Mohon tunggu...
Wahyu Dwi Pranata
Wahyu Dwi Pranata Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

cowok yang hobby menulis, aktif di media Social, suka terhadap teknologi dan aktif di MRCindonesia.com\r\nsekarang tinggal di Kudus dan jika berminat menghubungi saya bisa di Email : Dwiwahyu@rocketmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tanah Longsor? Perlu Sistem Informasi Bencana Terdistribusi

14 Oktober 2014   20:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:03 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir bulan Januari tahun ini, Kudus di guncang beberapa permasalahan kebencanaan, mulai dari tanah longsor dan banjir. Sedikitnya 12 Orang meninggal gara-gara peristiwa tanah Longsor dan banjir bandang di Dukuh Kambangan, Desa Menawan, Rahwatu, Kabupaten Kudus yang terjadi sekitar pukul 1 dini hari. Belasan rumah serta fasilitas publik rusak-rusak, hewan ternak menjadi terlantar dan ratusan anak-anak harus berhenti menuntut ilmu di Sekolahan untuk beberapa minggu.

Menurut data lapangan yang MRC Indonesia miliki, beberapa masyarakat masih kurang paham akan tanda-tanda longsor. Hal ini yang menyebabkan sedikitnya 12 Orang meninggal di Menawan. “Tanah menjadi dingin, ada suara Gemuruh yang jelas terdengar, muncul mata air baru, dan muncul rekahan tanah baru.” Pernyataan tersebut merupakan ciri-ciri akan terjadinya lonsor. Menurut wawancara yang dilakukan, ternyata tanda-tanda tersebut mereka ketahui. Namun, mereka tetap abai dengan yang namanya bencana. Pada sore hari sebelum bencana longsor di Kambangan terjadi, masyarakat tetap menjalankan aktifitasnya seperti hari-hari biasa. Mereka mencari pakan ternak ke pekarangan, nukang, mengambil air, ibu-ibu tetap memasak, sedangkan anak-anak masih bermain riang di depan rumah bersama ana-anak lainnya.

Meskipun pengetahuan tentang bencana tanah longsor mereka kurang, bila ada alat deteksi longsor yang kemudian memberikan informasi bahaya kepada warga. Mungkin 12 nyawa yang melayang dapat dikurangi dan harta-benda yang hilang dapat ditekan seminimal mungkin.

Apalagi jika sistem informasi tersebut terintegrasi (terdistribusi) kepada pihak-pihak pengambil kebijakan di pemerintahan. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kudus, Palang Merah Indonesia (PMI) Kudus, kepolisian, TNI, dan badan lain yang dapat memanfaatkannya. Maka proses tanggap Bencana di Kambangan dapat segera dilakukan dengan tepat sasaran.

Ada beberapa kelebihan jika pemerintah membuat sistem Informasi kebencanaan yang terintegrasi dan terdistribusi. Pertama, bagi masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana akan mendapatkan warning lebih awal terhadap bencana yang akan terjadi yang akan menimpa mereka. Jadi setidaknya mereka memiliki waktu lebih untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi datangnya bencana.

Kedua, distribusi infomasi kepada pihak BPBD akan memperecepat proses untuk penanggulanggan pada saat bencana terjadi. BPBD dapat segera meluncur ke lokasi bencana dan memetakan bagaimana kondisi lapangan. Sehingga akan didapati langkah penanggulangan yang tepat.

Ketiga, peran Polisi dalam menjaga lalu lintas sertakeamanan menjadi bagian yang penting pada saat terjadi bencana. Infomasi yang dapat diakses melalui sistem yang terdistribusi akan mempengaruhi bagaimana gerak polisi dalam menjaga keamaan dan kenyamanan masyarakat pada masa bencana. Misalnya, informasi jumlah rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya saat bencana akan mempengaruhi besarnya jumlah personil Polisi dalam melakukan pengamanan rumah warga. Informasi geografis atau medan bencana, misalnya wilayah Kambangan yang terletak di perbukitan dengan jalanan aspal yang sudah rusak akan menentukan kendaraan apa yang cocok untuk dibawa ke sana.

Hal diatas merupakan salah satu manfaat dari Sistem Terdistribusi, yang biasa disebut sebagai sharing resource oleh beberapa pengguna yang memiliki kepentingan yang berbeda.

Sistem terdistribusi dapat di hubungan dengan input-input data berupa sensor-sensor yang telah dimiliki. Misalnya peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menggunakan ekstensometer, strain sensor, dan inclinometer untuk mendeteksi pergerakan tanah pada longsor (lipi.go.id). kamera untuk mengambil gambar pola kerusakan yang terjadi pada saat bencana, aktifitas serta keriuhan masyarakat. Ombrometer untuk menghitung jumlah curah hujan. Website untuk input data demografis pada saat bencana. Misalnya jumlah anak-anak, remaja, usia renta, yang tekena dampak bencana. Jumlah wanita dan laki-laki. kemudian inputan tersebut diunggah ke satu data server yang kemudian diolah hingga menjadi informasi yang bermanfaat untuk para pengambil kebijakan mengenai kebencanaan di Kudus.

Jangan sampai kerugian materiil dan non-materiil dari dampak bencana tidak dapat dikurangi. Semoga perkembangan teknologi akan berpihak kepada kebaikan. Amin.

Wahyu Dwi Pranata

Warga Purwodadi

Mahasiswa Teknik Informatika

Relawan Muria Research Center (MRC) Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun