Mohon tunggu...
Prastian DwiPutranto
Prastian DwiPutranto Mohon Tunggu... Lainnya - Lulusan Administrasi Publik Universitas Jenderal Soedirman

Mencoba peruntungan didalam seni menulis karena memiliki ketertarikan menulis, copywriting, dan hal lainnya karena suka membaca buku dan memikir hal yang seharusnya bisa dituangkan agar bermanfaat untuk manusia lainnya. Enjoy fellas!!

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

KAI Commuter, Sudah Berapa Cerita Sedih yang Kau Tanggung Sendiri?

4 September 2023   16:39 Diperbarui: 4 September 2023   17:04 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KAI Comutter Line sudah merangsek menjadi bagian dari diri para masyarakat indonesia, terlebih untuk mereka para pekerja, wisatawan, ataupun lainnya yang membutuhkan jasa transportasi yang cepat, aman, nyaman, dan murah. Sebagai seseorang yang lahir dan besar di kota metropolitan sananya dikit yaitu Bekasi, saya merasakan dampak dari hadirnya KAI Comutter ini. Salah satu cerita yang ingin saya bagikan ini merupakan cerita yang tidak sedap untuk diri saya namun menarik untuk dibagikan.

Kala itu Maret 2021, dimana saya baru lulus dari salah satu perguruan tinggi negeri dan harus mengalamai keadaan yang sulit karena harus melawan pandemi Covid-19 yang mengganas. Ganas nya pandemi berjalan lurus dengan ganasnya pula mencari pekerjaan, dimana banyak para pejuang rupiah yang kerja dirumah ataupun dirumahkan sedangkan lapangan kerja terkikis.

Dimana ada kesulitan pasti ada jalan, ternyata itu benar adanya. Agustus 2021, salah satu perusahaan eskpor memberi kabar manis distuasi pahit. Tanpa ba-bi-bu saya menyiapkan segala hal yang diperlukan, jiwa, raga, dan administrasi mampu dituntaskan dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.

Setelah semua selesai, saya siap untuk menyambut hari pertama bekerja. Karena jarak yang jauh, saya harus berangkat sebelum matahari terbangun. Estimasi saya tiba di Stasiun Bekasi saat matahari baru bangun, dan ternyata membuahkan hasil. Ketika pintu KAI Comutter terbuka, rasa nyaman juga menyertai diri ini, gerbong yang dingin, wangi, dan sepi membuat mood saya terjaga sampai saat ini. 

Saya paham betul ada beberapa titik stasiun yang memiliki keramaian ekstreme. Terbelalak mata saya ketika tertiba di Stasiun Manggarai, ada puluhan hingga ratusan pecinta KAI Comutter Line sedang menanti untuk dijemput sang kuda besi ini. Dengan sedikit berdesakan saya memikirkan suatu hal "Kenapa ini begitu riuh? apa tidak ada kendaraan lain yang bisa mereka tumpaki?". Sepanjang jalan, hanya bisa mengelus dada dan berdoa harap segera sampai.

Dalam doa saya yang belum selesai semua, ternyata kuda besi ini sudah mengantar saya ketujuan akhir, Stasiun Rawa Buaya. Turun dengan rasa lega karena bisa terbebas dari himpitan para pejuang rupiah yang senasib. Saat tap kartu untuk pembayaran, makin yakin dan cinta menggunakan KAI Comutter ini, cukup dengan Rp. 5.000 bisa melakukan perjalanan sejauh 35 Km. Sekarang saya paham mengapa KAI Comutter ini layak untuk dicintai masyarakat luas, sudah mana murah, nyaman, cepat, dan aman untuk dijadikan salah satu transportasi idaman.

Saat bekerja semua aman, lancar, dan terkendali. Namun itu semua tidak bertahan lama, tidak sampai satu bulan nyawa saya berada ditempat tersebut, karena satu dan lain hal, saya diharuskan meninggalkan kantor, memang kesalahan berada dari diri saya, namun akan saya jadikan pelajaran kedepannya.

Tak bisa dipungkiri bahwa rasa sedihlah yang mengantar saya menuju Stasiun Rawa Buaya. Tak hanya saya yang membawa rasa sedih, namun ada teman sejawat saya yang senasib seperti saya. Ia telah berpamitan dengan rekan kantor sebelumnya untuk memperbaiki nasib dengan pindah tempat kerja, tetapi ternyata keputusan yang ia pilih justru mengantar ia kelubang penyesalan. Dengan raut muka yang ditekuk, nampaknya memilih untuk menyendiri adalah hal yang tepat.

Selama perjalanan, saya butuh pelampiasan rasa sedih ini agar bisa ditutup untuk sementara. Memberanikan diri untuk berbicara dengan pria paruh baya keputusan yang saya ambil kala itu. 

Pertanyaan template saya keluarkan untuk memulai interaksi ini, si bapak yang terlihat kelelahan ini memiliki kesedihan yang jauh ketimbang saya, ia bercerita bahwa harus merelakan waktu selama 5 hari untuk bekerja diluar kota dan hanya bertemu anaknya dua hari dalam seminggu. 

Ketika saya bertanya mengapa tidak mencari pekerjaan yang jaraknya terjangkau, beliau hanya tersenyum dan berkata "Umur saya tidak muda lagi mas, belum tentu ada yang mau menerima pekerja sudah kepala empat. 

Asal kebutuhan keluarga bisa terpenuhi, saya ikhlas mas buat menjalani hal kaya gini". Yak, saya berbicara dengan orang yang salah, niat hati ingin mengurangi rasa sedih justru malah tertampar lima jari dipipi dengan cerita si bapak ini. Menahan rasa sedih yang beruntun, saya mampu untuk membendung air supaya tidak keluar dari kelopak atas mata saya.

Dua kali tragedi mengiris hati terlintasi akhirnya saya tiba juga di Stasiun Bekasi. Nyaman nya menggunakan KAI Comutter ini tidak mampu saya rasakan karena rasa sedih yang menutupi. Saat sedang berjalan dikoridor saya pikir ini semua akan berakhir, namun saya salah lagi. Tiba-tiba ada ibu dan anak yang menghampiri saya dengan sengaja, saya tak tau apa tujuannya. 

Hal sedih yang saya kira usai, ternyata nambah lagi. Ia bercerita bahwa tidak memiliki cukup uang untuk pulang, uang yang mereka miliki hanya cukup untuk satu orang saja. Tanpa berpikir bahwa ia benar atau tidak saya mengeluarkan sejumlah uang untuk mereka berdua. Rasa sedih yang saya terima bukan karena mengeluarkan uang untuk mereka, tetapi senyum bahagia mereka dengan mata yang berkaca-kaca  sambil berkata "makasih ya mas, semoga rezeki nya diganti"

KAI Comutter Line yang seharusnya memberikan rasa nyaman, aman, cepat, dan murah ini ternyata berubah menjadi kumpulan rasa sedih saya pada kala itu. Setelah bergegas mengambil motor dan membayar parkir, saya memacu kendaraan dengan perlahan. Alasan saya tidak ingin cepat-cepat sampai rumah adalah, saya tidak tahan untuk membendung air dikelopak mata saya ini, saya harus membuang ini semua sebelum sampai kerumah nantinya.

Jarak dari Stasiun Bekasi ke rumah saya harusnya hanya memakan 20 menit perjalanan, namun mau tidak mau saya harus menambah beberapa menit lebih lama untuk menumpahkan air ini tanpa ada satupun orang yang lihat. 35 Menit berlalu, tertiba saya sudah dirumah. Dengan mata yang sedikit sembab, saya hanya menyampaikan ke orang rumah " gapapa kok, bukan rejeki nya aja disini". Saya tidak menceritakan rentetan kisah sedih yang saya alami selami berjalan pulang dengan KAI Comutter Line.

Dibalik rasa nyaman, aman, murah, dan cepat. KAI Comutter Line tidak pernah menceritakan bahwa kuda besi ini juga memiliki rasa sedih, kecewa, pahit, dan gelap para penumpang setianya disetiap gerbong yang berbeda. Sudah berapa kisah sedih yang engkau tampung wahai KAI Commuter?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun