Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meet The Makers 11: Semangat Regenerasi Mempertahankan Tradisi di Alun-alun Indonesia

24 Oktober 2016   20:19 Diperbarui: 29 Oktober 2016   23:10 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para pecinta budaya pastinya telah mengenal kriya (kerajinan) Indonesia yang tak hanya sekedar sebuah benda kesenian semata. Namun juga memiliki nilai budaya dan fungsi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat. Tantangan saat ini adalah semangat regenerasi menjaga tradisi yang telah turun temurun selama ratusan tahun ini agar tidak tergerus oleh modernitas jaman.

Alun Alun Indonesia di usianya yang ke-9 dengan semangat dan etos kerja yang baik , tetap berusaha menjawab tantangan-tantangan tersebut. Salah satunya adalah berkolaborasi dengan Meet the Makers, sebuah ajang pameran 'craft as art' yang diikuti oleh komunitas seniman, pengrajin, desainer serta organisasi akar rumput di Indonesia. Perhelatan yang diadakan setahun sekali ini, pada edisi Meet the Makers ke-11 diselenggarakan di Alun Alun Indonesia WestMall Grand Indonesia Jakarta Pusat mulai 21 Oktober hingga 2 November 2016.

Dalam diskusi media pada 21 Oktober lalu di Palalada@AlunAlunIndonesia, Bregas Harrimardoyo (Steering Committee Meet The Makers 11 & CEO Pekunden Pottery) berharap melalui ajang ini para pengrajin akan dapat berinteraksi dengan masyarakat yang lebih luas, terutama kalangan generasi muda sebagai upaya pengenalan akan begitu banyaknya keanekaragaman budaya. Bertemakan "Regenerasi" untuk pentingnya mengacu pada kehebatan kriya terdahulu, agar rangkaian sejarah dan nilai budaya masa lalu tak terputus di masa kini.

Sementara itu Pinky Sudarman (CEO PT Alun Alun Indonesia) mengatakan bahwa seorang antropolog Prancis mengakui bahwa Indonesia merupakan kotak harta karun yang tak pernah ada habisnya untuk digali. Maka sudah saatnya untuk melakukan regenerasi dalam mempertahankan tradisi. Kecintaan anak muda perlu terus ditumbuhkan terhadap produk Indonesia yang tak lekang ditelan zaman.

Selama dua belas hari 16 seniman/artisan/desainer berkumpul untuk menjual hasil kriya dan menerangkan/ memperagakan cara pembuatannya dalam suasana keakraban secara langsung kepada pengunjung. Meet The Makers 11 dibuka dan diluncurkan pada 22 Oktober 2016 dengan dihadiri para undangan pecinta seni budaya. Ada pameran foto dan produk kerajinan serta juga workshop & demo langsung dari para Artisan. Para pengunjung dapat juga mencoba ikut merasakan sensasi cara membatik dan membuat keramik .

Tampak para ekspatriat yang telah lama bermukim di Indonesia dan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke mal. Tampak pula generasi muda yang menjadi fokus perhatian utama dalam upaya pengenalan akan pentingnya pengembangan budaya tradisional yang berkelanjutan. Adapun keenambelas Artisan yang turut berpartisipasi dalam Meet The Makers 11 kali ini adalah:

1. WIRU; merupakan produk kain, selendang & busana. Produk memiliki perpaduan warna cerah dengan karakter dinamis dan berani. Salah satunya adalah selendang celup ikat dengan tekstur kain 3 dimensi. Diluncurkan sejak Desember 2006 oleh seniman tekstil bernama Caroline Rika Winata, yang sangat mencintai seni serat dan berfokus pada celup ikat, warna serta menggabungkannya dengan batik & tenun. Studio WIRU yang berlokasi di Jogjakarta semuanya dikerjakan oleh beberapa perempuan yang mencintai pekerjaan dengan tangan, juga berkolaborasi dengan beberapa desainer fashion & interior untuk kebutuhan akan kain celup ikat.

2. Borneo Chic; produk tas, pakaian dan laik pakai berkualitas tinggi & ramah lingkungan yang berbahan Kain Ulap Doyo. Kain tradisional Suku Dayak Benuaq di Kutai Timur Kalimantan Timur ini berasal dari daun doyo (sejenis pandan) yang tumbuh di pinggiran hutan. Proses pemetikan daun doyo hingga pembenangan dan menjadi selembar kain memerlukan 20 tahapan dengan jangka waktu 1 bulan. Sementara pewarna alami didapatkan dari tumbuhan sekitar seperti daun teruja, batang elai dan juga serbuk gergaji dari kayu ulin. Salah satu Kelompok Pengrajin Doyo adalah Tunas Mekar (berdiri tahun 2015) beranggotakan 20 orang dan diketuai oleh Sulastri.

3. PEKUNDEN Pottery; Didirikan tahun 1987 oleh keramikus Harriadi Mardoyo dan saat ini dikelola oleh Bregas Harrimardoyo sebagai generasi kedua. Karakter khas dan orisinalitas studio keramik Pekunden adalah setiap karya digambar satu per satu dengan pengulangan yang minim, dengan corak khas tradisional dan modern Indonesia yang diaplikasikan dengan teknik sgraffito.

4. Brahma Tirta Sari; Pakem terhadap tradisi kuno batik memang penuh syarat yang harus ditaati karena mengandyng sarat simbol dan makna kehidupan. Studio yang didirikan pasangan Agus Ismoyo dan Nia Fliam mampu menyelaraskan tradisi & kearifan lokal dengan budaya masa kini. Batik diangkat ke level lebih tinggi melalui seni serat menjadi produk kriya batik kontemporer hingga pentas internasional.

5. Indonesian Heritage Society ; merupakan organisasi nirlaba yang menawarkan kesempatan belajar lebih intens mengenal kekayaan warisan budaya Indonesia. Kegiatannya antara lain berbentuk tour, diskusi/ceramah, kelompok belajar, dimana kelompok ini dari beragam multietnis, kultural & multinasional. Produk yang dihasilkan antara lain penerbitan buku, kartu pos, dll.

6. LAWE ; Para pengrajin kain tradisional di tiap daerah memiliki tantangan yang mirip, yaitu keterbatasan dalam produk kain serta pemasaran hasil karyanya. Untuk menjembatani agar produk fungsional berbahan kain tradisional Indonesia dapat bersaing di pasar modern, maka didirikanlah LAWE sebagai sebuah social enterprise pada tahun 2004. Saat ini telah lebih dari 25 pengrajin berpartner dengan LAWE dalam mewujudkan pengembangan desain produk kain tradisional Indonesia.

7. Cinta Bumi Artisans; Bermula di sebuah wilayah di Poso Sulawesi Tengah pada tahun 2015, Cinta Bumi berupaya menghidupkan kembali ketrampilan yang diwariskan secara turun temurun dalam mempertahankan budaya dan seni yang mengakar dalam masyarakat lokal. Tentu saja dalam pengembangan seni kerajinan harus didorong dengan kesadaran ekologis dan inovasi berkelanjutan, serta dapat diproduksi & dipakai secara bertanggung jawab. Para pengrajin kain kulit kayu yang telah dirangkul ini diharapkan dapat mewujudkan inspirasi dan keaslian kreativitas karya seni yang memiliki pengaruh positip.

8. Omah Batik Sekar Turi; didirikan sejak tahun 2009 oleh... di Dusun Gatak Kabupaten Sleman DIY, dalam upaya mempertahankan motif klasik pada tradisi batik tempo dulu dengan inovasi konsep motif kontemporer. Batik kontemporer unggulan dibuat secara eksklusif dengan teknik pewarnaan unik.

9. Gerai Nusantara; Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) berinisiatif melalui pendirian Gerai Nusantara, untuk mempromosikan & pengembangan potensi ekonomi produk unggulan lebih dari 40 komunitas adat di seluruh nusantara. Hasil kriya tersebut selain diproduksi sebagai pelestarian budaya dan berkontribusi pada penghidupan masyarakat adat, juga harus menjunjung tinggi asas sumber daya alam yang berkelanjutan. Produk yang dihasilkan antara lain berasal dari komunitas Kajang (Sulsel), Dayak Iban (Kaltim), Paluanda Lama Hammu (NTT), Baduy Dalam (Banten).

10. Marenggo Natural Dyes; Studio Marenggo menggunakan bahan pewarna alami dalam pengembangan produk batik tulis. Batik cap kombinasi tulis dan tritik warna alam dengan tema unik dan berbeda. Bahan baku pewarna alami tersebut antara lain daun mangga, kulit manggis, daun rambutan, kayu mahoni, kayu nangka, daun talok, daun sawo, daun jambu, daun ketapang, kayu jati, kayu jolawe, tegeran, kayu secang, jambal, benguk, indigo, daun marenggo hingga gambir. Proses pembuatan batik melibatkan hasil kreatif para ibu rumah tangga serta pembatik usia muda dalam upaya regenerasi, untuk menghasilkan kriya unik serta eksklusif.

11. SAVU ; tradisi tenun ikat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur ini, sangat identik dengan peranan penting kaum perempuan. Bahan baku utama berasal dari sejenis pohon palem bernama Sabu. Teknik tenun Sabu mengacu pada tie-dye dalam penentuan pola kain. Setelah kapas diolah menjadi benang, lalu diproses ikat serta kemudian diberi pewarna.

12. Komunitas Tenun Mama Aleta Baun - NTT ; Bife dalam bahasa Molo berarti perempuan, yang bermakna sebagai Ibu Bumi penjaga alam dan pangan. Rumah Tenun Bife mendukung komunitas Mama Aleta Baun dalam usaha pelestarian kain tenun lokal serta peningkatan perekonomian masyarakat, sekaligus mengangkatnya ke pasar nasional & internasional. Perempuan Timor telah dikenal sebagai penenun dalam keseharian hidupnya, dan diakui dengan lahirnya kain tenunan cantik berkualitas dan ramah lingkungan.

Citra sebagai suku berbudaya tinggi dan menjunjung keharmonisan alam melalui penggiatan kembali kerajinan tenun, diraih dengan upaya tak mudah serta penuh tantangan yang berliku. Aleta Baun sebagai pemimpin adat Mollo bersama masyarakat adat bersatu melawan arogansi perusahaan tambang yang merusak sendi kehidupan masyarakat. Akhirnya lokasi bekas tambang Nausus & Anjaf telah dibangun rumah adat Lopo, sekaligus tempat belajar (workshop) bertani dan bertenun masyarakat.

13. Batik Rifayah; Teknik pembuatan secara umum tak jauh berbeda dengan pembuatan batik yang ada di Pulau Jawa, masyarakat sepenuhnya patuh dan taat meneruskan tradisi pembuatan batik yang diajarkan Kyai Haji Rifa'i (Batang Jawa Tengah). Warga Desa Kalipucang Wetan Batang akan bersalawat saat mencanting di dapur yang minim pencahayaan. Untuk penerangan berasal dari membuka beberapa buah genteng di atap rumah. Warna terbaik akan dipantulkan pada kain yang sudah diwarnai diyakini akan menentukan kualitas terbaik dari cahaya atap rumah. Dengan pakem yang sangat ketat Motif Batik Rifayah didominasi gambar tumbuh-tumbuhan, jika bergambar binatang maka tubuhnya tidak akan lengkap. Konsistensi meneruskan tradisi terunik oleh 100-an pengrajin, dilakukan dalam Paguyuban Batik Rifayah yang diketuai oleh Miftahudin sebagai generasi penerus. Saat ini Mak Um yang berusia 60-an merupakan generasi terrua penerus batim Rifayah.

14. Kanawida / Art of Dyeing; industri batik kontemporer dibawah bendera Creative Kanawida yang didirikan Sancaya Rini dan berlokasi di Pamulang Tangerang Selatan, dikenal dengan kain yang berbahan baku ramah lingkungan. Pewarna alami berasal dari tumbuhan dan limbah rumahan seperti daun tanaman, kulit jengkol, kulit rambutan, kulit mangga, limbah buah alpukat dan manggis.

15. Tafean Pah; ciri khas tenun ikat Tafean Pah adalah penggunaan benang dari kapas hasil perkebunan sendiri serta penggunaan warna alam. Yayasan Tafean Pah didirikan tahun 1990 oleh Yovita Meta dalam memperjuangkan kemandirian dan mengangkat kaum perempuan masyarakat adat Biboki dari masalah kemiskinan. Selain perempuan Biboki mampu meningkatkan pendapatan keluarga dari hasil menenun, namun juga mampu menjaga identitas dan tradisi leluhur.

16. Keramik Bayat; Desa Pagerjurang Meliakan Medi-Bayat Klaten Jawa Tengah telah lama dikenal sebagai sentra pengrajin keramik gerabah sejak dahulu kala. Keunikannya menggunakan alat putar miring sebagai teknik pembuatan keramik. Teknik tertua yang tak ada penjelasan sejarah tertulisnya, diduga berawal dalam masa Sunan Padang Aran di kawasan Bayat. Suharno sebagai salah satu pengrajin keramik Bayat, bersama istri dan putri bungsunya Priesta Majestika yang berstatus pelajar Kelas 3 SMP turut mendemonstrasikan penggunaan alat putar miring tersebut.


Ayo mulailah cintai Indonesia dengan mengenali tradisi budaya yang tak ada habisnya untuk digali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun