Di sudut jalan itu kita bertemu.
Berpapasan dengan payung di tangan.
Kala itu, hujan turun tanpa reda, membawa satu keteduhan untuk dua raga yang terpanaskan.
Aku yang salah, memang.
Menyulut api yang terlalu besar.
Bukan untuk kamu, tapi untuk mereka yang di belakangmu.
Menaruh kebencian pada mereka, dan begitulah.
Kita yang menanggung akibatnya. Memang, aku yang salah.
Tanpa sepatah kata, kamu berdiri menghadap.
Hanya melihat mata kamu, aku menemukan satu kesederhanaan.
Apa yang rumit pada awalnya tapi berakhir dengan sederhana.
Memang, cinta tidak menuntut kesetaraan, tapi akan menyetarakan.
Dua langgam berbeda dirangkum, berbalut nada menjadi rasa.
Ya, semua sesederhana itu.
Memang, cinta itu menyederhanakan.
Tapi apalah sesal.Â
Hidup di bawah sumpah untuk tidak lagi saling bertatap, itu menyakitkan.
Seperti yang aku sedang rasa.
Tapi untuk semua itu, ada kesederhanaan.
Ya, itulah sesal.
Sadar akan hilangnya jalan untuk berdua.
Sadar akan lunturnya imaji yang kita duga.
Tapi untuk semua yang telah kita lewati, tidak ada kata sesal.
Tidak boleh ada sesal.
Karena cinta begitu sederhana.
Karena kita dahulu bisa saling menerima.
Bisa saling menyetarakan tanpa diminta.
Karena kita punya satu yang istimewa,,,
Romantisme tanpa rasa congkak…
———————————————-
Judul ini diambil dari satu ulasan sepakbola, oleh Yusuf Arifin.
Dipublikasi juga di blog pribadi lukisankata.tumblr.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H