Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[LOMBAPK] Sebelum "Tiga Dara" Berlalu dengan Sendu

11 September 2016   23:10 Diperbarui: 11 September 2016   23:57 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak dalam film

Indonesia Business & Development Expo (IBDExpo) 2016 yang berlangsung di Jakarta Convention Center pada 8-11 September 2016, merupakan ajang pameran seluruh perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bertemakan BUMN Sebagai Agen Pembangunan.  Perhelatan ini diprakarsai oleh 4 perusahaan BUMN yang tergabung dalam klaster NPNC (National Publishing and News Corporation) yaitu PT Balai Pustaka (Persero), Perum LKBN Antara, Perum PNRI dan Perum PFN. 

Perum PFN (Perusahaan Film Negara) yang berdiri sejak 1945, terus berkomitmen untuk menjadikan industri film nasional bukan hanya sekedar sebagai sarana hiburan, namun juga sebagai sarana edukasi dan penyebar nilai-nilai pendukung investasi peradaban serta pembentukan karakter bangsa. Peristiwa bersejarah negeri ini yang terekam oleh PFN antara lain Pekan Olahraga Nasional (PON) I di Solo, Peristiwa PKI Muso di Madiun, Perjanjian Linggarjati, Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Pembangunan & Peresmian Masjid Istiqlal. Beberapa produksi film layar lebar dan serial televisi PFN seperti Serangan Fajar, Kereta Api Terakhir, Warok, Jakarta 66, Pengkhianatan G-30/S PKI,  Si Unyil (500 episode), Keluarga Rahmat, Aku Cinta Indonesia, Si Huma. 

Selama IBDExpo berlangsung, PFN menggelar mini bioskop yang menampilkan tayangan beberapa film seperti K vs K & Kompilasi Film Pendek, Surat Untuk Bidadari, Impian Kemarau, Kereta Api Terakhir, Sebelum Pagi Terulang Kembali dan Tiga Dara. Pada 8 September 2016 lalu sempat menonton "Surat Untuk Bidadari" bersama belasan pengunjung IBDExpo. Ada beberapa adegan yang tak layak menjadi panutan (mungkin terinspirasi dari planet neraka kenthir yang entah berada di galaksi mana dari bumi tercinta ini). Untunglah tidak ada anak-anak yang turut hadir menyaksikan, sehingga mengurangi berbiaknya generasi kenthir di zaman kalabendu nan sendu di negeri ini. 

Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak dalam film
Chitra Dewi, Mieke Wijaya dan Indriati Iskak dalam film
Nah dua hari kemudian 10 September 2016 berkesempatan melihat "Tiga Dara" produksi tahun 1956 bersama puluhan pengunjung, dan cukup banyak anak kecil yang turut bersama ayah dan bunda biologisnya. Film besutan sutradara Usmar Ismail ini, menyajikan kisah komedi asmara tiga anak perempuan bersaudara belum menikah dari satu ayah dan satu ibu. Sang ayah Sukandar (diperankan oleh Hassan Sanusi) menjadi orang tua tunggal bagi ketiga putri cantiknya Nunung (oleh Chitra Dewi), Nana (Mieke Wijaya), Nenny (Indriati Iskak), dengan dukungan kasih sang ibu mertua (Fifi Young). Berbalut dengan drama musikal, kisah dimulai dengan kegalauan sang Nenek yang melihat cucu pertama Nunung belum juga berumah tangga di usia mendekati tiga puluh.   Berbagai cara pencarian jodoh diupayakan, namun tak ada satupun yang mampu membuka pintu hati Nunung. Dari yang muda hingga aki-aki yang masih gagah dan tajam penglihatannya, mulai dari Penerbang AURI, Saudagar Kaya hingga para Profesor sekalipun. Hingga suatu saat Nunung terserenpet skuter yang dikendarai seorang pemuda bernama Toto (Rendra Karno). Kisah berlanjut saat sang pemuda berusaha mencari tahu siapakah gerangan gadis cantik yang telah ditabrak skuternya dan seberapa parah luka-luka yang menggores kulit betis langsatnya?  Namun justru kedatangan Toto telah menawan hati adik Nunung yang bernama Nana, dan sangat agresif mendekatinya.  Sementara pemuda lain bernama Herman (Bambang Irawan) yang sangat dicuekin Nana karena mengejarnya, ternyata justru cukup memikat perhatian si bungsu Nenny. 

Bagaimanakah akhir kisah Tiga Dara tersebut?  Saksikan ya di bioskop yang masih sukacita memutarnya dengan setia, ikhlas dan tanpa pamrih. Jika habis masa pemutaran di bioskop belum sempat menonton, berharaplah ada dermawan di kota masing-masing memutarkannya dalam berbagai event nobar spesial. Belilah produk aseli tanpa melanggar hak cipta, jika telah dipasarkan oleh produser dalam berbagai bentuk media yang dapat dinikmati secara pribadi. 

Suasana Jakarta pada tahun 1956 dalam film
Suasana Jakarta pada tahun 1956 dalam film
Ada yang bikin berdecak kagum pada kualitas gambar dan suara film "Tiga Dara" ini. Alunan musik nan indah garapan Sjaiful Bachri, Oetjin Nurhasim dan Ismail Marzuki, sungguh membuat hati riang gembira penuh sukacita senantiasa selalu. Gambar hitam putih mengalir dengan pandangan mata tak melelahkan bagi yang menontonnya meski harus duduk selama hampir 2 jam durasi waktu tayangnya. Inikah hasil dari restorasi yang digembar-gemborkan?  Inipun tak sengaja dengar bisik-bisik beberapa tetangga di kursi belakang, yang mengagumi kualitas film hasil restorasi. 

Jadi teringat kultwit seorang sutradara muda ternama negeri ini di akun twitternya pada 20 Agustus 2016 lalul. Menurut @jokoanwar, restorasi itu pengembalian kondisi gambar dan suara film hingga sesuai dengan saat film tersebut pertama kali rilis. Kita di Indonesia kalaupun dapat menonton film-film nasional lama tahun 90-an kebawah akan kecewa, karena gambar dan suaranya pecah. Kualitas gambar film jaman dulu yang tersedia di VCD pun compang-camping warnanya dan beresolusi rendah.  Hal ini disebabkan proses penembakan ke dinding saat transfer dari film ke tv/video, dengan pertimbangan biaya murah jika dibandingkan melalui proses yang proper yang dikenal sebagai 'telecine'. Proses penyinpanan film seluloidnya pun tidak proper, mengakibatkan kerusakan akibat jamur/kimiawi (vinegar syndrome ).

Preservasi terhadap film Indonesia  memang sangat rendah dan banyak yang tak perduli. Dicontohkan Yayasan Sinematek yang banyak menyimpan banyak film namun kekurangan dana. Makanya perfilman nasional bagaikan tanpa masa lalu,  karena tak dapat melihat karya sineas masa lampau. Padahal kita dengan mudah bisa menonton film-film lama/klasik Eropa dan Amerika. 

Film-film lama kita itu merupakan harta karun. Peninggalan budaya dan rekaman sejarah perjalanan bangsa yang tak ternilai harganya. Beruntunglah masih ada pihak yang berkenan merestorasi film klasik nasional, seperti film "Lewat Djam Malam" pada tahun 2012 dan tahun 2015 dilakukan SA Films terhadap film "Tiga Dara". Dengan visi dan misi kenthir,  restorasi mengeluarkan biaya hingga tiga milyar rupiah memakai resolusi 4K. Proses restorasi dilakukan di Laboratorium L'immagine Ritrovata Bologna Italia selama delapan bulan pada tahun 2015. Kemudian proses format digital 4K dilakukan oleh Render Digital Indonesia di Jakarta. 

 Hasilnya memang luar biasa seperti yang terlihat mata para penontonnya.  Hanya sedikit bintik-bintik yang terlihat dalam hitungan per sekian detik bagi yang dianugerahi indra penglihatan istimewa. Kita dapat menyaksikan bagaimana interaksi budaya, arsitektur bangunan & wilayah,  kendaraan bermotor yang sedang menjadi trend pada tahun 1956. 

Jika melihat jumlah penonton "Tiga Dara" yang berkisar baru 20 ribuan orang menurut berita resmi terkini,  memang diasumsikan proyek restorasi ini merugi menurut kacamata umum yang waras. Tentu saja pastinya ada kalkulasi hitungan bisnis sesuai visi dan misi ala orang kenthir pemerhati film. Namun juga dibutuhkan 'birokrat kenthir' khususnya pihak Perum PFN sebagai perwakilan pemerintah, dalam usahanya sebagai perusahaan industri kreatif terdepan melalui film pembangunan karakter nasional. Sinergitas antar pemangku kepentingan (stakeholders) diharapkan dapat menjaga sebelum 'film lama'  berlalu sendu begitu saja,  ketika generasi mendatang ingin  dapat menyaksikannya kembali. 

 

Foto:dokpri@prattemm
Foto:dokpri@prattemm
 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun