MENGAPA NYADRAN TETAP BERTAHAN?
Oleh: Sri Suprapti, Guru Bahasa Jawa di Surakarta
Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Dalam Bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artinya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga (nyekar) dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur (tempat yang sudah disediakan, biasanya rumah los besar).
Nama nyadran sendiri berasal dari kata Sradha -- nyradha -- nyradhan, kemudian menjadi nyadran. Dalam keterangan versi Indonesia, dinyatakan Nyadran merupakan reminisensi (kenangan) dari upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada jaman dahulu kala. Upacara ini dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa -- Islam Ruwah sebelum bulan Puasa, Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa.
Dalam buku karangan seorang orientalis Belanda yang bernama P.J. Zoetmulder, istilah nyadran berasal dari istilah sadran, sraddha, nyraddha, nyraddhan yang disebut dalam kitab Kidung Buwana Sekar yaitu upacara sekar (bunga) untuk memperingati kematian ratu Tribuwana Tungga Dewi tahun 1350 yang berlangsung sejak jaman Majapahit.
Masyarakat Jawa biasa menyebut "nyekar" (ziarah kubur). Nyadran adalah serangkaian upacara (tradisi pembersihan makam) yang dilakukan oleh masyarakat Jawa terutama Jawa Tengah. Nyadran merupakan suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur. Biasanya sudah ada tempat tersendiri untuk acara makan bersama, jadi bukan di atas makam/nisan.
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ruwahan adalah melakukan besik yaitu pembersihan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan, melakukan ziarah kubur dengan berdoa kepada roh yang sudah meninggal di area makam, doa bersama kemudian ditutup dengan makan bersama.
Pada masyarakat yang mengikuti Nyadran biasanya berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang sudah meninggal. Nyadran ini biasanya dilakukan oleh berbagai umat yang beragama. Tradisi Nyadran boleh tidaknya, tidak bisa dipukul rata, melainkan harus ditinjau berdasarkan apa motivasinya (niatnya) dan bagaimana teknis pelaksanaannya (caranya).
Banyak yang merasa antipati atau ketidak relaan / ketidak setujuan dengan kata nyadran yang berasal dari upacara agama Hindu di Jawa. Bahkan ada yang kemudian menampilkan hadits bahwa barang siapa menyerupai suatu kaum maka termasuk dalam kaum itu. Memang hadits itu benar adanya, namun tidak bisa dipukul rata bahwa setiap hal yang sama itu pasti meniru.
Ziarah kubur memang diperintahkan dalam Islam, sebagaimana pula jika umat Islam puasa kemudian umat lain puasa, maka tidak berarti ini meniru-niru umat lain.Istilah Nyadran dari upacara Hindu Majapahit itu wajar, karena sebagian besar nenek moyang bangsa Indonesia adalah mantan Hindu. Itu artinya kalau dalam Islam diperbolehkan, tradisi itu boleh dilakukan tetapi kalau tradisi itu tidk diperbolehkan dalam Islam maka tradisi itu tidak boleh dilakukan.