[caption id="attachment_349314" align="aligncenter" width="300" caption="susur sungai Taman Sebangau, Kanan Kiri pohon rasau, sejenis tanaman nanas"]
[caption id="attachment_349387" align="aligncenter" width="300" caption="dok pribadi. foto dari atas menara"]
Sesekali saya memainkan air yang membentuk gelombang. Air dan angin tanpa polusi ini seketika membuat penat hilang. Kata mbak Yuli, Taman Nasional Sebangau adalah "The most blackwater in the world" dan bersaing dengan sungai Amazon yang terkenal itu. Banyak binatang langka yang masih terpelihara. Selain itu, air berwarna hitam pekat karena akar dan getah dari tumbuhan disana. Kami bisa melihat cermin hitam. Kami menyebutnya demikian, walau hitam, tapi permukaan air sangat tenang, sehingga memantulkan bayangan langit dan tumbuhan yang ada. Tak putus-putusnya kami mengagumi karya Tuhan ini. Menurut pemandu, banyak turis berdatangan juga untuk mandi di air hitam ini, karena dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Kandungan mineralnya pun sangat tinggi.
Setelah speedboat yang kami sewa membawa kami meliak- liuk masuk kedalam keindahan tanaman rasau. Kami dibawa masuk ke area sungai koran. Nah, ini adalah bagian yang paling menarik. Tak heran turis mancanegara mau merogoh kocek mahal untuk bisa merasakan hal ini. Area sungai koran adalah jalur sungai yang lebih sempit, hanya muat 1-2 speed boat atau sampan. Berbeda hal di jalur pertama, di sini kami bisa berinteraksi lebih dekat dengan flora fauna. Kami bisa melihat jambu hutan, bunga hutan, orang hutan, Kupu-kupu yang indah, dan burung rangkong yang sudah hampir punah.
[caption id="attachment_349395" align="aligncenter" width="300" caption="dok. ramsar. pemandangan sebangau"]
Mulanya kami berencana menjambangi para periset di pedalaman taman nasional Sebangau, tapi karena hari sudah sore dan mulai mendung, kami mengurungkan niat. Namun kami beristirahat sebentar di menara pandang, untuk melihat lebih jauh area taman nasional ini. Tak lupa kami berfoto-foto dengan keceriaan. Sayang, saya tak mau ambil resiko memanjat menara pandang. Jadi saya hanya menikmati suasana di pinggir sungai saja.
Setelah perjalanan 1,5 jam kami sampai kembali di dermaga. Sungguh perjalanan kerja dan wisata yang menyenangkan dan tak terlupakan. Sayangnya kurang dikembangkan, bahkan pemandu pun kurang dipersiapkan dengan pengetahuan bahasa asing. Hanya warga sekitar yang berswadaya menyewakan kelotoknya. Sedangkan mbak Yuli hanyalah petugas yang juga menjalani peran sebagai pemandu. Tentu saja ini akan jadi masukan berarti bagi pariwisata kota. Sayang sekali jika taman nasional ini hanya dikelola oleh pihak asing. Lalu dimanakah kalian, pemerintah daerah??
[caption id="attachment_349396" align="aligncenter" width="300" caption="dok. pribadi. boy, bobenk, ebru dan tiwi (kiri ke kanan)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H