Istilah Independen seolah tak terbantahkan. Menjadi doktrin utama ketika seseorang ingin berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Bebas dari kepentingan apapun. Termasuk pemilik perusahaan katanya. Kecuali keberpihakan pada masyarakat luas tentunya.
Independensi tentu tak asing lagi di kalangan banyak pewarta. Sebab, kata-kata itu kerap kali dikumandangkan. Sikap seperti itulah yang sepatutnya diyakini. Itu pun jika mau jujur pada jalurnya. Sejatinya independensi adalah keniscayan. Bagi mereka yang berpegang teguh pada prinsip. Bebas tanpa adanya intervensi dan kepentingan dibaliknya.
Meski nyatanya kondisi tersebut jauh berbanding terbalik dengan fakta di lapangan. Lantaran masih saja kerap terdengar soal murninya sikap juru liput harus 'dibayar' mahal akibat keteguhannya.Â
Namun idealisme seakan menjadi roh tersendiri bagi mereka yang resah pada ketidakmurnian. Maka pada jalur itulah sarana pilihannya. Walaupun potensi tersisihkan menjadi resikonya. Siapa pun tak boleh membendungnya. Begitulah idealnya.
Tak hanya sebatas itu, terkadang untuk mempertahankan sebuah kata independen. Tak jarang para ujung tombak sumber informasi tersebut 'dipaksa' berbenturan dengan sang petinggi. Mulai dari tuan besar pemilik tampuk perusahaan. Begitu pun dengan sosok setingkat diatas mereka kedudukannya.
Tentu saja kondisi ini menjadi ironi tersendiri. Ketika apa yang dihadapi para pewarta, nyatanya harus dibekap dalam hal kebebasan berpikir. Belum lagi dalam kerja menulis sebuah karya. Pada kenyataannya, apa yang dihasilkan para kuli tinta, masih saja tak sesuai dengan selera tokoh-tokoh pemilik media.
Dengan berbagai dalih argumen pembenar menurut pendapat tuan-tuan itu tentunya. Kenyataan ini seolah mempertegas, bahwa kemurnian sang penulis lapangan semakin tergerus oleh banyaknya kepentingan dibalik sebuah tulisan.
Menarik untuk direnungkan. Di era kemerdekaan pers tengah digaung-gaungkan. Faktanya masih ada saja segelintir tuan-tuan yang menjadikan mereka sebagai pemuas nafsu kepentingan semata.Â
Bak pion di tangan sang pecatur handal. Jangan heran bila sebuah karya bisa berubah drastis kapan saja diinginkan.Â
Maka sejatinya jangan pernah bicara kemurnian, bila hanya menjadikan seniman tinta sebagai peluru. Meredupaksa rangkaian kata, hanya untuk menutup kemunafikan. Demi tercapainya hasrat terselubung.Â
Masih cukup relevan sepertinya kata-kata Soe Hoek Gie di era sekarang ini. Maka :
"Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka,"(*)
#Wassalam...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H