Wilayah Indonesia yang terbentang mulai dari Aceh hingga Papua, menyimpan potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa. Kalau diibaratkan seperti Gadis Cantik yang memiliki sumber daya alam yang menjadi lirikan dan rebutan korporasi dunia. Industri migas menyumbang 350 trilyun rupiah sebagai pendapatan negara. Paradigma lama industri migas hanya sebagai sumber pendapatan dan sumber energi bahan baku. Saat ini paradigma baru adalah sebagai multiplier effect yang menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
Demikian intisari obrolan event Buka Puasa Bersama & Ngobrol Migas Bareng Netizen yang diselenggarakan SKK Migas 3 Juli 2015 lalu di Kembang Goela Resto Plaza Sentral Jakarta Selatan. Narasumber adalah Elan Biantoro (Kepala Bagian Humas SKK Migas) dengan dipandu moderator Kusairi (Pemimpin Redaksi IndoPetroNews).
Acara dibuka oleh Ryan Wurjantoro ( Kepala Urusan Hubungan Media SKK Migas). Ryan berharap melalui event ini SKK Migas dapat berbagi informasi yang berimbang mengenai aktivitas industri hulu migas dalam membangun negeri bersama para netizen.
Elan Biantoro menjelaskan sejarah awal mulanya pengeboran minyak di Indonesia. Pada tahun 1871 dilakukan pengeboran minyak pertama di daratan Indonesia oleh Jan Reerink, orang Belanda yang menemukan kandungan minyak di daerah Majalengka, di lereng Gunung Ciremai. Sementara pada 1892 Aeliko Jans Zeijlker menyelesaikan pembangunan pemboran minyak lepas pantai di Pangkalan Brandan, dimana korporasi ini dikenal dengan nama The Royal Dutch Shell. Tahun 1951 dibuat kesepakatan Bagi Hasil 50:50 antara negara dan korporasi migas. Sebelum tahu 1960 negara hanya menerima Tax Royalty, sementara korporasi migas memiliki secara penuh pengelolaan migas.
Pemerintah melakukan kebijakan pembentukan perusahaan negara yang mengelola industri migas mulai dari sektor hulu hingga hilir pada 20 Agustus 1960, yang dikenal dengan nama PN Pertamina. Pada 26 Oktober 1960 terjadi perubahan tata kelola migas dari Konsesioner menjadi Kontraktor. Dengan UU No.44/1960 terjadi nasionalisasi perusahaan migas asing. Pemberlakuan Kontrak Karya tahun 1965 menjelaskan negara adalah pemilik migas, sementara perusahaan migas dibayar atas jasanya saja. Kontrak Bagi Hasil menurut UU No.8/1971 menjelaskan negara memiliki secara penuh migas, modal dan risiko sepenuhnya dibebankan pada perusahaan migas, kemudian adanya sistem bagi hasil.
Pasal 33 UUD 1945 diterjemahkan ke dalam UU No.22/2001 menerangkan bahwa migas dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. UU No.22/2001 memuat Kontrak Kerja Sama (KKS) industri hulu migas dimana negara adalah pemilik migas, modal dan risiko menjadi beban perusahaan migas, adanya sistem bagi hasil plus First Tranche Petroleum (FTP).
Untuk menghindari kebijakan yang tumpang tindih dengan Pertamina sebagai Badan Usaha dan Badan Regulator industri hulu migas, maka pada tahun 2002 dibentuk Badan Regulator industri hulu migas yang bernama BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ). Dengan adanya pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Agung, maka pada 14 Januari 2013 terbentuklah SKK Migas ( Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi). Dalam menjalankan tugasnya SKK Migas bekerjasama langsung dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari mulai mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan hingga evaluasi kontrak kerjasama apakah bernilai ekonomi atau tidak.
Sesuai amanat UUD 1945, adanya Kontrak Bagi Hasil serta Pemilik tanah hanya dipermukaan saja. Apabila ada cadangan migas dibawah permukaaan tanah, maka sepenuhnya menjadi milik negara.
Kegiatan industri hulu migas adalah eksplorasi dan eksploitasi. Karakteristik industri hulu migas membutuhkan modal yang sangat besar, membutuhkan teknologi terbaru yang sangat tinggi, memiliki risiko yang sangat besar dan membutuhkan sumber daya manusia yang sangat mumpuni. Apabila faktor tersebut sudah terpenuhi maka akan adanya keuntungan (profit) pendapatan yang sangat luar biasa besarnya. Dengan adanya Kontrak Kerja Sama (KKS) , negara hanyalah mencari mitra kerja bisnis tanpa mengeluarkan modal sepeserpun dan tanpa perlu mempertaruhkan APBN untuk mengelola hulu migas. Lelang/tender Hak Pengelolaan Wilayah Kerja Migas dilakukan oleh Kementerian ESDM dengan pemenang lelang adalah yang berani melakukan jumlah investasi yang terbesar dan memberikan bonus tanda tangan (signature bonus) yang terbesar. Penandatanganan KKS kemudian dilakukan antara SKK Migas dan Perusahaan Pemegang Hak Pengelolaan dalam satu Wilayah Kerja.
Tahapan eksplorasi dan eksploitasi hingga dapat menghasilkan migas membutuhkan waktu hingga belasan tahun bahkan bisa lebih lama lagi dan membutuhkan modal besar hingga trillyunan rupiah. Tapi itupun tidak memberikan jaminan keberhasilan yang bernilai ekonomi yang maksimal. Jumlah barel cadangan migas yang harus ditemukan, haruslah sebesar jumlah barel produksi migas yang dihasilkan.Â
Hingga saat ini Indonesia menjadi magnet yang kuat bagi korporasi dunia, dengan adanya potensi sumber daya alam yang sangat luar biasa besarnya. Diibaratkan sebagai seorang Gadis Cantik yang memiliki sumber kekayaan alam yang jadi lirikan dan rebutan dunia. Ketika terjadi eforia harga minyak yang booming pada tahun 2007-2008, bermunculan petualang-petualang dengan perusahaan abal-abal yang mendapatkan tender wilayah kerja, yang ternyata dijual lagi kepada korporasi besar lainnya.
Paradigma lama dalam tata kelola hulu migas adalah sebagai sumber pendapatan dan sumber energi bahan baku. Dahulu migas sempat memberikan sumbangsih 70% APBN sebagai sumber pendapatan negara. Terdapat 341 perijinan industri hulu migas yang harus dilewati dan dengan adanya otonomi daerah mengakibatkan konflik regulasi. Permasalahan industri hulu migas beberapa tahun terakhir ini menjadi isu yang sangat seksi dan selalu menjadi trending topic. Salah satu informasi yang menyesatkan adalah 90% cadangan minyak dikuasai oleh asing. Padahal penguasaan migas tetap dalam kendali negara.
Saat ini paradigma baru tata kelola hulu migas adalah kemakmuran masyarakat ( people prosperity), peduli kemiskinan (pro-poor), peduli peningkatan produktivitas kerja (pro-job), peduli pertumbuhan ekonomi (pro-growth). Daerah penghasil migas akan mendapatkan tambahan 15% diluar APBN. Ini tentu akan menciptakan multiplier effect yang akan menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
SKK Migas adalah wakil pemerintah dan berkomitmen menjamin produksi minyak dan gas bumi nasional memberikan manfaat yang maksimal bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Bisnis hulu migas adalah proyek negara, oleh karena itu sudah seharusnya semua pihak mendukung industri hulu migas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H