Firehose of false hood
Pada saat masa kampanye selama 7 bulan, kita sering mendengar istilah firehose of false hood, yaitu sebuah metode propaganda yang sering di pakai oleh salah satu Negara adidaya di benua biru eropa. Sebuah propaganda yang melawan sebuah kebenaran akan object yang sama. Dissenting opinion yang berubah menjadi Main opinion.
Ciri paling khas dari Propaganda ini adalah di sebarkan oleh para pemimpin atau leader, berulang-ulang dan tidak adanya intropeksi akan kebenaran yang ada alias urat malu nya sudah putus.
Mari kita liat pola Fire hose of falsehood dalam menyikapi hasil Pilpres 2019 yang merupakan ulangan dari Pilpres 2014 sebagai berikut ini :
I. Tidak mengakui major perception dan menolak membuka data internal.
Tidak seperti 2014, saat itu ada dispute lembaga survei namun di 2019 semua lembaga survey quick count sepakat dengan hasil yang memenangkan PASLON 01 (untuk pilpres 2019).
Berbeda dengan survei perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau survei exit poll, hitung cepat memberikan gambaran dan akurasi yang lebih tinggi, karena hitung cepat menghitung hasil pemilu langsung dari TPS target, bukan berdasarkan persepsi atau pengakuan responden. Selain itu, hitung cepat bisa menerapkan teknik sampling probabilitas sehingga hasilnya jauh lebih akurat dan dapat mencerminkan populasi secara tepat .
Quick count dalam sejarah Pemilu Indonesia di terapkan pertama kali di 2004 saat pemilihan presiden RI secara one man one vote system perdana. Pada saat itu Pemilu Presiden putaran I tanggal 5 Juli 2004, hasil quick count LP3ES-NDI kembali mendekati hasil penghitungan suara yang dilangsungkan di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu 2004.Â
Berdasarkan data resmi Pemilu 2004, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla unggul dengan 33,83%. Sedangkan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi berada di tempat kedua dengan 26,06%. Hasil quick count LP3ES-NDI berhasil menipiskan selisih suara menjadi hanya 0,5%.