Mohon tunggu...
Prakoso Permono
Prakoso Permono Mohon Tunggu... -

Orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. -Pramoedya Ananta Toer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Islam Nusantara (tidak) Ada?

19 Juli 2015   15:46 Diperbarui: 19 Juli 2015   15:46 1433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Islam Nusantara, istilah yang belakangan ini menjadi perdebatan bahkan tidak jarang meramaikan dunia maya dengan beragam reaksi dan pendapat, dari mulai kritik, dukungan, pujian, atau bahkan penolakan. Istilah Islam Nusantara tidak terlepas dari akan diselenggarakannya Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) Agustus mendatang di Jombang, Jawa Timur, tanahnya Hadratus Syeh Mbah Hasyim Asy'ari.

Dalam berbagai kesempatan dalam majelis-majelis, mimbar Jumat, bahkan juga di jejaring sosial menyuarakan pendapat-pendapat sinis bahkan penolakan terhadap terminologi Islam Nusantara. Berbagai alasan dikemukakan, sejak dari Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam dan tidak khusus untuk Indonesia, Islam bersifat universal, sampai-sampai mempermasalahkan tidak adanya nash dalam Quran dan hadits yang secara zahir menyebutkan "Islam Nusantara", sungguh menarik.

Tentu persoalan ini dapat kita tinjau dari berbagai sudut pandang. Benar tentu Islam merupakan doktrin iman dan jalan hidup yang universal, namun bukankah Islam dapat dibagi menjadi Islam sebagai doktrin iman, dan Islam sebagai aktualisasi doktrin iman, paling tidak demikian yang dituliskan Prof. Afif Muhammad (UIN Bandung). Dengan demikian aktualisasi doktrin keagamaan Islam yang dilaksanakan di Indonesia dengan yang dilaksanakan di Arab dapat kita jumpai perbedaan-perbedaan, mohon tidak lupa kita bedakan bahasan syariat dan bahasan dalam ranah fiqh yang dinamis. Para ulama Syafi'iyah sekalipun yang dikenal akan kehati-hatiannya dalam mengambil suatu hukum menggunakan dan mengakomodir al-urf atau secara mudah dapat kita jabarkan sebagai kebudayaan dalam menetapkan sesuatu persoalan, tentu yang berkaitan dengan fiqh.

Tentu kemudian kita juga sepakat, bahwa tidak ada nash yang menyebutkan persis kata Islam disandingkan dengan Nusantara. Namun tidak berarti yang tidak terdapat nash secara zahir dalam Quran serta merata merupakan kesalahan, sebagai contohnya ketika seorang ditanya kepada imam mazhab siapakah ia mengikuti tata cara salat, dan ia menjawab bahwa dirinya tidak bermazhab, saya hanya Islam menurut apa yang digariskan Quran, tentu jawaban tersebut muncul dari ketidak pahaman, dalam Quran tentu tidak dijelaskan secara nyata bagaimana gerakan salat melainkan dicontohkan Rasulullah yang kemudian dikompilasi para imam mazhab, demikian paling tidak contoh ringkas yang cukup gamblang. Ketidak adaan nash secara zahir berkenaan dengan "Islam Nusantara" tentu amat tidak bijaksana menjadikannya alasan untuk dipersalahkan.

Lalu apakah benar mereka yang mengemukakan terminologi Islam Nusantara telah keluar dari Islam? Pernyataan tersebut banyak diungkapkan bahkan terkadang dari seorang yang ditokohkan oleh masyarakat umum, amat menggelikan namun miris disisi yang lain, mungkinkah Islam akan ditarik oleh oknum-oknum untuk kembali pada masa dimana persoalan teologis menjadi perdebatan bahkan perang? Seakan-akan kita kembali pada masa Sayidina Ali karomallahu wajhah dengan Muawiyah, yang kemudia melahirkan kalangan khawarij yang kini boleh jadi sepadan dengan oknum yang dengan persoalan ini mengkafirkan sesama saudaranya, mereka mungkin boleh disebut neo khawarij. "La hukma ila lillah" tiada hukum selain hukum Allah, terminologi kunci kaum khawarij. Sehingga kafirlah mereka yang berpikir bebas dan mengambil hukum bil ra'yi (dengan akal), boleh kita mengingat bagaimana Sayidina Ali dan Muawiyah, sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia menjadi kafir dimata kaum khawarij hanya karena berusaha berdamai dan menyelesaikan persengketaan melalui meja diplomasi dan dialog. Jangan sampai kita terbawa, mengkafirkan saudara kita, tanpa benar tau duduk persoalan, tentu pembaca yang budiman tidak perlu diingatkan dengan banyaknya pernyataan Rasulullah saw berkenaan dengan menuduh kafir pada sesama. 

Masih berkutat pada persoalan "kafirnya" mereka yang mengusung term Islam Nusantara. Tentu kita semua maklum bahwa warga nahdliyin yang mengawali term Islam Nusantara menganut manhaj aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah al-Asyariyah dan al-Maturidiyah, dengan mazhab fiqh mengikut empat imam mazhab, yang didominasi oleh pemikiran para ulama Syafi'iyah. Maka dimanakah letak mengecilkan Islam yang universal? Bukankah aqidah Ahli Sunnah wan Jamaah di Indonesia sama halnya dengan umat Islam Ahli Sunnah wal Jamaah dimanapun berada? Tidak ada perbedaan fundamental dan mendasar antara Aswaja "Islam Nusantara" dengan Aswaja "Mesir" bukan? Tentu dari sudut pandang ini tidak ada alasan mengkafirkan atau menyalahkan pengusung term Islam Nusantara.

Lalu mengapa tidak "Islam" tok, tanpa Nusantara? Tentu menyandingkan kata Nusantara bukan tanpa alasan. Dan satu hal yang perlu ditegaskan bahwa tidak ada niat sedikitpun untuk menggembosi "Islam" dengan mempertentangkannya dengan 'Islam Nusantara". Nusantara memang memiliki sesuatu yang khas dan berbeda dengan wilayah lainnya diseluruh dunia, tentu para ahli bidang ilmu apapun sepakat mengenai ini. Dalam tinjauan kebudayaan, Islam masuk dengan sedemikian sempurna dalam masyarakat Nusantara, kebudayaan yang bercampur tidak memunculkan cultural shock, melainkan akulturasi yang amat indah. Seni dan kebudayaan (baca:buah budi dan pikir), kejiwaan ramah tamah dan rasa kebangsaan yang tinggi, keindonesiaan dan keislaman bukan kearab-araban melahirkan Islam yang ramah, bukan Islam yang marah. Kesemuanya, mungkin ini bukan persoalan yang teramat penting, hanya permasalah bagaimana mengungkapkan sebuah fenomena keindahan Islam di Nusantara, aktualisasi Islam yang berbeda dengan ISIS dan segala perpanjangan tangannya. 

Pada akhirnya, janganlah kita terjebak dalam diskusi panas mengenai persoalan "Islam Nusantara" selagi pada masa Idul Fitri ini saudara-saudara kita di Aceh ditimpa banjir, di Ternate tertutup debu vulkanik, saudara kita di Bali dan Jawa Timur yang hendak pulang dengan pesawat harus tertunda, atau saudara kita yang kelaparan dan tidak benar-benar merasakan indahnya lebaran. Untuk kebaikan mereka kita niatkan, al-Fatihah.

Mari kita jadikan Islam tidak sebagai simbol kesombongan, janganlah kita berbangga dan merasa suci serta beriman ketika sudah menghukumi saudara kita berdosa maupun kafir. Namun berbanggalah menjadi muslimin muslimat yang ber Islam dengan amal saleh, dengan aksi, dengan mengaplikasikan keIslaman langsung kepada masyarakat. Bukan hanya sekedar sunnah Rasul saw berjenggot, zikir wirid yang amat panjang, membaca Quran ditiap kesempatan, share posting dakwah memenuhi time line, lalu menjadi yang saleh dari yang paling saleh, menjadi wali dari para waliyullah. Amal saleh tanpa keIslaman tentu baik sekalipun disayangkan, namun keIslaman tanpa amal saleh tentu belum mencapai cita-cita yang haq dan sejati. 

 

Mohon maaf atas kesalahan kata, hanya sebuah tulisan yang demikian terlihat akan dangkalnya keilmuan.

Wallahul muwafiq ila aqwamith toriq..

 

Prakoso Permono

Mahasiswa UIN Jakarta 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun