Mohon tunggu...
Prasetyo Adi
Prasetyo Adi Mohon Tunggu... Dosen - Learner

Orang nomaden. Tinggal di malang dan selebihnya tinggal di tempat lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mendiskusikan Gender: Maaf Saya Ngilu

7 Juni 2021   18:49 Diperbarui: 7 Juni 2021   19:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya pernah membaca National Geographic terbitan tahun 2017 yang membahas soal gender.Temuan-temuannya menarik untuk didiskusikan. Mengingat problematika gender di negara kita cukup ramai diperbincangkan.

Apalagi, barusan saya menemui kejadian yang membuat saya risih. Posisi saya saat itu berada di gerobak nasi goreng yang saya bicarakan kemarin. Nah sembari makan nasi goreng dan mendengarkan channel Youtube Bossman, tiba-tiba saja saya mendengar suara teriakan seperti suara perembuan. Asalnya dari gerobak sate, sebelah saya makan. Setelah dilihat-lihat, kok tidak ada sosok kaum perempuan disebelah sana, jadi heran. Lalu mata saya menjelajah kesekitar, dan benar tidak ada. Hanya kaum laki-laki.

Tapi mata saya langsung tertuju pada sesosok laki-laki berbadan bulat dan kepala bulat, yang tengah semacam bergulat berebut sesuatu dengan seseorang yang terlihat lebih kecil. Seperti anak SD berebut jajan. Saya risih mendengar teriakan-teriakan yang berasal dari pergulatan itu. Pasalnya itu suara perempuan tapi muncul dari sesosok laki-laki bulat.

Masalahnya bukan berfokus pada pergulatan itu. Namun, pada keheningan orang-orang disekitar pergulatan itu. Memandang saja mereka tidak lakukan, apa lagi melerai. Dan saya sendiri juga berdiam diri lantaran masih keheranan dengan suara yang ditimbulkan, ditambah lagi nasi saya belum habis. Kata orang jawa, gak ilok ninggal makanan yang tengah on going dimakan. hehehe

Akhirnya saya teringat pada jurnal berjudul ekspresi gender dalam National Geographic Indonesia (2017). Digambarkan terdapat beragam realitas tentang perubahan persepsi individu dan kelompok terkait perjuangan memperoleh identitas gender yang legitimate. Jurnal ekspresi gender menyuguhkan pergeseran yang cepat mengenai gender yang berbanding terbalik dengan keyakinan sebagian besar masyarakat. Kita mengenal konsep laki-laki dan perempuan sebagai legitimasi yang sangat tradisional diterima oleh seluruh anak yang baru lahir. Namun, belakangan identitas itu perlahan tergeser sebagai sesuatu yang tetap menjadi sesuatu yang bisa bertransformasi.

Saya merasa, realitas ini tidak bisa dipisahkan dari mekanisme kekuasaan dalam sebuah bahasa. Manusia dibentuk oleh bahasa.

Baik, kita bahas sedikit soal jurnal itu. Sebagian besar masyarakat menerima identitas sebagai laki-laki dan perempuan saat mereka lahir. Identitas ini memberikan pengaruh terhadap seluruh perkembangan individu secara berbeda --laki-laki dan perempuan. Pada masa pemerintah militer Sparta, seorang anak lak-laki berusia 7 tahun harus meninggalkan keluarga untuk diuji kekuatan dan tekadnya.

Di Indonesia, kita mengenal tradisi khitan yang harus dijalankan anak laki-laki menginjak usia dewasa sebagai bentuk perintah agama maupun budaya. Tidak berbeda dengan masyarakat Bukusu di Kenya. Mereka melakukan ritual kuno untuk menandai dimulainya kedewasaan. Ini adalah sebagian kecil dampak label yang diterima sebagaian besar masyarakat di dunia.

Peran orang dewasa dalam membentuk ulang identitas gender begitu dominan dalam sebagian besar masyarakat.  Menurut majalah diatas, anak-anak juga mempunyai persepsi yang beragam terkait gender, seperti kelebihan anak laki-laki yang patriarki. Sunny Bhope dari India mengungkapkan, "hal terburuk menajdi laki-laki adalah mereka mencuri dan menggoda hawa." Pernyataan ini berbanding lurus dengan Yingzhi Wang dari Tiongkok,

"menurutku, hal terburuk menjadi anak lelaki adalah mengintimidasi anak perempuan, karena anak perempuan itu umumnya lebih lemah dan lebih kecil, dan mereka juga malu-malu...anak lelaki seharusnya melindungi anak perempuan, seperti ayahku melindungi ibuku dan memegang tanggung jawab bagi keluarga kami."

Yingzhi Wang menunjukan argumen dan kesadaran berbasis nilai terkait anak laki-laki dan anak perempuan. Selanjutnya Dvir Berman dari tepi barat Israel mengatakan, "kalau menjadi anak laki-laki, kita kuat, dan bisa mengangkat benda-benda seperti kulkas...kalau anak perempuan, kita harus menyisir rambut dan memakai baju dan memastikan penampilanmu sudah patut dan lain-lain."

Begitu pula Fang Wang dari Tiongkok, dia menyatakan, "kadang-kadang aku diam-diam membantu abangku [di ladang]. Ibu memukulku kalau ia tahu. Kata ibu, tangan anak perempuan yang bekerja di ladang akan kapalan; lalu mereka akan menjadi jelek." Pernyataan ini menunjukan perbedaan kekuatan yang dimiliki anak laki-laki dan perempuan.

Anak-anak juga menyadari perbedaan gender memiliki pengaruh terhadap kesempatan mengakses status sosial, seperti pernyataan Fang Wang diatas. Alfia Ansari dari India mengungkapkan, "kami tidak mendapatkan pendidikan di sekolah, tapi anak laki-laki akan disekolahkan, sehingga mereka bisa pergi kemana saja, sedangkan anak perempuan tidak bisa."

Alfia telah menyadari perbedaan kesempatan mobilitas anatara anak laki-laki dan perempuan di India. Hal yang tidak jauh berbeda juga di ungkapkan Ibrahim Al Najja di pemukiman jalur Gaza mengungkapkan, "anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki. Anak perempuan bermain dengan anak perempuan. Kami tidak bermain bersama-sama. Mereka memainkan hal yang lain dari kami, dan permainan kami berbeda dari mereka." Pernyataan ini menunjukan kesadaran Najja terhadap status dan peran yang diterima masing-masing gender itu berbeda.

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukan perbedaan terhadap persepsi gender. Namun, pemikiran yang sejalan dengan masyarakat kontemporer dewasa ini diungkapkan Mikayla dari Kanada. Ia menyatakan, "tidak ada yang tidak bisa aku lakukan karena aku ini anak perempuan. Semua orang setara. Selalu ada besar kesempatan yang sama bagi semua orang. Tetapi di zaman dulu semua orang tidak setara." Cara berpikir tentang kesetaraan ini memang sejalan dengan pemikiran masyarakat kontemporer yang mengamini persamaan hak dan kebebasan berpendapat.

Berdasarkan survei seribu orang generasi milenial National Geographic menemukan bahwa sebagian orang menganggap gender adalah spektrum. Beberapa temuan tentang transgender dan gender ketiga menunjukan hal demikian. Emmie dari Massachusetts menyatakan sebagai transgender dan kini berstatus perempuan;  Sandy dan Mandy dari Samoa memiliki status fa'afafine (bukan laki-laki dan perempuan) mengekspresikan diri sebagai anak perempuan.

Sebaliknya, Ray Craig siswa SMP dari New York mengaku sebagai pria trans. Carlos dari republik Dominika memilih menjadi pria trans karena lonjakan hormon tertosteron; Hunter Keith dari Michigan menjadi pria trans karena merasa sebagai anak laki-laki sejak kelas 5. Saat berusia 17 tahun dia melakukan operasi pengangkatan payudara. Agak merinding ketika membaca ini.

Oke, berbagai fenomena menunjukan perubahan yang cepat dan drastis terkait gender. Saat ini muncul istilah-sitilah tentang gender ketiga, yaitu Hijra di Asia Selatan; yang daudu di Nigeria; muxe di Meksiko; fa'afafine di Samoa; kathoey di Thailand; fakaleiti di Tonga; mahu di Hawaii; dan two-spirit di Amerika.

Sebagai perbandingan, merujuk pengertian gender secara sains, adalah perpaduan beberapa unsur diantaranya kromosom X dan Y; anatomi; hormon; psikologi; dan budaya.

Namun, ada kalanya, terdapat perpaduan kromosom X dan Y yang tidak bisa berkembang sebagaimana mestinya. Lonjakan hormon testosterone dan esterogen juga memberikan pengaruh terhadap perkembangan pubertas yang sesuai dan tidak sesuai dengan anatomi. Beberapa fenomena sebelumnya menunjukan identitas gender terpengaruh oleh faktor psikologi, dimana identitas gender ditetapkan oleh diri sendiri.

Faktor budaya juga memegang posisi yang strategis dalam membentuk identitas gender, baik budaya tradisional maupun modern.

Konsep tentang bahasa dalam relasi sosial-individual dianggap oleh beberapa ilmuwan sebagai faktor yang membentuk realitas. Baik Piere Bordiou; Michel Foucault; dan ahli spikologi sosial Moscovici menempatkan bahasa sebagai konsep yang menempati posisi strategis tersebut. Tindakan pelegalan LGBT dari sudut pandang sosiologi linguistik memberikan efek yang demikian. Hal lain lagi, kita mengenal waria di Indonesia yang tidak digolongkan sebagai gender ketiga. Fenomena Waria diyakini sebagai perilaku nonconformist, oleh karena sosiologi linguistic kita tidak mengamini LGBT.

Saya pribadi meyakini gender berdasarkan anatomi, bukan dari persepsi lain. Anatomi saja. Selebihnya saya juga meyakini budaya memiliki peran yang strategis terhadap penguatan gender berdasarkan anatomi itu. Hal ini terkait status, hak, wewenang dan kewajiban setiap gender. Budaya memiliki nilai-nilai yang dipelihara, yang menggambarkan cita-cita dan harapan masyarakat budaya. Perilaku yang tidak sesuai dengan nilai memunculkan identitas conformist dan nonconformist. Jika saya melihat soal gender yang tidak berada pada orbitnya, maaf saya ngilu.

*) Sebagian informasi penting diatas diambil dari sub-bab  National Geographic Indonesia "Ekspresi Gender." Jurnal Resmi The National Geographic Society. Januari 2017. Vol.13.No.1

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun