Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin... [1]
Zakat Fitri adalah salah satu bentuk zakat yang ditunaikan beriringan dengan puasa ramadhan dan hari raya ied fitri. Pengkhususan terhadap zakat ini adalah pada waktunya, yaitu hari raya Ied Fitri. Maka pelaksanaannya pun mengacu pada hari Ied Fitri. Beberapa hal yang menjadi pengkhususan terhadap waktu dimaksud adl sbb;
1. Istilah
Dari hadits diatas jelas secara konteks disebutkan 'ZAKAT FITRI' bukan 'ZAKAT FITRAH' seperti istilah yang sering dipakai di Indonesia.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[2]
2. Waktu Pelaksanaan
Pelaksanaan Zakat Fitri sesuai waktunya yaitu sebelum Hari Raya Ied Fitri, terkategorikan sbb;
Waktu 'afdhol' yaitu mulai dari terbit fajar pada hari Ied Fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ied. Berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[3]
Waktu yang 'dibolehkan' yaitu satu atau dua hari sebelum ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar
disebutkan dalam Shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ – رضى الله عنهما – يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari raya ‘idul fithri.”[4]
Ssesuai maksud hadits pertama bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri, maka jika ingin ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari ‘ied. Pemberian zakat sejak awal Ramadhan berpotensi akan merubah nilai tujuan pemberian zakat ini.
3. Wajib Zakat
Hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa...”[5]
Imam Asy Syafi’i berpendapat, seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Hal ini bisa diimplementasikan apabila seorang bayi lahir sebelum magrib malam Ied Fitri maka wajib baginya dibayarkan zakatnya, sedangkan tidak bila dia dilahirkannya setelah malam harinya. Begitu pula apabila seseorang meninggal sebelum waktu maghrib malam 1 Syawal maka tidak ada kewajiban atasnya zakat fitri.[6]
4. Tempat Pelaksanaan Zakat
Sesuai dengan waktu pemberiannya, pelaksanakan pembayaran zakat dilakukan dimana saat dia menemui hari Ied Fitri. Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan ketika malam Ied Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia mendapati hari raya Ied Fithri [7]
semoga bermanfaat,
po, july 31 '12
__________________
sumber : muslim.or.id
penulis : muhammad abduh tuasikal
[1] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[2] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[3] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[4] HR. Bukhari no. 1511.
[5] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[6] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H