Mohon tunggu...
Pratiwi Wulan Sari
Pratiwi Wulan Sari Mohon Tunggu... lainnya -

seorang TKW yang saat ini tengah berdiam di bawah naungan langit Hong Kong. Sedang belajar bagaimana cara menulis dengan baik dan benar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lamar

16 Maret 2014   14:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

LAMAR (cerita tentang kelamin)

Apa yang kau pikirkan jika perempuan sepertiku dilamar oleh seorang lelaki?! Pasti yang terbayang olehmu adalah sepotong rupaku yang tengah merah marun saking malunya dan hatiku yang mekar berbunga–bunga.

Sebagaimana rupa gadis lugu jika sedang menghadapi kekasihnya yang menodongkan sebuah cincin berlian, sambil berlutut jantan bak seorang pangeran menghadapi putri paling jelita.

Dan kau mengira aku begitu, meski kau tahu latar belakangku kau masih mengira aku akan benar-benar merasa begitu?!

Atau biar kuingatkan kembali kepadamu yang barangkali telah lupa bagaimana aku hidup, guratan seperti apa yang selama ini melintang pada sumbu garis nasibku.

“Aku tahu, kau seorang Drupadi yang hidup di jaman Joyoboyo dan kutukannya berlangsung hingga jaman Suharto, kelimpungan karena tersesat oleh paham Yudoyono.” Kau tertawa ngakak dan aku sungguh tidak suka dengan gaya cekakakanmu itu.

Ini bukan tentang politik, dan kesangat mengertianmu akan alergiku terhadap sesuatu yang berbau politik justru membuatmu tergoda untuk mengejek pola pikirku yang saat ini lebih pepet dari benang ruwet.

“Hei, aku di lamar! Sungguhan dilamar, nggak ngapusi!” aku panik menghadapi situasiku yang tiba-tiba diserang phobia dan tanggapanmu yang ringan-ringan saja.

Dan kau masih juga tertawa, tapi kali ini kau tampak berusaha keras untuk lebih kalem, tidak bicara seenaknya seperti tadi.

Ya, memang seharusnya kau tidak keterlaluan kali ini, meski biasanya kau sering mengejekku karena kekasihku yang suami orang itu perutnya buncit seperti Semar yang tengah sakit sembelit beberapa minggu.

Tidak, ini lain perkara. Kau mengerti, kan?! Lupakan dulu tentang om Seno yang tidak pernah mengutarakan perasaannya padaku. Kecuali ketika ia hampir sampai puncak mendakiku dengan susah payah sambil menceracau kesetanan,

“Marni I love you” berulang kali setiap malam sabtu selepas isya. Setelah istrinya pergi sambang ke orang tua. Kegiatan rutin yang membuat kekasih gendutku itu leluasa merampok jatah tidurku selama hampir dua tahun ini.

Dan jangan membantah pula kau pura-pura tidak mengerti bahwa lelakiku bukan hanya dia. Ada banyak dia di belakang dia yang mengantri ingin mendakiku dan berkeringat mencapai puncak keremajaanku. Kau mengerti kan, mengerti bahwa dia di belakang dia itu ratusan jumlahnya.

Karena itu, setiap kita hanya berdua saja kuutarakan keherananku kepadamu. Bahwa aku tidak bisa lagi merasakan keistimewaan dari penis kekasihku dan penis-penis dia di belakang dia yang sabar mengantreku itu.

Terakhir, aku justru hanya merasa bahwa gua garbaku tengah diaduk-aduk batu besar hingga rasanya keleluasaanku jadi tersumbat. Karena ingin bebas, kutendang perut dia yang tengah terengah-engah dalam pendakian itu. Dia terjungkang bebas kebelakang, membuatnya tobat kemudian. Dan nama dia yang tak pernah kuingat itu segera tercoret dari daftar antrian dia di belakang dia yang masih saja ratusan jumlahnya.

“Itu hanyalah penerapan nyata dari suku kata jengah, Drupadiku. Nanti kalau kau rindu terengah-engah bersama mereka yang ratusan jumlah antreannya itu, kau akan bangkit dari mati rasamu.” Kau meyakinkanku dengan gaya menggelikan, menepuk perutku yang rata dan gersang.

Tetapi lelaki yang melamarku itu, dia tidak pernah ada dalam daftar antrean dia di belakang dia sebelumnya. Bagaimana dia bisa begitu yakin ketika mengajukan lamarannya padaku?!

“Mungkin dia memang masa depan yang tiba-tiba langit bentangkan di hadapanmu. Sekarang terserahmu to, mau diiyakan atau justru kau abaikan saja masa depan yang sekalinya ini mampir ke rumahmu. Rumah yang terlalu penuh masa lalu dan tak pernah ingin berlalu ini. Selalu datang dan datang lagi. karena mereka semua, - seluruh penghuni masa lalu itu adalah laki-lakimu.”

Kita saling diam kemudian, meski diammu sambil merangkul erat perut rataku. Sudahlah diam saja. Diam.

@@@

“Dia menunggu jawabanku, apa tidak bisa dia membiarkanku tidak gila sehari saja?!” aku berteriak tepat di atasmu. Kau tetap seperti biasa, dengan gaya yang biasa dan tanggapan santai biasa.

“Sementara lelaki Semarmu sepertinya telah mulai mencium kegelisahanmu. Sudah beberapa minggu kau menolak untuk didakinya.”

“Dan aku memang sedang tidak ingin didaki oleh siapapun! Kau tahu kan, daya rangsangku sedang mati. Aku menyetop segala bentuk kegiatan pendakian itu, bahaya laharku sedang siaga. Sudah ada satu korban, semoga om Seno dan dia dibelakang dia bisa mengerti.”

Batas tabu tiba-tiba terlihat sangat dekat dari tatapanku. Padahal selama ini ia buta sama sekali akan segala hal yang serba terbatas. Aku tiba-tiba merasa malu kala betisku begitu saja menjuntai tanpa ada sehelai sekat pun yang menghalanginya dari segala sudut pandang.

Ah, sedahsyat inikah efek dari sebuah lamaran? Padahal ia belum benar-benar. Apakah baik jika aku akhirnya menyerahkan lagi nasib pada lintasan garis tak tentu. Padahal telah ada yang pasti di mana aku tak perlu takut ditinggalkan satu laki-laki karena aku memiliki lebih dari satu. Yang jumlanya ratusan dan boleh kupakai kapanpun sesukaku.

Kau menggelitikku, sengaja menggodaku namun tidak juga memberikan sepatah katapun untukku. Padahal selama ini kau yang paling setia diantara milikku lainnya. Aku maklumi saja, dan kemudian kita kembali tertaut dalam permainan ganjil.

Setidaknya sementara kita bermain aku jadi lupa bahwa ada seorang lelaki yang menunggu dengan cemas jawaban dariku atas lamaran yang diajukannya. Sedangkan dia tidak cukup mampu mengukur daya kejut yang dia berikan untuk hari-hariku selanjutnya.

Sepi. Aku dan kau. Kita. Sebelum ramainya lelaki itu menambal lubang hariku. Dan biar yang membentangkan masa depan padaku itu saja yang mengambil keputusan. Besok atau lusa aku hanya harus menghadapinya seperti biasa.

@@@

Cincin bermata rubi dengan warna ungu menyilaukan itu masih membuatku termangu tidak mengerti. Harusnya aku bahagia, menerima lamaran dari lelaki yang selama dua tahun ini meramaikan malam sabtuku. Tapi masalahnya jadi semakin rumit karena dia bukan lelaki pertama yang melamarku.

Lamaran dari lelaki pertama belum juga mendapatkan jawaban pastiku. Namun tidak bisa kupungkiri juga bahwa lamaran dari lelaki semarku ini membuatku senang sesenang senangnya. Tidak peduli lamaran itu berlaku diam-diam, bahwa nantinya aku hanya akan menjadi istri simpanannya.

Kau setuju kan, bahwa perkawinan yang dilandasi cinta itu lebih bahagia pada akhirnya, dibandingkan perkawinan atas dasar rasa kasihan?! Tidak penting apakah jika dengan pelamar pertama itu perkawinanku akan diadakan di gedung mewah dan bersertifikat asli. Dilindungi undang-undang negara, dan jika terjadi perceraian nantinya aku masih akan mendapatkan pembagian harta gono gini darinya. Tapi sepertinya tidak akan pernah terjadi perceraian meski aku murka seburuk betari durga, karena di matanya aku akan selalu secantik ndoro putri Rara Sembadra.

Bukankah yang dilandasi cinta itu lebih memiliki makna?! Bukankah lamaran darinya yang selama ini kutunggu-tunggu siang dan malam. Bahwa dia dibelakang dia yang mengantreku itu kuterima hanya untuk membuatnya suatu hari berkata bahwa aku benar-benar cantik, di mata siapa saja?! bahwa aku bisa menaklukkan lelaki yang lebih hebat dari dia.

Sampai aku mati rasa, sampai hilang rasa peka, sampai aku merasa penis-penis mereka itu sama saja, tak peduli ukurannya besar, kecil, kembang, ataupun kempis. Tapi cintaku pada om Seno itu tak bisa kukebiri dan aku senang kali ini dia melamarku dengan sebuah cincin bermata rubi.

“Pilih diantara mereka yang bisa membuatmu tak kesepian. Pilih diantara mereka yang mampu tanpa malu mengikrarkan sumpah setianya di hadapan semesta. Pilih dia yang dengan tulus mencintamu, yang mampu menerima seburuk-buruknya keadaanmu, Drupadiku.” Kau menyentuhku dengan kata-katamu, untuk kesekian kalinya.

Dan kau memapahku ke depan cermin. Seorang perempuan bermata kantuk, bibir kisut, dan pipi cekung menghantamku dengan gayanya yang letih. Segera slide-slide adegan di mana lelaki semarku mendaki kesetanan dan kata cintanya yang rancu melintas berulang-ulang. Dia di belakang dia yang juga memiliki ekspresi yang sama, serta kau yang menyaksikanku di sudut ranjang seperti biasa.

Lalu mereka semua mengabur, digantikan wajah polos seorang lelaki muda dengan garis wajah tegas, memberikan sebuah lamaran. Tanpa cincin, tanpa janji. Hanya dari matanya aku menemukan kesungguhan yang belum pernah kutemukan dari lelakiku dan dia di belakang dia. Sesuatu yang kau yakinkan sebelumnya padaku bahwa ia adalah masa depan itu.

“Tapi aku mencintainya yang selalu merancu itu, kau tahu. Entah setan mana, ah, aku mencintainya. Tapi jika katamu itu benar, dicintai lebih membahagiakan timbang mencintai, mungkin aku akan memutuskan sesuatu.” Belulangku serasa dilucuti ketika akhirnya kukatakan semua itu padamu.

“Tapi berjanjilah, apapun keputusan itu kau tidak akan meninggalkanku. Kau terlalu banyak tahu tentangku, dan aku tidak pernah gamblang pada siapapun kecuali kau.” Aku memintamu paksa, sambil meremasmu sekerasnya. Dan kau setuju. Dengan diammu itu aku mengerti kau setuju.

@@@

Seorang lelaki tengah mendakiku terengah-engah, sambil menceracau berulang kali “Marni I love you”. Perutnya yang gembul membuat tubuhku tenggelam dirangkulannya.

Sepagi tadi telah terucap sumpah janjinya, meski dalam perhelatan sangat sederhana, tanpa keabsahan tertulis dalam catatan hukum dan dilakukan dengan cara paling rahasia. Tapi aku bahagia. Kami saling cinta, meski cintanya berbeda dan suatu hari dia bisa meninggalkanku sewaktu-waktu saat cintanya telah binasa.

Dan kau menyaksikanku seperti biasa, pada waktu biasa, malam sabtu selepas isya. Setelah dia berhasil melepasmu dari sekitar perut dan selangkanganku, teronggok di sudut ranjang, dengan warna hitam yang tetap pekat dan bentuk segitigamu yang memikat dengan hiasan renda transparan di depannya.

Guangzhou, 24072012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun