Mohon tunggu...
Sarwi Prasiji
Sarwi Prasiji Mohon Tunggu... wiraswasta -

Penggila Bunga Citra Lestari. Jika tegak ternyata susah, miring pun tak masalah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kemeja Putih

19 Juli 2016   14:23 Diperbarui: 19 Juli 2016   16:58 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumino mengira, beberapa orang yang berkemeja putih, yang terlihat dari kejauhan  adalah panitia reuni  SMP satu angkatannya.  Tentu mereka masih ia kenal. Setidaknya rupa wajahnya.  Ada juga yang harus diingat lagi nama mereka.  Utamanya kawan perempuan yang berkerudung.

Tapi, ketika ia mendekat  sekumpulan kawan lamanya itu, seseorang berucap.”Kenapa tak pakai kemeja putih, Jumino?” Nania  bersuara sambil mengulurkan tangan berlebaran. 

“Aku tak punya kemeja putih,” jawab Jumino.  Lelaki ini bicara apa adanya.  “Apa harus putih?” 

Jumino tidak tahu sama sekali tentang hal ini.  Seto yang dua bulan lalu mendatangi warung tenda mi ayamnya hanya memberi tahu: Hari Jumat, dua hari setelah lebaran, kita ketemu.  Banyak yang bilang siap berangkat, ucap Seto kemudian.  Tetapi dia sama sekali tak memberitahu bahwa yang datang mesti mengenakan kemeja putih dengan bawahan warna biru tua.  Mungkin Seto lupa.  Atau memang belum ada keputusan waktu itu.

“Kita ingin suasana kembali ke putih biru, Jum,” kata Reni menimpali.  "Apa kamu nggak tahu dari facebook.  Juga WA."

“O…” Jumino hanya manggut-manggut.  Ia tak punya keduanya.  HP-nya masih sekedar untuk SMS atau menelepon.

Ia melihat banner besar yang terpampang dekat pintu aula kantor pemerintahan, tempat pertemuan itu.  “Kembali ke Putih Biru”: begitu tulisan itu  tertera dengan warna hitam berbingkai putih.

Jumino agaknya merasa tidak enak.  Atau kurang nyaman, jika hanya dirinya yang berkemeja lain.  Setidaknya akan terlihat mencolok dalam ruangan yang luas nantinya.  Maka, setelah semua yang ada di depan teras aula ia salami, ia beringsut  ke sebuah meja untuk mengisi daftar hadir.  Ia tulis nomor HP dengan bentuk angka yang sulit dibaca.  Juga hanya menulis tiga huruf inisial daerah tempat tinggalnya kini: Clc.  Dengan tanpa menengok kanan kiri, ia bersegera pura-pura ke kamar kecil.  

Saat berjalan, dari balik kaca hitam aula,  ia mengintip kawan-kawannya yang sudah duduk melingkar di samping meja-meja yang tertata rapi.  Di atas panggung beberapa anak tengah menunjukkan tarian.  Jumino mendalamkan pecinya.  Jangan sampai yang di dalam aula mengetahui kehadirannya, pikirnya.

Mumpung lengang, ia kemudian memutar ke arah parkiran.  Tempat Grand Astrea hitamnya beristirahat setelah melakukan perjalanan hampir tiga puluh kilo dari rumahnya. Dan karena terdapat di halaman depan, juga terhalang oleh gedung kantor lainnya, kepergiannya tak ada yang tahu.

“Aku ke mall saja.  Siapa tahu ada kemeja putih,” pikir Jumino.

Sebuah Avanza silver dari arah pintu gerbang  datang. Mobil berhenti  tak lama berselang di parkiran itu.  Seorang perempuan berambut ikal keluar.  Ia berkemeja putih lengan panjang.  Ketat membungkus tubuhnya, bersambung celana blue jeans yang agaknya masih baru.  Ramping, menawan. Hak sepatu hampir sepuluh senti.  Perempuan yang enak dilihat, batin Jumino.  Jumino pun bisa memastikan, perempuan ini sama tujuannya ke tempat itu: ikut reuni.  

Ia mencoba tenang sembari  melangkah.  Saat berpapasan,  perempuan itu tak menyapanya.   “Mmm, dia tak mengenaliku,” gumamnya.  Dan lelaki itu sengaja membiarkan perempuan itu berlalu tanpa menegurnya  sama sekali.  Sesungguhnya, ia berpikir: siapa perempuan itu?

***

Suasana Mall ramai. Tidak ubahnya seperti beberapa hari jelang lebaran.  Jumino  melangkah di lantai satu, tempat aneka fashion dipajang.   Ia mendekat ke tempat yang bertuliskan diskon.  Sebuah kebiasaannya sedari dulu.  Jika belanja, mencari harga miring.   Baginya, tidaklah penting merek.   Kepantasan harga lebih diminati.   

Sudah  puluhan tahun ia tak punya kemeja berkerah yang  berlengan panjang dan  berwarna putih.  Kalaupun ada yang putih, hanyalah baju koko untuk keperluan ibadah itu pun berenda pada bagian dada.  Maka ia pun memilih untuk sekali ini membeli kemeja putih.  Barangkali pada lain waktu, ada gunanya juga menyimpannya untuk keperluan resmi.

Berkali-kali ia membolak-balik tumpukan baju dalam kotak besar.  Satu pun  belum ditemukan yang ia maui.  Ia mencoba ke lantai dua mall tersebut.  Setelah menaiki eskavator, ia menuju  ke beberapa  kemeja pria yang tergantung berderet.  Satu yang ia pastikan, sebuah kemeja lengan panjang berkerah, dengan warna putihnya ia coba di kamar ganti. 

“Kalau hanya delapan puluh rima ribu perak, aku masih sanggup beli.  Biarpun bukan diskon.  Daripada bikin sendiri,” ujarnya pada diri sendiri.

Kepada penjaga mall, Jumino menyerahkan kemeja itu.  “Bapak pilih ukuran L?” tanya gadis yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu.  “Ya, yang L.”

Saat membaca merek kemeja itu pada sisi dalam lingkar leher,  Jumino tersenyum:  “Takashimura.”

“Seperti tahu saja isi dompetku….”

***

Untuk mencari sebuah kemeja putih, ternyata butuh waktu yang tidak sedikit rupanya.  Hampir satu jam, tidak terasa.  Tapi ini hari Jumat, sudah tanggung baginya, sebentar lagi masuk waktu sholat berjamaah.  Tidak ada pikiran lain bagi Jumino kecuali bersegera keluar dari mall dan mencari masjid.

Di kota ini, bukan hal yang sulit untuk mencari mesjid.  Pengalaman bersekolah lebih dari enam tahun di sini, menjadikannya hafal betul dengan kota ini.  Ia menemukan masjid yang pernah disinggahinya beberapa kali.  Sebuah tempat  ibadah yang berdiri di atas lahan milik perusahaan kereta api.  Halaman parkir yang luas dan tempat wudhu dan toilet sangat terawat, sangat ia senangi.  Terlagi saat di dalam ruangan: sejuk dan bisa menikmati karpet yang bersih.

Kemeja putih yang terbungkus kantong ia bawa masuk ke toilet.  Dan dia melukar kemeja batik motif parang rusak lengan pendek, dengan kemeja yang baru ia beli. Sebelum berwudhu, Jumino mendatangi sepeda motornya, membuka jok dan menaruh baju batik yang terbungkus kantong plastik biru itu di bawah tempat duduk motornya.

***

Mengingat jarak yang harus ditempuh untuk kembali ke rumah sekitar tiga puluhan kilo, ia merasa tak perlu lagi mendatangi tempat reuni.  Walaupun kata Seto, dua bulan yang lalu, acaranya hingga jam tiga siang.  “Tapi ini suasana lebaran.  Jalanan padat kendaraan!” pikirnya.  “Kalaupun tidak macet, kemungkinan harus bergerak pelan.”

“Mendingan pulang!”

Jumino pun meninggalkan masjid  menjelang pukul satu.  Namun, ia terlebih dulu menyusuri jalan menuju tepat berlangsungnya reuni  SMP-nya.  Dari jalan protokol kota itu, ia memandangi.  Banyak mobil terparkir.  Sudah banyak, melibihi saat ia datang ke sana.  Beberapa motor tampak juga.  Hanya, kawan-kawannya tak ada yang tampak dari kejauhan.   Hatinya sebenarnya ingin berbelok dan  menemui mereka yang masih ada di dalam ruangan.   Sudah puluhan tahun belum lagi berkumpul. Tapi ia urungkan.  Awan gemawan pekat di langit.  Terik yang mencecar tubuhnya mengingatkan bahwa hari akan hujan.  Dan ia paling enggan berkendaraa dalam keadaan hujan. Pengalaman tergelincir dan jatuh, membuatnya trauma.  Istrinya selalu cemas bila demikian adanya.

Maka, setelah satu jam lebih di atas roda dua di atas hamparan aspal dengan terik matahari yang menyengat, sampailah ia di  rumah.

Helm dan jaket ia lukar.  Sepatu sandal yang saat berangkat belum sempat disemir dilepas, ia letakkan pada raknya.

“Lo, Bapak pakai kemeja putih.  Seperti orang kantoran!” tegur istrinya. Agaknya ia kaget dengan penampilan suaminya yang beda saat berangkat pagi itu.

“Ini oleh-oleh reuni, Bu.”

Jumino melangkah menuju kamarnya.  Rasa ingin memejamkan mata di atas tempat tidurnya sudah tak mau ditunda-tunda.

“Itulah, Pak.  Seringlah kumpul-kumpul dengan kawan-kawan sekolah yang sukses.  Lumayan kan kalau dapat  bingkisan!” ucap istri Jumino sambil mengarahkan bibirnya ke tempat suaminya berganti pakaian.

“Hmm…,” sahut Jumino sekenanya.

“Siapa tahu, Bapak ketularan sukses juga!” ucap istrinya lagi.

“Hmm…”

"Sukses itu bisa menular lho, Pak....!"

"Hmm..."

“Apa Bapak nggak ingin seperti mereka yang sukses?”

Tidak ada jawaban dari Jumino, suaminya.  Hanya suara: "Grrrhhh………..grhhh…....grhhh….."  Lelaki itu mendengkur.  Tidurnya sangat pulas.

Bumi Cahyana, 19 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun