Berbicara mengenai kebijakan impor dalam perekonomian suatu negara merupakan hal yang sangat menarik. Hal ini disebabkan karena impor merupakan salah satu dari komponen neraca perdangan suatu negara, diketahui bahwa neraca perdagangan merupakan salah satu indikator keberhasilan ekonomi. Membahas perekonomian Indonesia tentunya tidak terlepas dari kebijakan impor pada beberapa sektor yang dicanangkan oleh pemerintah.Â
Sejauh ini, kebijakan impor di Indonesia masih menuai pro kontra, dalam hal ini penulis akan fokus membahas pro kontra kebijakan impor garam dan impor beras oleh pemerintah Indonesia. Isu politik selalu mengiringi setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah, tak terkecuali pada kebijakan impor garam dan impor beras yang tengah hangat diperbincangkan.Â
Masyarakat dan para ahli banyak mengemukakan pandangannya mengenai hal ini. Lalu bagaima prespektif syariah meninjau kebijakan impor garam dan impor beras yang dilakukan pemerintah Indonesia? Mari kita bahas dalam artikel ini.
Tujuan dari sistem ekonomi islam adalam mencapai falah (kemenangan), jika diartikan secara umum maka bertujuan untuk mencapai kesejahteraan ekonomi. Mengkaji hukum islam tentang perdagangan, terutama pada kebijakan impor, kita akan menemukan dalil diperbolehkannya impor barang dan jasa yang pastinya untuk tujuan kemaslahatan umat. Kita juga dapat membaca sejarah perjalan Rasulullah SAW yang berdagang sampai keluar negeri. Kemajuan ekonomi pada masa kekhalifahan juga tak luput dari kebijakan tersebut.
Impor tentunya dilakukan jika barang atau jasa tidak tersedia atau jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan masyarakat. Dalam kaitannya dengan kebijakan impor tidak ada hukum islam yang melarang kecuali pada beberapa hal seperti: 1. Impor barang haram 2. Mengurangi produksi dalam negeri 3. Meningkatkan pengangguran 4. Menurunkan pendapatan masyarakat yang berakibat pada menurunnya daya beli masyarakat.
Hukum tentang impor syariah atau dikenal sebagai Letter of Credit di Indonesia sebenarnya telah diatur dalam Fatwa DSN MUI Â Nomor: 34/DSN-MUI/IX/2002. Namun demikian materi yang diatur dalam fatwa ini adalah mengenai tata cara pelaksanaan L/C oleh perbankan dan pengusaha. Sehingga belum ada payung hukum islam di Indonesia yang mengatur terkait kondisi tertentu yang membolehkan kebijakan impor barang agar terjadi kemaslahatan bersama.Â
Ekonomi islam merupakan way of life yang apa bila diterapkan akan memberikan keadilan bukan hanya bagi umat islam namun juga seluruh manusia. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim mencapai 87,2% dari total jumlah penduduk Indonesia, menjadikan umat muslim Indonesia menyimpan kekuatan besar di bidang ekonomi islam. Melihat fenomena yang terjadi, akan lebih baik kiranya jika pemangku kebijakan merumuskan peraturan impor dan ekspor yang sesuai syariah.
Pemerintah Indonesia kembali mencanangkan kebijakan impor garam sebesar 3 juta ton pada bulan Maret 2021. Menurut pemerintah langkah ini diambil guna memenuhi kebutuhan garam Indonesia terutama pada industri manufaktur sebagai konsumen garam terbesar. Melihat statistik BPS menunjukkan bahwa produksi garam nasional pada tahun 2020 memang belum mencukupi kebutuhan, yakni sebesar 4.464.670 ton, sementara produksi nasional hanya 2.327.078 ton. Sehingga untuk mencukupi kesenjangan sejumlah 2.137.592 harus dilakukan impor.Â
Jika dilihat dari unsur maslahah dalam kondisi demikian maka kebijakan impor diperbolehkan untuk mencukupi kekurangan kebutuhan dalam negeri, seperti kebijakan perdagangan di masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Namun masalah akan muncul ketika impor garam terlalu banyak sehingga merugikan petani garam lokal. Hal ini lah yang sebenarnya dilarang dalam islam, ketika sebuah kebijakan ekonomi dalam hal ini impor garam dapat merugikan pihak lain.
Selain impor garam, belakangan ini tengah ramai pula tentang rencana kebijakan impor beras oleh pemerintah. Sebenarnya impor beras sudah acap kali dilakukan oleh pemerintah indonesia. Kebijakan ini selalu menuai pro kontra, namun yang menjadi isu panas disebabkan rencana impor beras pemerintah dilakukan pada saat puncak masa panen raya yakni periode Maret-April 2021. Selain itu menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) potensi produksi beras Indonesia pada periode panen Maret-April 2021 mencapai 14,5 juta ton. Angka ini naik 26,84% dari periode yang sama di tahun 2020.Â
Melihat data ini sebenarnya jelas pemerintah tak perlu melakukan impor beras, karena kebutuhan beras nasional dapat tercukupi. Jika impor beras tetap dilakukan maka akan berakibat pada ketidakmampuan beras lokal bersaing dengan beras impor. Petani tidak dapat menutup modal produksi berasnya, sehinga tidak mampu menanam padi pada periode berikutnya.Â