[caption caption="Supporter timnas Indonesia. Sumber: Tribunnews.com"][/caption]Hampir satu tahun lamanya sepakbola Indonesia mati suri. Ya, 17 April 2015 lalu memang menjadi hari kelabu untuk liga Indonesia. Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi membubuhkan tandatangannya pada SK pembekuan PSSI dan seketika itu juga, aktivitas sepakbola negeri ini berhenti berdenyut.
Hampir satu tahun seolah kita tidak melihat ada perkembangan ke arah yang lebih baik. Malah cenderung terlihat semakin runyam dan entah kenapa saya sendiri pesimistis masalah sepakbola ini akan selesai dalam waktu dekat.
Setelah organisasinya dinyatakan bermasalah, belum lama ketua PSSI, La Nyalla Mattalitti ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Bahkan statusnya sekarang menjadi buron karena yang bersangkutan kabur ke Singapura. Buronan! Bayangkan bagaimana nasib organisasi yang dia pimpin jika pemegang kuasa tertingginya saja berstatus buronan. Semakin blur saja masa depan sepakbola kita.
Penghentian aktivitas (resmi) sepakbola Indonesia sejak tahun lalu memang sebenarnya merugikan banyak pihak. Pemain kehilangan mata pencahariannya, klub tentu saja kehilangan sponsor yang jadi sumber dana dan masyarakat kehilangan hiburan nomor wahid.
Kehilangan Bahasa
"Sepakbola adalah bahasa universal dan setiap negara pasti punya logat dan dialek masing-masing."
Kata-kata inilah yang pernah dilontarkan mantan atasan saya saat berdiskusi soal seluk beluk sepakbola. Ketika itu saya masih berstatus sebagai wartawan di salah satu media daring.
Memang benar, sepakbola kini sejatinya bukan sekadar permainan atau olahraga. Ia menjadi satu ciri khas tertentu dari sebuah daerah. Sepakbola menjadi sebuah representasi, bahkan jika ditelaah lebih dalam, sepakbola adalah sebuah identitas.
[caption caption="Supporter timnas Indonesia di Malaysia. Sumber: Kompas.com"]
Semua punya ciri sesuai kaidah sepakbola yang mereka anut. Ketika aktivitas sepakbola satu negara dihentikan, maka ia menjadi bisu. Ia kehilangan bahasa. Dan lebih parah, eksistensinya akan sulit untuk diakui dunia internasional.
Liga Tarkam Tingkat Tinggi
Berhentinya liga resmi di Indonesia dimanfaatkan sejumlah pihak untuk mendulang keuntungan. Kompetisi dan turnamen singkat kemudian bergulir. Diawali Piala Presiden, kemudian Piala Jenderal Sudirman dan kini yang menuju partai puncak adalah Piala Bhayangkara.
Tentu saja meski dalam jangka waktu singkat, turnamen seperti ini juga bisa menjadi sumber pemasukan bagi para pemain. Mereka setidaknya tidak kehilangan mata pencaharian secara total.
Selain itu semua turnamen ini juga bisa sedikit melunturkan kerinduan kita akan sepakbola. Stadion kembali bergemuruh, atribut kembali bermunculan dan para pendukung dengan lantang menyerukan yel-yel untuk menyulut semangat bertanding tim kebanggaan mereka masing-masing.
Tapi sayang, peraturan FIFA memang keras. Turnamen yang tidak diselenggarakan oleh organisasi yang diakui FIFA, maka tidak akan berpengaruh apapun pada sepakbola nasional. Ditambah tidak adanya pertandingan resmi yang dilakoni timnas maka peringkat dunia tidak akan berubah, Indonesia akan stagnan bahkan cenderung terus menurun. Sehingga turnamen jangka pendek ini lebih mirip liga tarkam pada level yang lebih tinggi.
Enigma Sepakbola Indonesia
Entah sampai kapan kita akan menahan kerinduan akan sepakbola Indonesia. Sepakbola resmi yang diakui FIFA dengan gengsi tingkat tinggi. Tentu saja, kita juga rindu bisa melihat timnas bertanding di level internasional.
Meski kebanyakan hasilnya mengecewakan, tapi tetap saja ada satu kebanggaan ketika kita mengenakan kaos merah putih dengan garuda di dada. Ketika kita berkumpul tanpa ada batasan suku, ras, agama dan membuat stadion bergemuruh dengan Indonesia Raya dinyanyikan serentak. Ketika kita berteriak IN DO NE SIA kemudian diikuti tepukan tangan yang membangkitkan semangat. Kita rindu semua hal demikian.
[caption caption="Timnas U-19 lolos ke putaran final Piala Asia. Sumber: Kompas.com"]
Biarlah nasib sepakbola Indonesia menjadi engima. Semoga para pemangku kekuasaan bisa secepatnya mencari solusi dari teka-teki ini. Agar kita bisa kembali bersatu, menikmati liga resmi dengan gengsi selangit. Agar profesionalisme kemudian tidak menjadi kata receh yang diumbar demi keuntungan pribadi. Agar kita bisa menikmati timnas berlaga di ajang internasional dan mendulang prestasi.
---
Tulisan ini sekadar berbagi informasi & pemikiran. Tidak untuk menjadi bahan perdebatan. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H