Pemakzulan atau Impeachment yang biasa disandingkan dengan maksud pemberhentian jabatan berupa kekuasaan, melabuhkan dirinya pada pihak yang terikat dengan penyelewengan kekuasaan.Â
Demokrasi mensyaratkan kesejahteraan rakyat ditentukan pada kekuasaan dengan imajinasi yang senada dengan rakyat, diluar daripada itu, tidak sedikit pun merepresentasikan kekuasaaan yang didefinisikan rakyat.
Sebelum masuk pada substansi, Penulis mengawali dengan memutar balikkan pola analisa, jika diluar sana dinyatakan bahwa Pemakzulan Trump akan berakibat luas pada gejolak ekonomi global, justru penulis memandang, karena gejolak ekonomi global lah yang memberikan dampak pada pemakzulan Trump!
Perang dagang dimulai dengan keputusan Donald Trump pada 22 Maret 2018 yang memberlakukan bea masuk sebesar US$50 miliar untuk barang-barang Tiongkok di bawah Pasal 301 UU Amerika Serikat Tahun 1974 tentang Perdagangan dan disambut oleh pemerintah Tiongkok yang juga menerapkan bea masuk untuk lebih dari 128 produk AS, terutama kedelai yang menjadi ekspor utama AS ke Tiongkok.Â
Pemboikotan, pembatasan, bahkan pelarangan menjadi program yang dikedepankan oleh kedua belah pihak untuk dapat saling mengkerdilkan, keduanya menebar benih doktrinasi bahwa legalitas kepastian ekonomi hadir menjadi kapasitas negaranya. Melebarkan sayap pada negara-negara yang dapat beraliansi, dan bersaing untuk menjadi global player.
Pertumbuhan ekonomi China yang mencapai 6,5 % yang dilansir oleh CNBC Indonesia (19/10/18) menghantarkan China sebagai pesaing utama amerika serikat, yang menyebabkan memanasnya perang dagang dan membawa dunia pada penurunan pertumbuhan ekonomi global yang hanya mampu mencapai 3% di 2019 dari tahun sebelumnya 3,6%, berdasar data world bank.
Perang dagang yang berkepanjangan, menuntut kedua negara untuk saling mempertaruhkan akurasi kebijakan dan kekuatan menarik garis peluang dalam konstelasi yang dunia tawarkan. Bahwa fakta keduanya saling dipertaruhkan dalam percaturan ekonomi global, disisi lain friksi keduanya pun secara signifikan berkembang mendestruktif stabilitas ekonomi negaranya.
Stabilitas Ekonomi global yang didongengkan dengan adanya perdamaian fase 1 yang sedang diisukan, mengharap perspektif dunia ikut mengafirmasi, jangankan fase 2 yang dikabarkan akan segera dibangun, fakta nya perjanjian fase 1 pun baru sampai deal prinsip, sementara naskah dan point tuntutan masih direvisi!
Oke bahwa ada mutualism dengan kontrak china US$ 200 M pada barang dan jasa, US$ 32 M di pertanian untuk 2 tahun kedepan dengan amerika, tapi dilain sisi, bea masuk 25% atas US$ 250 M impor china dan 7,5 % atas US$ 120 M itu masih kau pertahankan ! sumbu panas perseteruan masih mengikat perdamaian, dimana asas clear nya?Â
Perselingkuhan apalagi yang akan dibangun diluar kacamata publik? Perdamaian dengan versi siapa yang akan dikedepankan? Toh pada nyatanya tidak menggeser sekian inci pun perspektif dunia untuk tetap wait and see.
McCarthyism berupa praktik tuduhan subversi atau pengkhianatan tanpa memperhatikan bukti secara masif dilemparkan oleh Amerika pada negara-negara yang menjadi rivalnya, terlebih kepada China yang menjadi pesaing kuatnya, dan semua itu justru berbalik merongrong kedaulatan stabilitas politiknya, dimulai dari mundurnya penasihat ekonomi AS Gary Cohn yang menentang dan memprotes kebijakan trump terkait penetapan tarif tinggi untuk impor baja dan alumunium.
Kemudian John Kelly kepala staff kepresidenan AS yang tidak sepakat dalam banyak kebijakannya, Jimm Matis menteri pertahanan AS yang berbeda pandangan dalam ambiguitas AS menghadapi China dan Rusia.
Ditengah semua keretakan internal kabinet trump, China justru menggandeng negara-negara Asia untuk menjalin kesepakatan perjanjian perdagangan terbesar di dunia yang disebut Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) yang dimaksudkan untuk menyumbang 30 persen dari PDB global dan mencakup setengah dari penduduk dunia.Â
Dengan semua kontra perspektif itu trump justru mengklaim itu semua adalah produk "deep state" (pemerintah bayangan) yang ingin menjegal kekuasaannya. Padahal pengamat geopolitik George Friedman dalam artikel di Huntington Post mengatakan bahwa semua itu adalah upaya dari pemerintahan yang stabil dalam membatasi kesewenangan kekuasaan presidennya.
Ketidakjelasan integritas dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan trump menyeret dunia pada mosi tidak percaya atas setiap kesepakatan dan perjanjian yang dibentuknya.Â
Bahkan berujung pada tindakan "abuse of power" penyalahgunaan kekuasaan yang dipilihnya untuk memperkuat kedudukannya sebagai pemegang otoritas negara adidaya itu, kekhawatiran atas pemilu 2020 yang mengkerdilkan posisinya dengan isu perang dagang yang berdampak pada ekonomi global.
Ketegangan Amerika dengan Korea Utara yang tak kunjung mencapai kesepakatan, sampai dengan isu kuatnya treck record Joe Biden pesaingnya di pemilu 2020 yang berujung pada penekanan Trump terhadap presiden Ukraina Zelensky dengan imbalan bantuan dana sebesar US$ 400 juta atau Rp 5,6 triliun untuk membongkar skandal ekonomi yang dilakukan Hunter Biden yang merupakan putra Joe Biden. Fakta bahwa sekitar 45% rakyat AS ingin Trump lengser, CNBC News (01/10/19) kembali mengkerdilkan posisinya.Â
Inikah yang dinamakan kebijakan yang mengeksploitasi kepercayaan dan berujung pada gelombang kehancuran? Dan benarkah Inkonsisten yang memutar balik legitimasi kejayaan menjadi legitimasi kesengsaraan?
Impeachment atau pemakzulan yang ditetapkan oleh House of Representative (HOR) atau DPR AS atas tuntutan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) dan Obstruction of congress (menghalangi kongres dalam proses penyidikan) menjadi akibat atas semua kebijakan yang inkonsisten berubah sejauh otak presiden dapat menempuh itu, dengan sistem politik dua kamar (bikameral) AS.
Pemakzulan Trump saat ini bergantung pada keadilan kaca mata senat, walau narasi tidak percaya sudah sejak awal muncul dipermukaan karena posisi Partai Republik yang mendominasi senat AS akan menjadi Ratu adil bagi Trump yang lahir dari rahimnya, muncul dengan keadilan yang didefinisikannya, tentu hanya berpihak pada kepentingannya.
Rakyat Memang Bukan Sarjana Konstitusional Tapi Rakyat Paham Mana yang Rasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H