SMA Khadijah Surabaya Jatim), "Izinkan Saya Menikahinya" (karya SMA Rembang Purbalingga Jateng).

Sementara itu 5 film pendek kategori mahasiswa yang berhak lolos ke Final FFPI 2016 adalah "Omah" (karya Sekolah Tinggi Multimedia MMTC Jogja), "Di Ujung Jari" (karya Universitas Bina Nusantara Jakarta), "Merengguk Asa Di Teluk Jakarta" (karya Universitas Negeri Jakarta), "Different" (karya Universitas Bina Nusantara), "I Love Me" (karya Institut Kesenian Jakarta).

Film pendek kesepuluh finalis ini diputar untuk umum dalam acara Final FFPI 2016, yang diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta pada 20 Januari 2017 lalu. Dalam pembukaan acara, Rosiana Silalahi (Pemimpin Redaksi KompasTV) menyatakan terima kasih atas dedikasi dewan juri serta apresiasi atas pelajar & mahasiswa yang memiliki disiplin tinggi dalam membuat film pendek. KompasTV sangat komitmen dan masif dalam mendukung terciptanya para sineas baru. Film itu merupakan cerminan kehidupan masyarakat & merupakan produk suatu bangsa. KompasTV tidak boleh berhenti untuk menumbuhkan harapan bagi bangsa sesuai cita-cita sang pendiri Kompas Jakob Oetama.

Kisah Film "2 Hati" berkisah tentang kepindahan Aline yang seorang pelajar putri dari Jakarta, yang bersekolah di tempat barunya di Muara Enim. Proses adaptasi di sekolah baru ini ternyata dapat berjalan baik tanpa ada perilaku diskriminasi &  membedakan berdasarkan SARA (suku, agama, golongan, antar ras). Aline pun berpikir jika satu Pohon buruk bukan berarti semua hutan ikut buruk. Ternyata suasana lingkungan sekolah barunya tidak seburuk apa yang dikiranya selama ini. Bagaikan menemukan oasis di padang pasir,  dalam keanekaragaman bangsa di tengah perbedaan. Keindahan pelangi itu hanya terjadi jika bukan hanya terdiri dari satu warna saja kan.

Film "Mata Hati Djoyokardi" mengisahkan seorang bapak di Kecamatan Babad Kabupaten Lamongan yang telah ditinggal mati oleh istri, kemudian hidup bersama putri angkatnya (kedua orangtua telah meninggal) yang berkebutuhan khusus. Sementara keenam anak kandungnya yang lain serta para saudaranya tak pernah ada menengok sekalipun. Berjuang sendiri dalam keadaan tak mampu sang bapak tetap merawatnya dengan penuh perhatian dan kasih sayang tanpa mengenal rasa lelah sepanjang waktu.

Film "Kihung (Jalan Menikung)" mengisahkan perjuangan sekelompok para pelajar sekolah dasar desa terpencil di Lampung,  yang harus berjuang dari rumah untuk menempuh perjalanan berjalan kaki sekitar satu jam untuk tiba di sekolah. Jalan menikung melewati berbagai tanjakan serta sungai tanpa jembatan yang memadai, menjadi santapan yang mesti dinikmati sehari-hari dalam menuntut ilmu demi menggapai harapan masa depan. 

Film "Izinkan Saya Menikahinya" berkisah tentang perjuangan anak muda dalam meluluhkan pujaan hatinya untuk  bersedia siap dinikahi setelah sudah berhasil menjadi prajurit angkatan darat. Namun sayang restu dari komandan sebagai salah satu syarat menikah gagal didapat, setelah diketahui sang gadis memiliki garis keturunan yang pernah terlibat langsung sebagai pelaku peristiwa kelam G30S-PKI tahun 1965.

Menurut Iskandar salah seorang kreator  film tersebut, dijelaskan bahwa ketika tahun 2015 terangkat kembali kisah para korban sejarah kelam bangsa tahun 1965. Saat itu salah satu ekstrakulikuler sinematografi bernama PakDirmanFilm sebuah sekolah menengah tertarik membuat film dokumenter mengenai korban 1965 di daerah Purbalingga,  berdasarkan kesaksian cerita beberapa mantan anggota Pasukan Tjakrabirawa yang terlibat langsung dalm peristiwa itu. Terinspirasi salah satu cerita film dokumenter berupa pengakuan mantan anggota pasukan yg menyatakan bahwa cucunya tak dapat menikah dengan anggota militer karena dirinya terlibat langsung G30S-PKI, maka dibuatlah fiksi film pendek "Izinkan Saya Menikahinya" dengan sembunyi bergerilya karena pihak sekolah mendapat tekanan pihak tertentu. Maka ditambahkanlah nama komunitas menjadi GerilyaPakDirmanFilm serta didedikasikan untuk korban 1965 dalam credit title film. 

Kisah Film "Terminal" dimulai dari seorang pemuda yang terlihat dari golongan berkecukupan hendak masuk ke area terminal bus, namun tak sengaja menabrak seorang pengamen yang sedang menyantap nasi bungkus. Pemuda terlihat terburu-buru menuju loket penjualan tiket, sementara sang pengamen harus menikmati nasi bungkus yang tumpah terjatuh. Pengamen mengamati dari kejauhan sang pemuda yang telah duduk di kursi tunggu & menikmati kue/roti lezat. Saat pemuda beranjak dari kursi berjalan menuju bus, ternyata salah satu tasnya tertinggal. Mata sang pengamen tersadar bahwa ada juga pencopet yang turut mengintai. Lalu pengamen dan pencopet berlari adu cepat meraih tas tersebut. Namun pengamen lebih gesit & segera berlari cepat mengejar pemuda pemilik tas. Ucapan terimakasih dari pemuda itu berupa satu plastik kue/roti lezat diberikan pada pengamen. Kemudian sang pemuda menuju bus, sementara sang pengamen membagi potongan roti sama besarnya kepada sang pencopet.

Kreator film "Terminal" mengatakan bahwa ada label negatif sebuah terminal bus, coba diangkat sisi lain humanisme yang berbeda seperti rasa kerjasama & saling berbagi, dengan menggunakan lokasi syuting di Terminal Mandalika. Tokoh film tersebut diperankan sendiri oleh para pelajar kelas dua, bukan oleh anak jalanan yang berada di kompleks terminal. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun