Â
Tentu masyarakat Indonesia telah menjadikan berbagai macam kuliner seperti bakso, rendang, sop iga, daging asap , menjadi konsumsi favorit dalam kehidupan sehari-hari. Menu kuliner yang berbahan daging sapi itu, merupakan salah satu sumber protein terbaik serta sumber beberapa nutrisi penting bagi tubuh. Namun jika dikonsumsi berlebihan dapat menjadi kolesterol jahat . Kadar protein daging sapi sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan gizi bagi tubuh.
Dalam setiap 100 gr daging sapi mengandung 15 gr lemak dan 26 gr protein. Selain itu terkandung mineral (zinc, fosfor, zat besi) dan Vitamin B. Manfaat gizi daging sapi itu tentu saja tergantung dari proses pengolahan serta proses penyimpanan dan pemasakannya. Dalam setiap jenis potongan daging sapi memiliki bagian berbeda, Â sehingga akan memiliki perbedaan harga sesuai klasifikasinya.Â
Permintaan kebutuhan daging sapi yang tinggi terutama menjelang momen perayaan keagamaan besar seperti Ramadhan saat ini, mengakibatkan bergejolaknya harga di pasaran konsumen seiring jumlah pasokan yang tidak memadai. Lonjakan harga daging sapi yang telah menjadi masalah klasik tahunan ini, menjadi perhatian utama Presiden Joko Widodo. Pemerintah tak hanya fokus dalam pengendalian harga, namun juga telah menyiapkan program swasembada daging sapi dalam rentang waktu sepuluh tahun kedepan.Â
Â
Demikian hal ini dikemukakan Thomas Trikasih Lembong (Menteri Perdagangan) dalam Kompasiana Nangkring bersama Kementerian Perdagangan (Kemendag), yang berlangsung di Anomali Cafe Menteng Jakarta Pusat pada 22 Juni 2016 lalu.Â
Daging sapi itu memiliki perbedaan harga untuk setiap jenisnya. Untuk kualitas sangat bagus dikenal dengan istilah Primary Cut, dimana yang termasuk adalah Has dalam, Â Has luar, lamusir. Jenis ini merupakan yang biasa digunakan untuk steak serta restoran premium. Harga daging sapi ini memang relatif tinggi berkisar Rp. 120 ribu hingga Rp. 130 ribu per kilogram, dikarenakan tak terlalu berlemak dengan tekstur lebih lunak.
Kemudian jenis Secondary Cut type A-B yang memiliki kualitas sedang bagus, dimana yang termasuk adalah samcan, tanjung, sengkel, gandik, sampil, pendasar. Jenis ini merupakan bahan olahan yang paling banyak dikonsumsi masyarakat untuk dibuat semur, rendang, dendeng dan abon sapi. Tekstur daging tidak selunak tipe Primary Cut, dan memiliki harga di kisaran Rp. 80 ribu hingga Rp. 115 ribu per kilogram.
Untuk daging industri (manufacturing meat) bagian yang termasuk antara lain tetelan 65-95 CL, daging dadu, daging giling. Harga jenis ini ada di kisaran Rp. 40 ribu hingga Rp. 60 ribu per kilogram.
Bagian bibir, lidah, buntut, daging kepala, semuanya merupakan jenis daging variasi (fancy & variety meat). Harganya sendiri berkisar Rp. 65 ribu hingga Rp. 100 ribu per kilogram.
Nah untuk jenis jeroan (edible offal) merupakan harga daging sapi termurah yang berkisar Rp. 30 ribu hingga Rp. 40 ribu per kilogram. Bagian yang termasuk jenis ini adalah usus, otak, paru, Â jantung, limpa dan babat
Fokus pemenuhan sapi impor hanyalah untuk wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sementara di luar kedua wilayah tersebut relatif telah mampu melakukan swasembada sapi, namun harga daging sapi dapat ikut naik tajam ketika harus memenuhi pasokan ke Jakarta dan Jabar.
Harga daging sapi terus bergejolak tak pernah kembali normal, akibat tahun lalu pengurangan drastis kuota sapi impor untuk bakalan. Awal tahun ini pun sama keadaannya tak jauh berbeda. Ini pun masih diperburuk dengan masalah klasik infrastruktur yang menyebabkan biaya tinggi. Waktu tempuh lama akibat jauhnya tempat peternakan sapi menuju rumah potong hewan (RPH) dan pasar.Â
Belajar dari negara tetangga yang mampu melakukan pengendalian harga daging sapi yang terjangkau bagi rakyatnya. Maka Presiden Joko Widodo tak hanya menginginkan harga daging sapi di kisaran Rp 80 ribu, namun juga berkomitmen untuk dapat melakukan swasembada sapi hingga sepuluh tahun kedepan. Pembenahan dan penyediaan infrastruktur peternakan terus digenjot dengan dukungan investasi.Â
Namun dalam menjaga kestabilan harga daging sapi dan ketersediaannya di pasar, diperlukan sinergi dan saling memahami antar pemangku kepentingan (stakeholder). Ini juga tak lain untuk memangkas habis mafia / kartel pangan yang sangat merugikan kebutuhan penyediaan gizi masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H