Aktifitas nyadran itu meniru upacara memperingati kematian Tribuwana Tungga Dewi, namun dari segi aktifitasnya berbeda. Saya yakin tidak semata menziarahi kuburan Tribuwana Tungga Dewi melainkan juga ada ritual lainnya. Mereka tidak kenal yang namanya bulan Ramadhan, jadi tidak mungkin dilakukan sebelum Ramadhan. Karena jaman Majapahit sudah memiliki kalender tersendiri.
Nyadran jaman sekarang aktifitas nya pun berbeda-beda, antara lain ada yang memahami sebagai ziarah kubur, ada yang melarung sesaji ke laut. Dengan adanya pembahasan seperti tersebut di atas, maka bisa saya simpulkan bahwa boleh tidaknya nyadran tidak tepat kalau hanya ditinjau dari segi istilahnya saja, melainkan harus ditinjau dari segi aktifitasnya juga.
Ziarah kubur itu pada awalnya memang dimakruhkan terutama untuk kaum wanita karena dikhawatirkan bahwa kebiasaan seorang wanita dalam meratapi mayit yang sangat berlebihan serta berbagai khurafat kepercayaan di masa jahiliyah. Namun pada masa-masa berikutnya Rasululullah S.A.W. memberikan keringanan (rukhshoh) diperbolehkan untuk melakukan ziarah kubur.
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'id Al Jauhari berkata, telah menceritakan kepada kami Rauh berkata, telah menceritakan kepada kami Bistham bin Muslim ia berkata : aku mendenganr Abu At Tayyah berkata ; aku mendengar Ibnu Abu Mulaikah dari Aisyah berkata, "Rasulullah s.a.w memberikan keringanan untuk ziarah kubur." ( H.R Ibnu Majah No. 1559 ).
Dengan demikian akhirnya Rasulullah s.a.w memerintahkan untuk menziarahi kuburan agar kita sebagai manusia selalu ingat akan kematian dan hari kiamat. Artinya bahwa larangan ziarah kubur dari Rasulullah s.a.w. ini sudah atau telah dibatalkan (tidak berlaku kembali).
Demikian pula apabila nyadran itu juga disertai dengan shodaqoh kepada fakir miskin dan anak yatim, baik itu berupa uang atau diberikan makanan berupa nasi kotak atau sembako, hal itu malah lebih baik, bahkan dianjurkan oleh agama. Namun kalaupun makan-makan nya itu hanya untuk kalangan kerabat dan keluarga, maka memberi makan kerabat atau sanak saudara itu juga baik dan tetap bernilai shodaqoh serta mendapat pahala jika tidak disertai dengan pamer atau riya'.
Berdasarkan keterangan di atas penulis mengambil kesimpulan tentang status nyadran antara lain, Nyadran dilestarikan oleh sebagian orang Jawa dan menjadi adat atau tradisi mereka. Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu bulan Sya'ban yang oleh orang Jawa disebut bulan Ruwah. Perlu diketahui bahwa dengan menyebut kata ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).
Masyarakat memilih waktu ini tentu tidak sembarangan. Ada keyakinan yang melatarbelakangi. Jika tidak, mereka akan melakukannya di sepanjang tahun tanpa mengenal batas waktu. Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Yang mana keberadaan ritual ini tidak lepas dari keyakinan tertentu atau ideology yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya. Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut Islam, seperti kejawen, Hindu dan penganut aliran kepercayaan lainnya.
Seperti yang sudah penulis jelaskan di atas bahwa nyadran itu didefinisikan sebagai ziarah kubur yang diperbolehkan bahkan dianjurkan. Namun perlu dipahami bahwa sebenarnya ziarah kubur tidak harus sebelum ramadhan, melainkan kapan saja bisa dilakukan.Â
Namun jika momen yang ada adalah sebelum ramadhan maka hal itu tidak mengapa asalkan jangan timbul keyakinan bahwa jika ziarah di waktu lain tidak afdhol, dan juga salah jika ada keyakinan bahwa jika tidak melakukan nyadran sebelum bulan ramadhan maka puasanya tidak sah atau hidupnya bakal tidak berkah.
Maka keyakinan yang salah itu adalah salah. Adapun ziarahnya tetap benar. Itulah sebabnya mengapa nyadran tetap bertahan?.