"Lu udah gede, masih aja baca komik"
Kata-kata itulah yang paling sering saya dengar dari orang-orang. Baik orang tua, teman atau orang terdekat lainnya selalu mengatakan hal yang sama.
Mereka selalu mempertanyakan mengapa saya masih sering membeli dan membaca komik, padahal umur saya sudah seperempat abad. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, mungkin menurut mereka membaca komik itu hanya untuk anak-anak, atau bocah kecil yang baru belajar membaca. Tapi untuk saya pribadi, membaca komik adalah satu kesenangan tersendiri dan bagian dari hak azasi manusia. Tsaaah...
Tidak salah memang anggapan seperti itu dan tidak ada pula yang menyalahkan. Tapi masih banyak yang menganggap bahwa komik adalah buku yang mewakilkan kemalasan membaca (ini yang paling ngeselin).
Ya, berbeda dengan novel, literasi atau buku-buku lainnya yang berisi rentetan huruf dalam satu halaman penuh. Komik diisi dengan gambar (visual) dan dalam satu scene hanya sedikit mengandung teks. Sisanya, penuh dengan gambar.
Mungkin karena inilah komik dianggap hanya disukai oleh orang yang malas membaca dan lebih suka sekadar melihat visual saja. Tapi sebenarnya ada manfaat tersendiri dari membaca komik. Bukan sekadar menikmati gambar tapi lebih dari itu.
Gambar dan tulisan adalah dua elemen utama. Kemudian ditambah dengan elemen tata ruang serta layout. Dalam satu kali membaca, pembaca komik harus mengolah ketiga data ini dengan cepat untuk menginterpretasi serta menafsirkan sesuatu.
Artinya, meskipun elemen-elemen ini juga hadir dalam hal-hal lain seperti video game, televisi, dll., membaca komik ternyata melibatkan pengolahan data yang jauh lebih kompleks. Dari sinilah otak membutuhkan effort yang lebih banyak dan secara tidak langsung dapat melatih otak kita agar bisa memandang sebuah hal dengan cara berpikir yang berbeda.
Kedua, jalan cerita pada komik dapat membuat saraf otak bekerja lebih baik. Sebuah penelitian tentang saraf otak yang dibuat oleh Berns Gregory, Blaine Kristina, Prietula Michael dan Pye Brandon pada tahun 2013 lalu menjelaskan bahwa membaca sebuah cerita secara berkesinambungan dapat berimbas positif pada saraf-saraf otak. Membaca sebuah cerita yang sistematis dapat melatih otak bisa berpikir secara sistematis juga dan berurutan. Tentu saja komik adalah buku yang menghadirkan cerita yang tersusun rapi dengan sebuah storyboard terstruktur disertai dukungan visual.
Ketiga, banyak pelajaran berharga yang bisa diambil dari cerita sebuah komik, terutama komik jepang alias manga. Ambil contoh komik Shinchan yang baru saja saya beli ini. Meski komik ini "katanya" tidak bagus untuk dibaca karena banyak mengandung gambar syur, tapi sebenarnya ada banyak nilai moral yang bisa diambil. Kepolosan seorang anak yang diceritakan dalam komik ini memberikan hiburan dan kesan tersendiri.
Masih banyak yang sebenarnya manfaat yang bisa didapat dari membaca komik. Jadi, jangan berpikir bahwa komik hanya boleh dibaca untuk anak kecil dan hanya dibaca oleh orang-orang yang malas.
Membaca komik adalah kenikmatan tersendiri. Tidak bisa disamakan dengan membaca sebuah novel, literasi atau buku-buku lainnya.
Sekian aurakasih.
-----------------------------------------------------------------------------------------
ps: Pak Admin, Bu Admin maaf ya kalo random. Ngetiknya sambil nonton Semifinal badminton. Maaf juga buat para pembaca Kompasiana karena ane bukan nulis artikel-artikel politik seperti yang lagi rame di Kompasiana. Sekali lagi mohon maap :(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H