Mohon tunggu...
Pratiwi Wulan Sari
Pratiwi Wulan Sari Mohon Tunggu... lainnya -

seorang TKW yang saat ini tengah berdiam di bawah naungan langit Hong Kong. Sedang belajar bagaimana cara menulis dengan baik dan benar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Para Lacur

20 September 2013   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:37 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ojo mundak ngomong sing jeru-jerulah Ti, memangnya kita ini ndak tahu siapa kamu?! Wong sundel wae sok ngomong begitu. Setahuku kamu itu suka peli, tahunya cuma peli, dimana-manapun nyarinya peli! Ya nggak? Hahahaha.” Lelaki pembantah itu kali ini menimpali omongan Siti, perempuan yang berbicara panjang lebar itu dengan nada mengejek.

“Yo, yo…memang setahumu begitu, dan memang begitu itu aku. Tapi bukankah kamu juga seneng dengan bawukku To?! Kita senang, Tuhan menang. Sebenarnya begitu, Tuhan maunya menang, selalu harus menang. Lihat saja nabi Muhammad, dia satu-satunya mahluk dengan plat resmi dari Tuhan sebagai mahluk sempurna di muka bumi, diberi garis hidup yang pahitnya amit-amit jabang bayi. Meskipun toh pada akhirnya Tuhan mengakui kemenangan kekasih pertamaNya itu dengan memberinya rahmat tanpa batas.” Perempuan itu membalas ucapan Kasto, lelaki tukang bantah yang sebenarnya hanya ingin menepis persetujuan yang diam-diam mengiyakan kata-kata kawannya dalam hatinya itu.

Diam. Keadaan hening itu tertaut begitu saja. Meja bekas judi yang juga dijadikan sebagai lingkaran pengaduan itu terlihat berganti-ganti rupa mengikuti cahaya lampu yang bertudung seng karatan di atasnya. Lampu yang sepertinya telah mengalami masa sekarat dan sering dipaksakan hidup oleh si empunya. Tidak terang, hanya nyala seadanya. Kadang merah radang, lebih sering semburat kuning pucat, menyiarkan jiwa sekumpulan lawa yang mulai gersang dan patah arang.

@@@

“hidup itu Siti, seperti sekerat daging yang berada di mangkuk seorang tengkulak. Jika tidak terjual ya dia akan dibiarkan busuk. Atau diawetkan dengan cara yang mengerikan, membuat sebagiannya mati dan menjadi racun bagi yang memakannya kelak.” Rid mencoba mengimbangi ucapan Siti.

“ Sepertiku ya, Rid. Tapi kenapa yang memakanku seperti orang kecanduan heroin begitu? Datang dan datang lagi, tidak takut teracuni oleh bau tubuhku yang telah diawetkan oleh ratusan mani. Kenapa Rid? Apa orang – orang itu telah terlalu tamak oleh bayangannya sendiri akan surge?! Jadi begitu merasa keenakan diteruskannya saja, tanpa peduli dengan segala hal yang telah pasti bahwa batas kita itu berada pada titik ketakterhinggaan.” Perempuan yang dipanggil siti itu kembali berucap dengan kalimat yang sulit ditelaah oleh teman – temannya.

Ucapannya yang sering sekali menistakan diri sendiri secara tak langsung telah menghantam pula kesadaran teman – temannya. Mereka berpikir lagi tentang dosa, surga, dan neraka.

“Kira – kira apa kita nanti masih bisa menyaksikan surga? Mengintipnya barangkali, sebelum kita dibakar dan jadi penghuni abadi jahanam?” Rodiyah terdengar begitu berharap dengan kalimatnya.

Perempuan menor itu pernah mengaji, setidaknya ia sangat rajin datang ke langgar kecil tempatnya belajar mengeja alif ba ta, sebelum ia akhirnya mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari guru ngajinya. Iyah kecil berubah haluan setelah ia merasa kesal karena dicabuli oleh orang yang dia hormati selama ini.

“Untuk apa kamu menanyakan hal yang telah kamu yakini dalam benakmu pasti terjadi itu Iyah? Akupun pernah mengalami masa tidak menyenangkan, ketika semua keluargaku menolak kekasihku yang berbeda keyakinan. Sementara dia sendiri tidak ingin masuk ajaran Katolik, agama yang telah kuanut semenjak bayi. Akhirnya kami memutuskan tidak pernah meresmikan hubungan kami, namun kami bahagia dengan kebersamaan kami. Hingga suatu hari anak kami mendapat perlakuan tidak sepantasnya dari tetangga kami sendiri. Anak-anak mereka dijauhkan dari anak hasil hubunganku dengan kekasihku, mencibirnya sebagai anak haram.” Rid akhirnya membuka suara akan kisah suramnya. Kisah yang sebenarnya telah lama mereka ketahui.

“Sewaktu anakku sakit malaria, aku salah karena telah mengantarnya ke rumah sakit. Seharusnya dulu aku tidak membawanya ke sana. Karena tempat itu tidak lebih sebagai rumah mayat bagi orang-orang kecil sepertiku. Di sana aku hanya mengantar nyawa anakku sendiri. Sementara kekasihku minggat selepas kematian anakku, kembali ke rumah orang tuanya. Entah bangsat mana yang mampu membuatnya berubah pikiran senajis itu. Dia mengingkari janji sehidup semati denganku dan manut saja dikawinkan dengan juragan sapi yang telah beristri tiga oleh bapaknya di kampung. Hanya karena namanya telah diembel-embeli pangkat haji. Puih!”

Mulutnya meludah tepat d lantai tanah di bawah kakinya. Beberapa kecoa segera berebutan seperti menemukan seember air dari nirwana. Lelaki berpundak segi empat itu akhirnya bisa melampiaskan sedikit kekesalannya, dan helaan lega terhembus dari napasnya yang tinggal satu-satu.

Dan hal itu pula yang membuatnya memutuskan kontak dengan segala yang berbau kemanusiaan. Hubungan sosialnya dengan sekitar diabaikannya. Membuat orang di sekitarnya enggan membaur dengannya lagi, bahkan meski sekedar berbasa basi menyapa, “selamat pagi, apa kau sudah mati?”

Cerita lama seorang kawan bernama Rid, namun pengulangannya selalu berhasil membuat temannya merasa punya hati, karena sakit menyelekit mereka di sudut dalam tiap usai mendengar cerita dari lelaki berpundak segi empat itu.

Lantas sebagian pikiran melayang kepada warna warni cahaya di balik tembok kusam milik mereka menyembunyikan bayangan selama ini. Cahaya, lengking TOA musholla, ceramah sang bapa dan gemerincing lonceng serta aroma dupa klenteng.

Mereka seolah merasa tak lagi punya Tuhan, sang maha sandaran tunggal. Bahwa Tuhan telah dirampas dari hatinya, dijeruji di lapang hati kekasihNya yang lain. Mereka yang selalu tamak pada titik terang, takut pada gelap dan semua yang serba tak terlihat, takut meraba sedikit saja bahwa mungkin di balik gelap itu bukan hanya ketiadaan yang ada, tapi segala yang tidak dimengerti oleh mereka, para pecinta terang benderang.

“Aku juga pengecut, sangat pengecut!” tanpa diduga Kasto membuka suara, bernada kekalahan sekaligus pengakuan. Tidak ada emosi, seperti seorang deklarator yang sedang mencoba mengabarkan kemerdekaannya.

Pundaknya berguncang, bibirnya mengembang suarakan sengguk tangis dari matanya yang merah kering.

“Aku bahkan terlalu pengecut untuk mengakui bahwa aku ingin menangis dan lelah membantah” samar, suaranya bahkan tidak terkesan jantan sebagaimana biasa seperti ketika dia menolak apa yang temannya ungkapkan lewat argumennya yang sengit dan menonjok telinga siapapun yang mendengarnya.

Kasto, lelaki yang ingin menjadi kasta paling tinggi diantara tiap kata itu kini menelungkupkan badan sepasrahnya, diatas meja yang masih menjadi saksi atas sekumpulan dari mereka.

“Menangis To, menangis sajalah sepuasmu. Aku tahu kamu capek memanjakan kejantananmu setiap musim tanpa henti. Lagipula kamu masih punya hati kan, masih punya jiwa yang perlu kamu pupuki dengan airmatamu itu.” Siti masih seperti orang linglung kesurupan ruh wong agung. Tetap saja kata – katanya masih menggenapi lubang tanya yang pelan pelan terbuka di hati kawan – kawannya, meski tetap dengan duga. Hanya duga, tanpa tanya.

“Dulu orang selalu mendengar dan mengacungkan tangan mengakuiku sebagai yang paling diantara semua orang. Tapi itu dulu, pas sawah dan tambakku masih kebek sepanjang tepian pantai timur. Tapi sekarang, Dinggep opo aku iki lak wes kere?! Lari semua, ke yang berkuasa, ke yang punya nama. Kesel. Capek. Malu aku….”

Teman – temannya termangu mendengar Kasto mengadu, baru kali ini lelaki yang selalu ingin dibenarkan dan tegar itu terdengar seperti seorang bocah tak berdaya. Kepalanya ndlosor di atas meja, tangannya dijadikan sandaran dan perlahan titik air bocor dari kantung matanya.

Namun kepapaan yang didekapnya kali ini setidaknya mampu menyadarkannya bahwa harta yang dibanggakannya selama ini tidak menghasilkan apapun kecuali simpati dan kehormatan palsu. Nuraninya yang mengamini bahwa perkumpulannya yang sekarang lebih alami dan entah kenapa terasa manusiawi sekali baginya.

“Tak perlu menyesali, peradilan itu tetap ada biarpun kamu nangis darah sampai banjir nanah. Kamu tahu To, seperti apa laku hidupku. Ya, kamu Cuma tahu aku ini sundel. Titik. Sekarang biar kuberi tahu kenapa aku mau jadi sundel. Dan istiqomah dengan status sundel.” Siti menghampiri teman-temannya, menyeret sebuah kursi kayu yang sudah reyot sebelah dan mendudukinya.

Mereka segera antusias menyimak kisah Siti, perempuan berbadan kekar yang selama ini dikenal sebagai paling pendiam di antara mereka. Paling manut dengan segala peraturan yang diadakan oleh para lawa itu.

“Aku pernah punya suami, orangnnya baik, saking baiknya seluruh keluargaku bahkan tetangga kampungku dulu bilang bahwa aku beruntung, terlalu beruntung mendapatkannya. Siti yang pendek, gemuk, dan tidak cantik disanding seorang pria tampan, berpendidikan tinggi dan sudah matang juga pekerjaannya. Tapi ternyata sesuatu yang benar-benar sempurna itu memang tidak ada. Dan malam pertamaku adalah pelajaran pertama yang kuterima dari Tuhan untuk kupahami sekaligus kuterima. Kelamin suamiku layu….” Siti berhenti dan mengambil nafas sejenak, teman-temannya masih mendengarkan. Ada yang tersenyum selebihnya tak tahu apakah harus prihatin atau justru meringis miris, seperti Rodiyah saat ini.

“Jika hanya begitu aku bisa menerimanya, karena dia baik. Dan aku tulus melengkapi diriku sebagai tulang rusuk bagi suamiku. Tapi apa lacur, dia yang merasa tidak punya harga sebagai lelaki memintaku zina dengan lelaki lain di hadapannya. Katanya mungkin ini bisa menumbuhkan kejantanannya yang layu itu. Apa perasaan yang pantas kupakai saat itu? Apa kalian tahu?! Aku seperti disuruh terjun ke jurang jahannam. Tapi dia suamiku, dan aku menjungjungnya sangat tinggi. Karena welasku! Dan aku bertanya dalam hatiku, apakah ini yang disebut sebagai laku ikhlas itu? Sementara aku tak mungkin mengabarkan aib suamiku sendiri. Ya, aku bercinta dihadapannya, dengan lelaki. Dia masih saja layu. Lantas dia memintaku lagi, dengan anjing! Apa kalian bisa bayangkan, rupa hatiku? Sudah carut marut, sudah tidak tahu apakah masih ada, utuh, atau telah runtuh dan di sapu angin.”

Siti yang pendiam bicara sangat panjang, kesedihannya mengalir bandang. Namun belum selesai, tarikan nafasnya yang menggebu dan mukanya yang masih merah arang ingin diselesaikan sampai abu.

Rodiyah mulai terisak, Rid menyentuh bahu Siti dan mengelusnya pelan, seperti ingin menyalurkan kekuatan, dan Kasto, lelaki itu hanya memandang Siti takjub. Tidak percaya akan pahit yang telah dan masih selalu dikunyah perempuan itu.

“Suamiku yang dirundung kecewa karena batangnya layu, mulai sakit – sakitan. Dan dia menceracau tentang kematian, kehidupan panjang, dan harapannya akan bahagia denganku tanpa perlu pusing memikirkan kelaminnya yang layu. Tapi menjelang kematiannya ada keinginannya yang membuatku memutuskan hidup begini hingga sekarang. Aku ‘harus’ kawin dengan lelaki lain, tanpa ijab Kabul. Karena kakawinanku dengan lelaki lain akan membuatnya bahagia dan lega karena syahwat kewanitaanku tersalurkan dengan pasti. Dan tanpa pernikahan dia yakin aku akan tetap jadi miliknya yang tunggal, sampai penghabisan.” Siti mengakhiri kata – katanya.

Teman – temannya mulai mengerti siapa Siti, wanita yang selama ini seolah menjadi sapi betina paling liar karena selalu ingin diperah ratusan tangan lelaki. Semakin tidak jelas siapa yang harus diadili, pengadilan mana yang pantas mengadili, serta hakim mana yang boleh menakar masalahnya. Perempuan yang kadung menjadi sundal. Tetangga yang mengecam, serta dia yang diam, karena setianya pada suami, pada mendiang kekasih tercintanya.

@@@

Srengenge padang di langit timur, rumah orang-orang mulai menampakkan senyum di barisan jendela yang terbuka lebar pagi itu. Sementara gubuk suram di pinggir kampung yang letaknya berhimpitan dengan TPA serta WC umum yang telah jarang digunakan, karena yang lain telah memiliki wc pribadi di rumahnya masing – masing kecuali mereka itu, tetap saja bermuka semu. Pudarnya mengguratkan penghuninya yang tak lagi punya harapan bahkan sekedar ingin diakui sebagai manusia.

Apakah pilu masih perlu bagi sekumpulan lawa itu? tanda tanya mengerubung hati mereka. Pagi masih lengang, meski sesekali kokok ayam terdengar juga di kejauhan. Rumah suram yang menjadi gua pertapaan sekaligus ruang pesta paling damai bagi mereka masih tetap kukuh menenggelamkan imajinasi hitam.

Kini saatnya para lawa tidur, membawa mimpinya untuk dituang pada gelas anggurnya nanti malam.

Tegal 2011 – Causeway bay 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun