Aku menunggu satu jam lamanya. Setiap kali menunggu, detik terasa berjalan begitu lambatnya.
Pikiran bermigrasi entah ke mana.
Melayang, tinggi menjulang.
Terlalu tinggi...
Terpecah pedar cahaya, jatuh menukik menuju tanah.
Ah, pikiran terpecah.
Pikiran pulih dari khayal, yang tersisa hanya penuh pemikiran.
Penuh teori tidak berguna tentang jarak.
Jarak pembagi antara kamu dan aku.
Tapi apalah arti jarak, sejauh masih bisa berlari.
Berlari mengejar, menyentuh, menangkap, membelai.
Sayang, sulit untuk mengejar.
Bahkan tanda-tanda itu juga tak bisa kubaca. Sekadar satu kata
pun tak ada.
Kamu hanya melihat dengan sepasang mata bergulat nanar.
Menjelajah raut wajah yang bersembunyi dalam pekat.
Dalam pekat ini kemudian aku berkaca dengan cermin yang buram.
Melihat busuk dan lusuhnya bayangan diri.
Kemudian bayangan bertanya, masih sanggupkah berkejaran dengan
waktu?
Tanpa menjawab aku sadar bahwa ini adalah isyarat...
Jika akhir bukanlah pilihan, apakah bisa tetap menunggu?
Atau mungkin aku memang harus menunggu?
Mungkin begitu.
Karena sulit mempertahankan matamu agar tidak berpaling.
Kemudian aku teringkus hampa dan setelah berpisah, masih berdetakkah getarmu untuk sendiriku?
---------------------------------------------------------------------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H