Mohon tunggu...
Prasetyo Adi
Prasetyo Adi Mohon Tunggu... Dosen - Learner

Orang nomaden. Tinggal di malang dan selebihnya tinggal di tempat lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nak, Bercita-Citalah yang Tinggi, Jadilah seperti Bapak: Penjual Nasgor Gerobak

5 Juni 2021   08:20 Diperbarui: 5 Juni 2021   08:54 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun nasi gorengnya sudah berwarna, mengundang si lapar untuk bergegas bertindak, sayangnya nasi goreng itu tak pedas. Yah hanya enak karena bumbu dan serpihan telur. Tapi tak pedas. Mungkin itu alasan kenapa diatas meja disediakan sebuah piring berisi lombok kecil-kecil berwarna hijau. 

Okelah, saya ambil dua butir lombok lalu saya habiskan nasi goreng ini. Bapak Berpeci sudah menyiapkan air putih di atas meja, kita para pembeli nasi goreng tinggal mengambil gelas dan memasukan air kedalamnya. 

Urusan makan sudah selesai, tinggal bayar. Nah tapi saya tidak juga beranjak dari tempat duduk itu. Lagi asik buka instagram lalu dinaran untuk cek harga emas. 

***

Belum juga saya beranjak dari tempat duduk, perhatian saya tertuju pada pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu. Dia kelihatan masih muda, mungkin masih duduk di bangku SMA atau mungkin sudah lulus. 

Pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu cukup merespon kode-kode yang diberikan bapak berpeci. Tapi sepertinya inisiatifnya masih kurang. Lantaran dari awal saya duduk, hingga sudah selesai makan, bahkan orang yang datangnya setelah saya sudah bayar, pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu terlihat tak pernah beranjak dari posisinya di pojok kanan gerobak.

Mungkin pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu masih belajar berjualan, dan dibimbing langsung oleh empunya nasi goreng -bapak berpeci. 

Sayangnya saya tak melihat pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu membusungkan dada. Dia terlihat membungkuk, sudah badannya kurus membungkuk pula. Sesekali kalau tidak ada yang dikerjakan ia lebih sering menata rambut yang ia ponikan. Lalu memasukan salah satu tangan ke dalam saku celananya. Bagi saya wajar sih, anak muda, masih juga pengen bergaya.

Nah di sinilah saya merasa ada masalah. Mungkin ya, jiwa muda meronta karena merasa ini tak begitu keren. Lagi pula ini di Malang, aktivitas fisik itu seolah diorder harus keren, begitu. Ah sudahlah. Saya hanya merasa, pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu tak memiliki cukup banyak kebanggaan dengan apa yang tengah ia kerjakan, terlihat dari dadanya yang disembunyikan. 

Padahal kalau dipikir-pikir dan melihat usia bapak berpeci ini, rasanya umur gerobak ini sudah lanjut. Dan saya yakin, gerobak ini menjadi perantara hidup pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu berlangsung sampai sekarang. Nah kalau situasi semacam ini disadari pemuda yang tak begitu kelihatan rupawan itu, seharusnya dia punya lencana kebanggaan di dadanya.

Situasi yang tak jauh berbeda pun saya temui di desa saya, di Tuban Jatim. Desa saya terletak dekat dengan perbatasan bojonegoro. Dekat dengan sungai Bengawan Solo. Ekonomi masyarakat sekitar ditopang oleh aktivitas pertanian, mayoritas. Selebihnya beternak ayam, kambing, dan ada beberapa yang jadi pegawai negeri dan pegawai bank. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun