Mudah-mudahan nilai luhur budi pekerti, unggah-ungguh / tata krama terhadap orang tua tidak hilang. Karena kalau hilang atau luntur moral baik akan makin menipis, seperti menggunakan kata-kata yang buruk, meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol, kaburnya batasan moral baik-buruk, menurunnya etos kerja, rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, rendahnya tanggung jawab individu, membudayanya ketidakjujuran dan adanya saling curiga dan kebencian antara sesama.
Perlu diketahui bahwa untuk mencegah menipisnya moral yang bertambah parah, maka pendidikan karakter harus lebih ditingkatkan baik di lingkungan formal, informal maupun nonformal. Untuk mendidik karakter anak bangsa yang sudah mulai hilang rasa hormatnya pada orang tua dan guru yaitu mikul dhuwur mendhem jero merupakan peribahasa yang tepat.
Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti luas, yaitu orang yang lebih tua, pemimpin, tokoh masyarakat dan sebagainya.Jika kalimat ini sudah diterapkan kepada jiwa anak maka akan memupuk moral dan karakter untuk semakin baik. Setidaknya batasan moral antara anak dan orang tua, norma etika unggah-ungguh tidak akan lenyap, terhapus oleh arus globalisasi.
Apabila seseorang sudah meninggal dunia maka kenanglah dengan hal-hal yang baik tentangnya dan janganlah diobral keburukannya selama hidup di dunia. Sejalan dengan ajaran Islam, sebagaimana tersurat dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa Sallam yang mengatakan " Ingatlah kebaikan orang-orang yang meninggal di antara kalian dan tahanlah dari menjelek-jelekkannya." ( Imam Bukhari, Imam Thirmidzi dan Imam Abu Dawud ).
Dalam kesempatan lain, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga mengingatkan, "janganlah kalian mencela orang-orang yang sudah meninggal dunia, karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada hasil amalan yang mereka lakukan tatkala di dunia." ( HR. Imam Bukhari ).
Itulah etika yang sangat dianjurkan dalam tata pergaulan antar manusia.Jika seseorang melanggar falsafah adiluhung tersebut, menunjukkan kualitas moral seseorang yang begitu rendah. Peringatan bagi kita yang masih hidup, bahwa hadits di atas memberi pelajaran masih ada kemungkinan untuk memperbaiki diri.
Dalam konotasi positif mendhem jero diartikan sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga, orang tua, masyarakat atau jenis kelompok manusia lainnya. Sedangkan makna konotasi negatif bisa dimaknai menutupi kekurangan yang seharusnya diketahui orang ( transparan ). Prinsipnya bahwa mendhem jero mengajarkan kita untuk menutupi aib yang dimiliki, di mana aib tersebut memang tidak perlu diketahui oleh orang lain.
Akhirnya timbul pertanyaan, dalam keadaan bagaimana ajaran mikul dhuwur mendhem jero ini perlu diterapkan? Peribahasa ini adalah nasehat agar siapapun mau menghargai dan menghormati orang tua yang telah mendidik dan membesarkan jiwa dan raga kita. Adapun penghormatan tersebut tidak hanya diberikan ketika mereka masih hidup, tetapi juga setelah mereka sudah tiada.
Gambarannya mikul dhuwur seperti ketika memikul jenazah, bukan digotong seperti mengangkat orang dari tidurnya. Maknanya seluruh jasa orang tua harus ditunjukkan, sungguh-sungguh dihargai. Nasehat mereka ditepati, pemberian mereka dijaga baik-baik. Tidak ada orang tua yang memberi sesuatu dengan tidak ikhlas. Oleh karena itu si anak harus juga memuliakan warisan dari orang tua sebaik mungkin.
Sedangkan yang dimaksud dengan mendhem jero ( mengubur dalam-dalam ) dapat dilihat dari cara orang mengubur jenazah. Paling tidak kedalaman lubang kubur adalah setinggi tubuh posisi berdiri. Tidak boleh mengubur jenazah hanya selutut, tidak layak jika dikubur asal-asalan. Karena nantinya akan busuk dan berbau.
Jadi jika dikubur di lubang yang dangkal, bisa saja bau busuk bertebaran kemana-mana. Artinya, orang tua juga hanya makhluk alias ciptaan Allah, orang tua juga memiliki dosa dan salah ketika hidup di dunia. Dengan pernyataan seperti itu, seyogyanya anak "mengubur" aib orang tuanya. Bukannya malah membeberkannya ke mana-mana.