Jakarta – Pertama kali saya mengenal Facebook saat masih duduk di bangku SMA. Waktu itu sekitar tahun 2008 atau 2009 sepertinya. Mungkin Anda juga demikian, pertama kali mengklik tombol “registrasi” di Facebook pada tahun yang sama dengan saya. Atau mungkin Anda lebih dulu kenal FB ketimbang saya. Entahlah, saya pun tak tahu. Tapi yang jelas kita semua tahu bahwa Facebook adalah raja dari segala media sosial.
Mark Zuckerberg mungkin saja tidak pernah mengira bahwa deretan alogaritma kompleks yang ia susun membuat dunia tampak lebih kecil seperti sekarang. Saya sendiri pun tidak pernah menyangka hanya dengan satu tombol registrasi saja saya bisa bertemu dengan kawan lama tanpa perlu bertatap muka. Tidak ada yang pernah menyangka, tidak ada yang bisa meramalkan.
Beberapa tahun kemudian muncul media sosial lainnya dengan basis yang berbeda-beda. Twitter dengan batasan 140 karakter menobatkannya sebagai media microblogging tersukses yang pernah ada. Kemudian muncul Instagram, Path, hingga Snapchat yang belum lama ini IPO. Mereka adalah tempat di mana keinginan eksistensi pengguna bermuara.
Semua media sosial ini punya pengaruh yang sangat luar biasa pada segala aspek kehidupan. Media sosial mengubah cara berpikir, berinteraksi, bekerja dan bahkan media sosial benar benar mengubah cara manusia hidup. Manusia seolah telah bergantung sepenuhnya dengan media sosial contohnya seperti saya ini dan mungkin juga Anda. Apa yang Anda lakukan saat bangun tidur? Sholat? Minum air putih? Atau memeriksa notifikasi Facebook?
…
Pada selasa kemarin saya diberi kesempatan untuk menghadiri acara seminar ICON Media 2017. Di sana Fadjar Hutomo sebagai perwakilan dari Bekraf mengemukakan hal serupa. Ia mengatakan media digital adalah bagian dari evolusi terbesar kehidupan manusia. Saya sangat sependapat dengan beliau jika melihat perkembangan teknologi yang terus meluas, mengakar pada segala bidang dan aspek hidup. Bahkan menjadi tulang punggung yang menopang segala kebutuhan masyarakat, perusahaan, pemerintahan.
Data pun berbicara senada. 63,1 persen dari penduduk Indonesia dikatakan memiliki ponsel pintar dan 71 persen dari pengguna ponsel pintar tersebut terhubung dengan internet. Artinya ekosistem digital di Indonesia pun semakin menjamur. Perusahaan rintisan (start up) terus berkembang dengan jumlah yang terus berlipat ganda. Media digital semakin meluas.
Media massa pun bergerak sejalan dengan zaman. Pergerakan teknologi memaksa koran untuk ikut mengubah wujudnya dari fisik ke digital. Seingat saya surat kabar yang pertama kali bertransformasi ke bentuk digital adalah Republika. Tapi itu sebatas memindahkan konten dari koran ke media digital. Pada sekitar tahun 2000an barulah muncul Detik.com yang untuk pertama kalinya melakukan jurnalisme online secara total yakni proses editorialnya pun dilakukan secara online.
Kemudian setelah kesukesan Detikcom muncul media media baru. Kompas.com, Liputan6.com, Vivanews.co.id, Kumparan.com hingga Kompas.id yang Februari lalu resmi diluncurkan. Semua media memiliki konten dengan ciri khas masing-masing. Ada yang memenggal berita dengan paragraph pendek dan mengutamakan kecepatan, ada yang mengutamakan kelengkapan data, ada juga yang menyajikan berita dengan gaya yang ringan.
Semua berbeda tapi ada satu kesamaan, yaitu homepageatau halaman depan masing-masing media online ini yang kian jarang dikunjungi pembaca.
Maksud saya adalah jumlah pembaca yang mengakses media online dengan mengetik www.detik.com atau www.kompas.com misalnya, semakin hari semakin berkurang. Kebanyakan pembaca, langsung mengklik tautan pada artikel tertentu tanpa harus singgah terlebih dahulu ke halaman depan situs tersebut.
Ini terbukti dari data yang disajikan oleh David Wayne Ika, CEO Kurio--sebuah aplikasi pengumpul (aggregator) berita, yang menunjukkan bahwa hanya 20 persen saja pembaca membuka sebuah artikel melalui halaman depan. 20 persen lainnya membuka artikel melalui mesin pencari dan 60 persen sisanya, mereka membuka artikel lewat media sosial.
Artinya, media online semakin banyak kehilangan traffic yang menuju halaman depan mereka. Kebanyakan traffic langsung menuju artikel tertentu yang berasal dari media sosial. Berarti media sosial adalah ibarat jalan pintas bagi para pembaca untuk langsung menuju halaman tertentu pada sebuah situs yang mereka inginkan. Ada tindakan bypass yang terjadi dalam proses ini.
Lama kelamaan halaman muka (homepage) sebuah situs tidak akan lagi ada. Inilah yang saya maksud dengan media tanpa rumah. Ingin tahu contohnya? Coba buka saja halaman resmi AJ+ (AJplus.net). Situs berita berbasis video bagian dari Al Jazeera ini memiliki halaman muka yang sangat sederhana. Hanya beberapa video yang ditampilkan di sana. Namun pada bagian teratas terdapat pilihan yang dapat me-redirect kita menuju akun media sosialnya.
AJ+ memang sangat bergantung pada media sosial di mana mereka menyebarkan seluruh kontennya dengan semua akun yang dimiliki. Ini berarti bahwa media sosial juga membawa gaya baru pada penyebaran serta pembuatan sebuah berita. Di Indonesia ada Opini.id yang mengadopsi proses serupa.
Media sosial turut memiliki bagian penting di dalamnya. Segala macam aktivitas dipublikasi di sana dan bahkan menjadi ladang monetisasi bagi segelintir perusahaan. Inilah saat di mana media sosial membawa “gaya baru” penyajian berita dan monetisasinya. Di kemudian hari, bisa saja media sosial ini membuat media massa online tidak lagi memiliki rumah seperti bangsa Nomaden yang berpindah pindah.
Sepertinya semua harus tunduk pada kekuatan media sosial dan harus memanfaatkannya.
Kompasiana juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H