Karena telanjur kecewa, Florence menumpahkan emosi di Path. Keluarlah kalimat yang tidak patut diucapkan dengan nada menghina masyarakat Jogja di akun Path miliknya.
Sumpah serapah Florence langsung menuai beragam tanggapan dari para netizen. Ada yang membela dengan menyebut bahwa itu hanya luapan emosi sesaat. Namun, yang paling banyak tentu saja hujatan untuk perempuan cantik tersebut.
Setelah Detiknews.com menurunkan berita tentang Florence, keesokan hari berita serupa muncul di Kedaulatan Rakyat, Tribunnews, Kompas TV, dan Metro TV. Hingga kini topik itu masih muncul di berbagai media cetak, online, dan elektronik.
Pihak UGM telah menyatakan akan menyelidiki kejadian tersebut, namun tidak akan memberikan sanksi khusus. Florence sendiri telah meminta maaf secara terbuka dan menyatakan menyesal.
Kejadian ini setidaknya memberikan pelajaran penting. Yaitu berhati-hati saat menulis sesuatu, terutama di media sosial. Setidak-tidaknya tulisan itu akan menjadi sejarah bagi pelakunya. Tulisan bisa menjadi momentum kebangkitan atau sebaliknya menjadi bumerang.
Masalah Florence ini telah dianggap selesai. Namun, tulisannya telanjur ”abadi” dan mengukir sejarahnya sendiri. Sastrawan Inggris Bulwer Lytton pernah mengingatkan bahwa pena itu lebih tajam daripada pedang. Jadi, berhati-hatilah menggunakannya!
30 Agustus 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H