Mohon tunggu...
Pratiwi Wulandari
Pratiwi Wulandari Mohon Tunggu... -

seseorang dengan pemikiran sederhana dan berharap kesederhanaan pikiran tersebut dapat ditransformasikan ke dalam aksi nyata. saat ini sedang menimba ilmu di FH UGM

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Catatan Tentang Seseorang yang Sudah Terlalu Lama Hidup dalam Dunia yang Ia Ciptakan Sendiri

15 September 2011   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:56 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kamu harus bertanggung jawab atas kegamangan ini. Atas malam-malam yang hilang terengkuh oleh delusi kamu yang seakan nyata. waktu seakan purba dimakan suara jam dinding yang tergantung. Jiwa ini menagih, meminta kamu hadir. Bukan hanya untuk sesekali, tapi utuh selamanya. Rindu ini laknat. Dia tak mengerti bagaimana rasanya menunggu. Menanti sesuatu yang kamu sendiri pun takut untuk mengharapkannya. Kamu dan aku, seperti dibatasi oleh garis bias tak kasat mata. Entah, mungkin aku yang buta. Kamu tau, aku benci pada ketidakpastian. Ketidakpastian membuatku takut untuk maju sekaligus enggan untuk mundur. Ketidakpastian, adalah hal paling busuk yang pernah menampakan wajahnya padaku. Dan kamu, kamu adalah orang yang mengenalkanku padanya.
Kamu percaya pada pertanda? Pada bahasa yang alam coba katakan pada kita? Aku selalu berharap bisa sedikit saja memahaminya. Karena kamu tau apa? Alam tidak pernah berbohong. Pertanda adalah bahasa alam yang paling jujur. Kita yang tak pernah mampu untuk menerjemahkannya. Radarku selama ini berbunyi. Sejak aku mengenal kamu. Tapi aku tak pernah bisa menangkap apa yang alam coba katakan padaku. Selama ini aku ditemani oleh penghiburan yang aku buat untuk diriku sendiri. Aku coba untuk mendoktrin pikiranku, hatiku bahkan tubuhku untuk mempercayainya. Percaya bahwa isyarat itu mengatakan kamu ada untuk aku. Karena kamu tau apa? Aku tak akan pernah siap jika ternyata pertanda yang radarku tangkap justru mengatakan sebaliknya. Justru mengatakan aku harus membuat jarak denganmu.
Kamu tau ada beberapa hal yang lebih baik tak terucapkan? Mungkin saat inilah, ketika mata kita bertatap namun mulut kita bungkam. Ketika kita bersebelahan tapi tak ada kata yang terucap. Sampai kapan? Aku tak tahu. Aku memang yakin ada beberapa hal yang lebih baik tak terucap, tapi bukan selamanya. Aku hanya yakin pada hal yang lebih baik tak terucap hanya jika itu sementara. Sementara menunggu waktu yang tepat. Masalahnya adalah aku tak tahu kapan waktu itu tiba. Karena sesuatu yang tak terucap jika sudah lewat masanya akan menjadi sesal.
Aku benci sekali perasaan seperti ini. Aku benci ketika seluruh diriku terdominasi akan pikiran tentangmu. Tentang bayangan-bayangan yang aku buat sendiri tanpa aku tau apakah hal itu bisa menjadi nyata. Aku benci memikirkan kemungkinan kamu mempunyai sebuah antonim terhadap apa yang aku rasa. Aku terlalu takut untuk mencari tahu, tapi aku juga sudah terlalu lelah untuk hidup dalam dunia yang aku ciptakan sendiri. Karena aku tahu dunia itu tidak nyata. Karena aku terlalu pengecut untuk sekedar mencintai tanpa dicintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun