Pada kuartal 1 2020 saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya menyentuh angka 2.97%. Hal ini disebabkan karena memburuknya tingkat konsumsi di Indonesia selama periode tersebut yang hanya menyentuh kisaran 2.84%, jauh di bawah kondisi normal yang bisa menyentuh kisaran 5%. Padahal kontribusi konsumsi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencakup hampir 57%, lebih dari setengahnya.
Kuartal 2 2020 tentu saja akan lebih terpuruk. Kita tahu bahwa penerapan PSBB sudah mulai dijalankan sejak April dan direncanakan akan terus berlangsung hingga awal Juni.
Lalu bagaimana dengan kuartal 3 dan seterusnya? Pemerintah tentu tidak ingin terlalu tenggelam dalam keterpurukan ekonomi. Apabila dilanjutkan, PSBB ini akan memberikan bencana ekonomi bagi negara. Ada bayang-bayang kekhawatiran resesi yang menghantui, dan yang sudah pasti terjadi akan butuh waktu yang lebih lama bagi pemerintah untuk melakukan recovery manakala kondisi nanti sudah membaik, dan tentu saja peningkatan kemiskinan.
Peningkatan kemiskinan disini adalah hal yang perlu ditekan seminim mungkin. Penambahan 8.5 juta orang lapar bukanlah berita yang menggembirakan bagi pemerintahan manapun.Â
Selain potensi kriminalitas yang meningkat dan potensi bentrok sosial, namun jangka panjang nya bisa lebih buruk: menurunnya kualitas sumber daya manusia karena kurang tercukupinya kebutuhan dasar karena kemiskinan. Ingat bahwa Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi di tahun 2030. Tanpa kualitas sumber daya manusia yang mumpuni, maka bonus demografi menjadi mubazir, dan angan-angan menjadikan Indonesia menjadi negara maju bisa jadi harus ditunda jauh. Untuk apa kita punya kuantitas tanpa kualitas?
Di sisi lain, ada hal yang nampaknya juga menjadi pertimbangan yang logis untuk melonggarkan PSBB dan menerapkan new normal. Satu hal ini mungkin adalah gagasan yang tidak populer dan akan banyak dihujat, tetapi sayangnya cukup logis. Setidaknya dari data yang ada.
Seperti yang sudah saya uraikan di atas, dalam skenario terburuk maka akan terjadi penambahan 8.5 juta orang miskin atau orang lapar di negeri ini. Ini bukanlah angka yang kecil dan layak diabaikan. Begitu juga dengan angka korban Covid-19 yang datanya sudah saya jabarkan di poin 1 di atas. Itu juga bukan jumlah angka korban yang patut diabaikan.
Akan tetapi, dilihat dari perbandingan angkanya, maka akan dengan sangat mudah terlihat bahwa kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia sejauh ini jauh lebih kecil dari potensi penambahan jumlah orang lapar yang ada.
Ada sekitar 26,000 kasus terkonfirmasi, yang mana tingkat kematiannya sebesar sekitar 1,600 atau sekitar 6% dari total kasus yang ada. Ini adalah angka yang relatif kecil untuk menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi 8.5 juta tambahan orang lapar yang bisa berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.Â
Juga angka yang relatif kecil jika dibandingkan dengan potensi opportunity untuk memanfaatkan bonus demografi dan menjadi negara maju yang hilang dalam satu dekade ke depan.Â
Dari statistik yang ada, saya rasa sangat logis bagi pemerintah untuk mencanangkan pelonggaran PSBB dan mengaplikasikan gaya hidup new normal.