Tulisan dibawah ini merupakan sebuah ulasan mengenai jurnal yang berjudul pengembangan indeks bahaya banjir dalam skenario perubahan iklim di Pulau Jawa. Jurnal ini membahas mengenai dampak perubahan iklim terhadap peningkatan bencana banjir yang ada di Pulau Jawa. Jurnal yang sangat menarik, kaya akan informasi dan bagus untuk dibaca untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap kenaikan bencana yang ada di skala global maupun lokal pada khususnya di Pulau Jawa.
Banjir merupakan fenomena alami yang dimana badan air mengalami peningkatan permukaan air, sehingga menyebabkan tergenangnya daratan yang biasanya tidak terendam. Kenaikan muka air dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingginya aliran limpasan akibat curah hujan yang tinggi atau masuknya air laut akibat gelombang pasang. Dampak dari banjir mencakup dampak yang signifikan dan korban jiwa, terutama di negara - negara berpenghasilan rendah. Skala risiko banjir global sangat mencengangkan, 58 juta orang diperkirakan terkena bahaya tersebut. kerentanan yang luas ini dikaitkan dengan jumlah korban jiwa yang setiap tahunnya mencapai hampir 5.700 orang dan kerugian ekonominya sebesar US$118 miliar. Dalam skala lokal, Indonesia mengalami kejadian serupa di DKI jakarta pada tanggal 1 Januari 2022. Selama peristiwa ini, lebih dari 173,000 orang dievakuasi, dan banjir merenggut nyawa 66 orang. Dampak ekonomi berikutnya sangat besar dengan kerugian melebihi US$700 Juta.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), telah merilis kumpulan data yang menunjukan peningkatan tajam jumlah kejadian banjir dari tahun 2011 hingga 2020. Berikut merupakan grafik jumlah kejadian banjir di Indonesia:
Peningkatan kejadian banjir yang terjadi bertahap ini berpotensi disebabkan oleh perubahan pola curah hujan yang disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik dalam skala global. Bank Dunia mencatat pada tahun 2021, jumlah penduduk dunia telah mencapai 7,89 miliar jiwa. Hal ini memicu peningkatan emisi gas rumah kaca, yang menyebabkan peningkatan kadar karbon di lapisan ozon. Pada tahun 2019, emisi karbon di seluruh dunia diproyeksikan berada dalam kisaran 59 9 6,6 GtCO2 per tahun, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 1,8%. Akibat dari perubahan iklim ekstrem ini terlihat jelas dalam perubahan pola curah hujan, peningkatan kejadian kekeringan dan fluktuasi permukaan air laut di seluruh dunia.
BNPB telah menyusun peta risiko banjir yang komprehensif dengan menggunakan metodologi Indeks Banjir Geomorfik dalam menghadapi meningkatnya risiko banjir, perumusan rencana mitigasi yang efektif yang merupakan langkah awal yang penting dalam manajemen risiko banjir. Dengan mengintegrasikan data topografi dan peta kepadatan penduduk melalui Sistem Informasi Geospasial (GIS), peta ini memfasilitasi penilaian risiko dan perhitungan prediksi banjir. Meskipun machine learning untuk prediksi banjir berbasis sungai dan darat telah berkembang, model numerik masih memainkan peran penting dalam menghasilkan karakteristik banjir dan peta tingkat risiko di berbagai skenario.Â
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji dampak curah hujan dan skenario perubahan iklim terhadap indeks perubahan iklim terhadap indeks bahaya banjir di suatu wilayah yang luas, khususnya Pulau Jawa. Hasil dari penelitian ini dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam melakukan penyusunan kebijakan penanggulangan banjir. Pulau Jawa dipilih sebagai  fokus penelitian ini karena kerentanannya tinggi dan kejadian banjir yang berulang. Pulau Jawa merupakan salah satu daratan yang terpadat di dunia karena menampung 152 juta orang, atau setara dengan sekitar 63,98% dari total populasi Indonesia. Berikut merupakan peta wilayah Pulau Jawa:
Pulau Jawa memiliki luas daratan sebesar 132,84 km2 dan secara administratif dibagi menjadi enam provinsi. Pulau Jawa juga terdiri dari 24 wilayah cekungan yang berbeda, masing-masing diawasi dan dipantau oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menurut BNPB, jumlah kejadian banjir yang dialami di Pulau Jawa pada tahun 2021 saja mencapai kurang lebih 560 kejadian atau mencakup 48,25% dari keseluruhan spektrum bencana banjir di seluruh Indonesia. Statistik yang mengkhawatirkan ini mencerminkan  peningkatan frekuensi banjir yang terus menerus sejak tahun 2012, dengan rata - rata peningkatan tahunan sebesar 13,18%. Eskalasi ini menekankan perlunya pemahaman mendalam dan strategi pengelolaan yang efektif untuk memitigasi dampaknya.Â
Dalam penelitian ini kerangka konseptual yang diusulkan pada penelitian ini disajikan secara visual pada gambar dibawah ini:
Analisis perubahan iklim yang dilakukan dalam penelitian ini mencakup skenario iklim SSP 2.45 dan SSP 5.85. Selain itu, periode ulang banjir disimulasikan menggunakan data yang berasal dari dataset Global Precipitation Measurement (GPM). Khususnya data curah hujan dari model iklim dan GPM mengalami proses koreksi bias dan penurunan skala, sehingga memastikan peningkatan resolusi data. Dalam penelitian ini memanfaatkan Curah Hujan Limpasan.Â
Pada penelitian ini menggunakan Model Inundation (RRI) untuk analisis perambatan banjir, yang dikalibrasi menggunakan data debit sungai dan data luas perambatan banjir dari berbagai kejadian banjir. Selama tahap kalibrasi, berbagai parameter termasuk kekasaran tanah, koefisien penampang sungai, dan karakteristik tanah disesuaikan secara berulang. Model yang telah dikalibrasi kemudian divalidasi menggunakan beragam kejadian banjir, yang berpuncak pada pembentukan model akhir.Â
Dalam penelitian ini dilakukan pemetaan bahaya banjir, yang mana pemetaan bahaya banjir bertujuan untuk  penggambaran sistematis wilayah-wilayah yang rentan terhadap genangan selama terjadi nya banjir. Oleh karena itu, Indeks Bahaya Banjir (FHI) untuk suatu wilayah yang luas, yaitu kecamatan, kabupaten dan provinsi, diperoleh melalui rata-rata indeks bahaya lokal di seluruh wilayah kecamatan berdasarkan kedalaman air. Indeks bahaya lokal ini dihitung dengan menilai genangan paling besar yang pernah diamati. Sesuai dengan pedoman Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Indonesia, indek bahaya dikategorikan berdasarkan kebijakan Nomor 2 Tahun 2012 sebagai berikut:
Dalam penelitian ini hasil dan pembahasan yang dijelaskan meliputi kinerja model iklim, parameter model untuk studi kasus, peta proyeksi genangan banjir, dan proyeksi Indeks Bahaya Banjir dan skornya:
1. Kinerja model iklimÂ
Penelitian ini mencakup CDF yang dihasilkan dari setiap model CMIP dan stasiun pengukur hujan, yang menghasilkan total 186 kurva CDF dan persamaan yang sesuai. Data deret waktu bulanan untuk model iklim dan curah hujan yang diamati diilustrasikan pada gambar dibawah ini:
2. Parameter untuk studi kasus
Efektivitas model RRI dinilai melalui evaluasi yang melibatkan debit maksimum sungai dan dokumentasi wilayah yang tergenang. Upaya kalibrasi dipusatkan di tiga wilayah cekungan berbeda diantaranya: Cimanuk-Cisanggarung, Bengawan Solo, dan Serayu Opak. Debit sungai diamati di tiga stasiun berbeda di dalam wilayah cekungan yang dikalibrasi.
3. Peta proyeksi genangan banjir
Simulasi perambatan banjir dalam berbagai skenario iklim dilakukan dengan menggunakan model RRI yang telah dikalibrasi. Dengan menggunakan analisis frekuensi historis. Penentuan periode ulang 100 tahun dipandu oleh prinsip bahwa skenario perubahan iklim terendah sekalipun harus melampaui penggenangan pada skenario historis. Hal ini menunjukan bahwa dengan kemungkinan yang lebih besar, skenario iklim dapat melebihi kejadian curah hujan ekstrem dalam sejarah.
Hasil simulasi RRI disajikan dalam bentuk peta perambatan banjir, seperti yang ada pada gambar dibawah ini:
Peta-peta di atas memberikan representasi visual mengenai luas genangan banjir maksimum, dengan rata-rata hasil model GCM ditunjukan pada gambar 6b hingga 6e. Untuk mendapatkan lebih banyak wawasan, luas genangan juga dihitung dan disajikan pada gambar dibawah ini:Â
4. Proyeksi Indeks Bahaya Banjir dan skornya
Dalam penelitian ini, pendekatan pemetaan Indeks Bahaya Banjir (FHI) bergantung pada kedalaman genangan maksimum di wilayah kecamatan. Metode ini melibatkan overlay peta perambatan banjir ke dalam peta administratif kecamatan, seperti digambarkan pada peta bawah ini:
Analisis Indeks Bahaya Banjir (FHI) untuk wilayah kecamatan menunjukkan adanya peningkatan konsentrasi wilayah dengan bahaya tinggi dari waktu ke waktu, terutama pada skenario yang lebih parah. Dalam waktu dekat, persentase rata-rata kecamatan yang terkena dampak banjir dengan tingkat bahaya tinggi adalah 14,18% untuk SSP2.45, dan persentase ini meningkat menjadi 21,86% di masa depan untuk skenario yang sama. Demikian pula, dalam skenario SSP5.85, persentase rata-rata kecamatan yang terkena dampak banjir dengan tingkat bahaya tinggi adalah 24,28% dalam waktu dekat dan meningkat menjadi 31,6% dalam waktu dekat. Terbukti, provinsi dengan skor bahaya tertinggi adalah DKI Jakarta (0,61--0,77) dan Jawa Tengah (0,62--0,76), terutama disebabkan oleh curah hujan yang terkonsentrasi dan pertumbuhan perkotaan.
Referensi:
- Farid.M. et.al, (2023). Development of flood hazard index under climate change scenarios in Java Island. Progress in Disaster Science. Volume 20, Desember 2023,100302
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H