Mohon tunggu...
Prana M
Prana M Mohon Tunggu... -

a sweet rebel, perempuan, apa lagi?

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

2 Patah Hati

9 November 2011   14:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:52 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah kau, sesungguhnya... ada dua hati yang patah di ruangan ini?

Hari 1

Perlahan aku duduk di sisinya, sementara dia tak bergeming. Hanya memandang kosong pada ombak yang bergelung ke pantai, buih putih keruh menyapu ujung – ujung kakinya yang termanikur merah rapi sebelum kembali terseret ke laut dalam.

Selalu begitu, memandangi ombak sampai langit merah menjadi hitam. Angin malam mulai tajam menusuk paru paruku yang rapuh berkarat, dan nyamuk mulai berpesta menggigit betisnya yang putih basah dan berpasir.

Tapi aku tahu, dia akan terus diam. Tak beranjak, tak bicara, hampir tak mengedip, bahkan dari jauh seperti tak bernapas. Seperti saat aku melihatnya dari balik kaca rumahku, beberapa jam yang lalu.

Disitu lagi dia... pikirku saat itu. Perempuan itu termenung di pasir seperti onggokan rumput laut yang mati, kusut masai dan jujur setengah hatiku ingin ombak besar menggulung tubuh mungilnya pergi, jadi aku tak perlu terbebani untuk perduli. Boleh saja kalau mau berkomentar aku ini tak punya hati, tapi kurasa laki laki paling sabar pun akan naik pitam bila hal ini terjadi berulang kali.

Ya begitulah... Setiap tahunnya aku selalu menemukannya duduk diatas karang tak perduli hujan ataupun air pasang, dalam kurun waktu 6 tahun ini, dari saat pertama aku menempati rumah pinggir pantai ini, yang kubeli karena kuingin menyepi. Ironisnya yang kudapatkan bukan pencerahan atau menghasilkan karya spektakuler dari otakku yang buntu ini aku malah sibuk mengurusi dia, si peri patah hati.

Namanya Kay, mungkin kependekan dari Katherine, atau Katerina. Aku bahkan tidak yakin bagaimana menulisnya, bisa Kay, Key atau hanya K? Entahlah, hanya itu yang dia sebut dulu saat pertama kali terdampar di pantai depan rumahku. Tubuhnya mungil dan ringan, sehingga mudah saja aku membopongnya saat malam jadi terlalu gelap dan aku sudah tidak tahan dengan diamnya yang begitu membatu.

Seperti sekarang, dengan tulangku yang mulai menua ternyata masih mudah saja aku mengangkat tubuhnya, dan juga seperti dulu, dia tidak pernah berontak atau pun menolak. Sepertinya memang itu yang dia harapkan, aku tak terlalu perduli, yang penting aku tak mau menghabiskan malamku dengan masuk angin.

“Siapa dia kali ini?” tanyaku dari dapur dengan suara keras sembari menyeduh dua cangkir coklat hangat yang kusiapkan beserta semangkuk penuh marshmallow yang aku tahu akan tandas olehnya. Bibirnya sedikit membiru, campuran masuk angin dan kedinginan berat jadi aku ragu apakah dia mampu menjawab pertanyaanku. Sama seperti aku, semestinya Kay pun mulai menua walau aku tak pernah bisa menebak berapa usianya. Mungkin sekitar awal 30an, tapi itu tebakanku 6 tahun yang lalu. Ternyata 6 patah hati tidak meluruhkan binar kecantikannya.

Kay masih sama, dengan rambut ikal sepunggung, tulang pipi tinggi, sedikit kerutan di ujung tarikan senyumnya dan kerlingan cahaya di mata sipitnya. Sementara rambutku mulai memutih, dan kulitku mulai sedikit kendor. Di perutku mulai muncul lipatan daging yang bahkan 100 sit up setiap pagi tak mampu meratakannya. Ada cahaya yang begitu menghanyutkan di mata Kay, seperti menyimpan misteri, pandangan mata yang walau menuju ke arahmu namun sewaktu – waktu seperti melantur ke negeri jauh. Mungkin cahaya itu yang membuatnya selalu tampak muda, seperti waktu terkunci abadi, melewati perempuan ini namun tak menggerusnya.

Mungkin dia lelembut pantai, atau peri yang datang mengganggu anak Adam yang banyak berdosa seperti aku.

Tapi apa Peri bisa patah hati?

Karena Kay hanya datang bila patah hati, untuk yang satu ini aku yakin dia tidak menipuku.

Dia akan tetap diam, bergelung di sofa ruang tamuku dan bersembunyi dibalik bantalan sofa raksasa hampir sebesar tubuhnya. Mencelupkan marshmallow ke coklat panasnya sampai tandas pun tetap membisu, sementara biasanya aku akan mulai bermonolog sambil duduk disampingnya tentang “how to heal a broken heart” atau topik garing apa pun yang mampir ke otakku hanya karena tak tahan dengan diamnya.

Aku tinggal menunggu... karena sesudah coklatnya habis maka habis pula diamnya. Kay akan menaruh cangkirnya dan perlahan berbalik memelukku, menyandarkan kepalanya di dadaku dan mulai bercerita tentang patah hatinya. Maka aku akan tahu seperti apa lelaki itu, kisah bahagia mereka tanpa pernah tahu mengapa kisah cinta mereka berakhir. Cerita Kay tak pernah sepanjang itu, selalu menggantung. Lalu sebelum usai berkisah dia akan menatapku, berharap aku mampu menebak akhir kisah tragisnya. Aku tak pernah tahu, maka aku diam.

Semalam itu dadaku akan basah oleh air matanya, yang tak berhenti sampai dia tertidur kelelahan. Sementara aku hanya bisu, membiarkan dadaku hangat oleh tangis dan tubuhnya, menahan gejolak laki-lakiku untuk lebih jauh merengkuhnya. Lalu tubuhku akan kaku, membiarkannya tertidur di dadaku, sebelum kurebahkan tubuh mungilnya di sofa. Diantara tumpukan bantal besar itu dia terlihat begitu rapuh, tanpa kerlingan sinar matanya kini aku mampu melihat kerutan samar wajahnya yang menua.

Lalu aku akan masuk ke kamarku yang dingin, menunggu pagi memikirkan Kay yang patah hati, jepretan gambar lelaki dalam kisah cintanya, otakku yang berkarat dan buntu, bahuku yang letih dan mengapa wangi rambut Kay selalu membuat dadaku perih.

Hari 2

Seseorang menarik korden dengan keras, menimbulkan suara yang memekakkan telinga, penuh dengan kesengajaan. Kubenamkan kepalaku dibalik tumpukan bantal, berusaha meredam ngilunya suara decitan dan cahaya pagi yang menyeruak tajam.

Namun tangan mungil Kay menyentakkan bantal bantal disekelilingku, tak mengindahkan gerutu maupun protesku. Dibuangnya semua bantal dan selimut ke lantai, hingga akhirnya aku menyerah kalah dan bangkit mengikutinya menuju ke dapur, dimana bau scrambled egg dan sosis menguar keseluruh sudut dapurku.

Kuteguk kopi panas yang disodorkannya sembari duduk bersandar pada bar, berusaha membuka mata dan mengumpulkan kesadaran yang sepertinya tercerai berai diamuk perasaanku yang tak tentu semalam.

Seperti yang selalu terjadi setiap kali wanita ini datang, aku akan menghabiskan malamku dengan jantung berdebar yang membuat hatiku ngilu. Maka mataku akan nyalang, sementara otakku memutar setiap episode patah hati Kay, sungguh sebenarnya aku mendendam padanya. Cerita pilu Kay, tangisannya dan kemunculannya yang tiba – tiba selalu menguras energiku, membuat otakku buntu bahkan untuk berbulan – bulan setelah dia pergi.

Namun belum sempat aku menuntaskan sungutan dalam hatiku, menyalahkannya atas semua kemalangan hidupku, tiba – tiba aku tersadar. Kay sedang berdiri menatapku, berdiri dengan cangkir kopi yang diatupkan di kedua tangannya, kepalanya meneleng ke kiri, matanya berkerling nakal, dan bibirnya mengulum senyum, seperti berusaha menahan tawa. Mata sipit dan senyumnya yang hangat begitu kontras dengan dapur abu – abu putihku yang dingin dan beku seperti moodku pagi ini.

Tubuhnya yang mungil berbalut kaos belelku yang menggantung sampai ke lutut, yang tentunya diambilnya dari lemariku tanpa ijin. Lemari yang dibukanya saat menyelinap ke kamar tidurku saat ku pulas, kemungkinan besar dengan air liur yang membasahi bantalku. Pikiran itu membuatku gusar.

“Apa yang lucu?” hardikku tajam. Semakin gusar karena Kay seperti tidak terpengaruh oleh hardikanku. Dengan santai dia melenggang mendekatiku, dengan ekspresi wajah menahan geli. Aku masih bersungut gusar, namun tak bisa lepas mengikuti geraknya. Dengan santai dia berdiri dekat lututku, menaruh kopinya perlahan, lalu mengambil cangkir kopi dari tanganku dan menaruhnya kedua cangkir itu berdampingan. Gerakan yang begitu santai dan biasa, namun menyihirku sehingga aku bahkan lupa akan kejengkelanku.

Nafasku terhenti sejenak saat dia merapatkan wajah mungilnya sangat dekat pada wajahku. Dikatupkan tangannya pada kedua belah pipiku, memaksaku untuk menatap mata sipitnya yang menyelidik.

“Kamu terlihat patah hati...” gumamnya setelah beberapa saat hanya diam memandangiku.

“Huh?” aku gelagapan mendengar pertanyaannya yang tak terduga.

“Kamu...” ulangnya lagi, “sedang patah hati?”

Aku yang tadinya gelagapan dipegangi wajahnya begitu dekat menjadi jengkel tak ketulungan. Kecil – kecil tapi begitu mengganggu perempuan yang satu ini. Dengan gusar kujauhkan wajahku dari katupan tangannya dan buru – buru meraih cangkir kopiku, meneguknya dengan gerakan ekstra pelan, agar terhindar dari tatapan matanya yang seperti ingin menelanjangiku.

Perempuan ini diam menunggu kopiku habis, sementara dadaku berdegup dan otakku semakin lamban berpikir. Selalu begini. Setiap berada didekatnya aku merasa seperti invalid, lumpuh fisik maupun mental, dan aku benci itu.

“Atau kamu memikirkan patah hatiku?” gumamnya lirih, entah bertanya atau hanya bicara pada dirinya sendiri.

Aku hanya diam tak menjawab. Senjata ampuh untuk mengakhiri percakapan dengannya adalah diam dan mengambil surat kabarku, lalu membentangkannya dengan lebar di depanku, sehingga aku tak perlu lagi melihat wajah mungil menjengkelkannya itu.

Aku terus berpura – pura membaca, bahkan saat aku menangkap gumaman lirihnya yang mengejutkan.

“Bram sayang... Aku mencintaimu.”

Aku berhenti membaca. Tetap beku dengan surat kabar membentang menghalangi kami. Sekuat hati aku menahan keinginanku untuk melihat wajahnya, namun aku tahu kata – kata Kay tadi tak lebih dari khayalanku semata. Hmmm... aku mulai semakin gila, pikirku jengkel. Kehilangan tidur, cerita pilunya, amarah terpendamku yang membakar sudah melesatkan level sintingku dari “medium to advance madness” pikirku sedih.

Aku tahu untuk dapat kembali berpikir waras aku harus menjauhinya, maka aku tetap diam. Hanya perlahan bangkit dan menepuk pundaknya lembut sebelum berjalan kembali masuk ke kamarku, menguncinya agar dia tak bisa mengganggu tidurku.

Kututup semua korden kamar, membuatnya menjadi gelap seperti malam. Ah... begini lebih baik, desahku lega. Tanpa pengakuan halusinasi Kay, curahan patah hatinya, kerling sipitnya yang menyudutkan, kopi panasnya yang memabukkan, dan wangi rambutnya yang membuat dadaku sesak. Aku tak akan keluar kamar sebelum dia pergi, putusku sambil tak lupa menelan beberapa butir pil tidur lalu bersembunyi dibalik bantal dan selimut tebalku.

Hari ke -5

Perlahan aku membuka pintu kamarku. Hanya ada putih yang begitu menyilaukan, juga deburan ombak yang buih putihnya memercik dari balik kaca besar ruang tamuku. Sofa abu – abu dengan bantalan putih yang sudutnya rapi tak bercela. Bau karbol menyengat hidungku, tajam namun memberikan kesan yang familiar namun menyedihkan.

Dia sudah pergi. Ruangan ini kembali sunyi.

Tapi anehnya... dengan gusar aku menyadari sesuatu.

Masih ada hati yang patah di ruangan ini.

Tapi hati siapa?

Kay’s Diary

Bram masih belum mampu mengingatku.

Bahkan saat aku bercerita tentang kenangan – kenangan kami dahulu, tak ada reaksi apa pun yang menunjukkan bahwa dia pernah ada dalam situasi yang sama.

Namun aku yakin hatinya tahu, bahwa dia mencintaiku. Siapa pun aku, betapa pun asingnya keberadaanku di dekatnya. Aku yakin itu...

Dia mengurung diri di kamar begitu lama, kembali memaksaku untuk menjauhi lingkaran nyaman semunya.

Namun aku akan menunggu, dengan patah hatiku.

Menunggu hatinya yang juga patah itu mengenaliku.



Jangan khawatir Bram,

aku mencintaimu,



selalu.



Your wife - Kayna

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun