Kini, galau menjadi kata yang begitu mudah disematkan seseorang pada orang lain, terutama untuk memberikan judgment pada status dan tweet di jejaring sosial. Bermula dari Twitter, penggunaan kata ‘galau’ meluas, bahkan hingga yang tidak punya Twitter atau jarang aktif di Facebook pun jadi ikut-ikutan menggunakannya. Apa definisi galau, setiap orang pasti punya gambaran sendiri-sendiri (tapi saya sangsi akan ketepatannya). Namun apakah, orang yang di-judge galau benar-benar galau? Bisa jadi gambaran pen-judge tidak sesuai kenyataan dan dia sudah salah menilai yang di-judge. Ada misjudgment disini. Jumat malam (29 Mei 2012), saat asyik bermain di Twitterland, perhatian saya tersita oleh kicauan Presiden Jancukers, Mbah Sudjiwo Tedjo. Melalui akunnya, @sudjiwotedjo, beliau menulis:
1) Blm terbiasa baca/tulis buku langsung main twitter, maka Berargumentasi disebutnya labil, menyatakan pendapat » curhat, romantis » galau 2) Feelingku 75 persen pemain twitter gak punya tradisi baca/tulis buku langsung terjun bebas ngetwit..akibatnya ya salah tankap twit terus2an 3) Padahal berpendapat dan curhat tuh beda jauuuuh…curhat itu lebih ke keluh kesah ..berpendapat lbh ke mengemukakan pandangan2 4) Setuju. Lama2 org males romantis karena entar disebut galau. Males peduli takut disebut kepo. Males mendetil takut dibilang rempong 5) Juga, lama2 generasi mendatang males berpendapat takut dikira curhat. Males mengubah2 point of view dlm debat takut dibilang labil
Saya pun tergelitik untuk mengeluarkan kicauan dari akun saya @pratamayogan:
1) Saat keromantisan disalahpahami sebagai kegalauan.Bangsa ini adalah bangsa yg selalu buru-buru menelan tnpa menyempatkan diri utk mengunyah. 2) Orang romantis dibilang galau, orang berpendapat dibilang curhat, orang peduli dibilang kepo, orang mendetail dibilang rempong. 3) Orang mau maju dibilang sok, orang terbuka pada pikiran baru dibilang labil, orang berani berbeda dibilang freak. Bijak sekali bangsa ni.
Yang terjadi di negeri ini adalah kreativitas berekspresi sering menghadapi risiko diberi cap-cap yang tidak suportif, contohnya: galau. Menggunakan perspektif Mbah Sudjiwo Tedjo dimana keromantisan sering disalahpahami sebagai kegalauan, saya sendiri sebenarnya selalu menikmati kicauan-kicauan romantis di Twitter, rasanya seperti mendapatkan tiket masuk gratis ke dalam kebun bunga kata-kata. Kadang ada inspirasi, ada pembelajaran, ada makna yang memperkaya hidup. Buat saya, kicauan romantis adalah penggalan puisi, saluran perasaan, dan ekspresi jiwa. Kata William Wordsworth, puisi adalah “the spontaneous overflow of powerful feelings recollected in tranquility.” Maka, kicauan-kicauan romantis itu sebenarnya adalah aliran perasaan spontan yang begitu kuat, yang tercipta dalam ketenangan. Dan anda mentertawakan kreasi yang muncul dalam kreativitas ini? Wow, bijak sekali. Celakanya, sang pengicau atau pemasang status pun juga ikut jadi korban. Pen-judge terjebak dalam pikiran bahwa setiap status dan kicauan adalah SELALU ungkapan perasaan. Mereka bilang itu curhat. Siapa yang bisa menjamin keSELALUan itu? Apakah mereka Tuhan yang bisa membaca gerak hati setiap manusia? Apakah mereka sudah memverifikasi kecocokan antara perasaan pembuat status dan kicauan dengan apa yang ditulis di jejaring sosial? Atau bisa jadi semua itu hanya ekspresi kreativitas belaka? Atau mungkin hanya untuk lucu-lucuan? Perlu kita sadari bersama bahwa status dan kicauan bisa dimanipulasi sesuka hati pemiliknya. Maka ‘ungkapan perasaan’ bisa dimanipulasi. Cerita bisa dikarang. Seorang teman yang sedang mengambil Master di Negeri Sakura berkicau pada saya ”I often intentionally made people think I am galau. Although I was laughing when I posted those galauness.” Jejaring sosial ada dalam wilayah abu-abu antara ekspresi diri, pencitraan, dan motif-motif lain yang tersembunyi dan tidak tampak di layar monitor kita. Intinya, some people think that Facebook status & tweets are always expression of the account owners’ feelings. It is NOT, and they should make up their minds. Kembali ke misjudgment, lantas bagaimana sikap kita seharusnya? Kita perlu mengembangkan sikap apresiasi. Sikap mudah mentertawakan orang lain terbukti ampuh menjatuhkan mental dan kepercayaan diri kita. Walhasil, minder menjadi kata yang tidak asing dalam kamus generasi muda. Sering dalam training dan seminar tentang pengembangan diri yang saya isi, saya temukan fakta bahwa salah satu ketakutan dan hambatan seseorang untuk maju adalah negative judgment dari orang lain. Maka, kepada para peserta saya tekankan,
“Hanya dengarkan orang-orang yang mendukungmu untuk maju. Dan jika kamu punya niat, percaya dirilah. Mereka yang berpikiran terbuka akan mendukungmu. Mereka yang berpikiran tertutup akan menjatuhkanmu, dengan mencibirmu atau mentertawakanmu. Maka, untuk apa mendengarkan orang-orang yang berpikiran tertutup?”
So next time, kalau ada yang berekspresi, hargai dan beri dukungan. Kembangkan pola pikir positif. Orang-orang yang berpikiran positif dan terbuka biasanya akan lebih mudah meraih kesuksesan daripada orang-orang yang berpikiran negatif dan terutup. Lha anda mau jadi orang sakses atau gagal? Dukung saudara kita untuk maju. Jangan jadi bangsa yang mudah menjatuhkan saudaranya sendiri. Btw, andai Khalil Gibran, yang terkenal dengan sajak-sajak romantisnya masih hidup dan punya akun jejaring sosial, bisa jadi ia dicap sebagai manusia tergalau sedunia. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H