Berbagai pusat peradaban dunia mengalami perkembangan luar biasa dengan mendesain tata kota yang selaras sesuai lokasi yang berada di tepian aliran sungai. Air yang merupakan bahan baku sebagai sumber kehidupan, telah dikelola dengan teratur agar tak menjadi sumber bencana. Peradaban Mesopotamia di Sungai Tigris dan Efrat, Mesir Kuno di Sungai Nil, merupakan bukti nyata dari sejarah masa lalu yang justru banyak diabaikan peradaban modern di masa kini. Sungai-sungai tersebut dijadikan suplai bahan baku air irigasi untuk sektor pertanian maupun sektor kehidupan lainnya.
Persoalan umum menahun hingga saat ini di wilayah Ibukota DKI Jakarta adalah genangan air hingga banjir yang terus semakin terjadi dalam skala masif dan merata ke seluruh penjuru kota. Selain terbatasnya sarana prasarana penanggulangan banjir serta saluran air yang tidak berfungsi dengan baik, yang merupakan faktor pemicu utama lainnya adalah rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga lingkungan & kondisi geografis setempat.Â
Perilaku membuang limbah ke aliran kali / sungai dan mendirikan bangunan di pinggiran bantaran kali / sungai, yang menyebabkan terjadinya penyempitan serta pendangkalan sungai. Maka ketika musim penghujan area pemukiman akan mengalami genangan air dan banjir, dan debit air akan semakin tinggi tatkala menerima kiriman air sungai dari wilayah Bogor Jawa Barat.Â
Seiring roda pemerintahan Propinsi DKI Jakarta dijalankan oleh Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pembenahan sektor infrastruktur menjadi perhatian utama terutama dalam revitalisasi dan normalisasi kali / sungai. Upaya Pemda DKI Jakarta ini didukung pemerintah pusat melalui Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Rakyat (PUPR). Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) yang bernaung dibawah Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian PUPR memiliki tugas pokok dalam program konservasi & pendayagunaan Sumber Daya Air (SDA) serta pengendalian Daya Rusak Air. Pengelolaan SDA wilayah sungai Ciliwung Cisadane yang layak dan berkelanjutan ini diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah Jabodetabek.
Ada 13 aliran sungai yang mendiami wilayah DKI Jakarta, dimana kondisinya sangat memprihatinkan dengan menjadi menjadi keranjang sampah bagi warganya. Bantaran pun terokupasi dengan pendirian bangunan baru hingga mengalami penyempitan sampai ada yang tersisa 5 meter saja. Salah satu aliran yang jarang terekspos pemberitaan media adalah Kali Pesanggrahan.
Total panjang Kali Pesanggrahan sekitar 66,7 kilometer membentang dari Cinere Depok hingga Kembangan Jakarta Barat. Program normalisasi bantaran Kali Pesanggrahan sepanjang 21,8 kilometer membentang dari hulu di Cirendeu Lebak Bulus dan berakhir hingga Kembangan Jakarta Barat. Pengerjaan berupa normalisasi, pengerukan, pembuatan turap telah dimulai akhir tahun 2011Â dan harus terhenti di tahun 2014, dengan masalah klasik yaitu kendala pembebasan lahan yang masih jauh dari harapan. Beberapa lokasi yang terkendala itu antara lain Sepolwan Ciputat, Bintaro, Lemigas Cipulir, Pos Pengumben, Kedoya dan Kembangan.
Dahulu kala Kali Pesanggrahan yang relatif kecil kedalamannya telah puluhan tahun telah meluap, namun saat itu masih belum banyak pemukiman di tepian bantaran kali. Daerah Aliran Sungai (DAS) masih dikelilingi kawasan hijau nan rimbun berupa kebun, ladang maupun hutan. Di tahun 1970-an  Departemen PU membuka sodetan saluran air dari Kali Grogol untuk menuju Kali Pesanggrahan, untuk menyelamatkan beberapa wilayah dari genangan air seperti Grogol, Tomang, Palmerah, Slipi dan Senayan.Â
Ketika pertumbuhan pemukiman di bantaran kali semakin meningkat hingga mempersempit badan kali, tak hanya kompleks perumahan ( IKPN & Deplu Bintaro, Cirendeu Permai Ciputat, Perdatam Cipulir) menjadi langganan banjir, namun juga kompleks pemakaman Tanah Kusir yang berada dibelakang makam pahlawan Proklamator Bung Hatta (setelah rel kereta api) sejak tahun 1980-an. Bahkan beberapa tahun terakhir menggenangi makam yang berada di samping kali seberang pool armada taksi Ekspress.Â
Seandainya dahulu wacana pembangunan bendungan di Lembah Kali Pesanggrahan dapat terwujud di kawasan Limo / Cinere, mungkin saja warga Cirendeu, Bintaro, Ulujami, Cipulir hingga Kembangan dapat tidur dengan nyenyak dari mimpi buruk genangan air. Namun program normalisasi yang telah dilakukan oleh BBWSCC Ditjen SDA Kementerian PUPR terlihat betonisasi dinding sungai yang dilengkapi jalan inspeksi. Jalan inspeksi di Ulujami-Bintaro ini bahkan telah menjadi jalan pemukiman bagi warga, terutama jalan alternatif sepeda motor dan mobil yang menghubungkan pemukiman Ulujami dengan kompleks pemakaman Tanah Kusir untuk menuju jalan Bendi Raya dan Bintaro Raya.Â
Namun juga telah menjadi tempat "rekreasi" baru yang murah meriah di sore hari dengan memancing, bermain layangan, menikmati jajanan PKL, naik delman dan menunggang kuda, naik odong-odong, cuci mata bagi kaum muda, bahkan ketika malam hari di jalan inspeksi yang di sisi makam Tanah Kusir menjadi tempat muda mudi berlawanan jenis asyik memadu kasih karena belum adanya penerangan jalan. Sementara itu jalan inspeksi di sisi Ulujami telah berpenerangan sehingga masih dapat dipakai beraktivitas pada malam hari, dan juga telah dibangun danau kecil yang saat ini menjadi tempat favorit warga untuk memancing.
 Beton yang terbengkalai selain dipakai warga untuk sekedar duduk melepas lelah di tempat tinggi, juga penuh coretan serta sampah bungkus makanan dan rokok pengunjung di antar sela beton. Alat berat pengerukan sungai milik Dinas Kebersihan DKI Jakarta pun nampak masih beraktivitas melakukan tugasnya, ditengah terhentinya betonisasi oleh pihak BBWSCC. Tak jauh dari terparkirnya alat berat dan tempat penampungan sampah, sedang dibangun RPTRA (Ruang Public Terpadu Ramah Anak).
Jalan Inspeksi di sisi Ulujami akhirnya terhenti di dekat jalan masuk kompleks Mini Country / Perdatam. Penyempitan aliran kali ini masih dimanfaatkan oleh ojek perahu/sampan penyeberangan kali untuk menolong warga yang hendak menyeberang ke pemukiman di sisi Tanah Kusir. Masih diperlukan sosialisasi lebih intensif agar partisipasi warga menjaga lingkungan lebih efektif.Â
Dalam Harian Kompas edisi 31 Augustus 2016 lalu telah memuat kisah partisipasi warga bantaran Kali Pesanggrahan bernama Chairudin "Bang Idin" (jawara Hutan Kota Sanggabuana Pesanggrahan) , yang telah menjadi pelopor menjaga kebersihan dan mengelola lingkungan sungai. Berkat kegigihannya, tak ada lagi bangunan berdiri di bantaran Kali Pesanggrahan, tanaman yang ditanami di bantaran mulai menghijau menjadi Hutan Kota Sanggabuana seluas 130--an hektar di kawasan Karang Tengah LebakBulus.Â
Bang Idin yang menolak betonisasi sebagai solusi normalisasi, menggunakan konsep tanggul alami berupa penanaman bambu-bambu. Tak semua wilayah memang belum tentu cocok dilakukan pembetonan dengan karakteristik wilayah tersebut. Konsep yang dipegang Bang Idin sejalan dengan konsep program restorasi gambut yang tengah digalakkan oleh Badan Restorasi Gambut dan Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan (KLHK), berupa pengembalian fungsi rawa / empang / danau di sekitar bantaran kali maupun penanaman kembali tanaman aseli yang dapat menyimpan air.Â
Padahal secara alami air itu suatu kelak diistilahkan akan "pulang kampung" untuk kembali mencari wilayah "asalnya". Â Diperlukan juga komunikasi dua arah tak hanya warga dan para pemangku kepentingan (stakeholders), namun juga antar warga hulu dan warga hilir agar didapat saling rasa pengertian dalam menjaga lingkungan masing-masing. Contohnya adalah adanya kesadaran warga hulu untuk menjaga kebersihan sungai, maka warga hilir akan dapat terselamatkan dari bencana banjir maupun penyakit. Dengan terawatnya air maka secara otomatis kehidupan akan terus dapat mengalir dengan lebih baik.
Referensi Susur Pesanggrahan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H