Mohon tunggu...
PRAMUDYA RIZKI SETYAWAN
PRAMUDYA RIZKI SETYAWAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - pramudya_heyfaa

Mahasiswa STKIP PGRI TRENGGALEK

Selanjutnya

Tutup

Diary

Buah Semangka di Gaza

11 November 2023   00:00 Diperbarui: 11 November 2023   00:07 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulanya sang ayah hendak keluar mengambil sepeda kesayangan anaknya, sepeda yang kumuh meski masih bisa dipakai anaknya untuk bermain-main. Hari itu adalah hari pertama perang kembali dimulai, dan nyata, seketika keluar rumah nyawanya tak terselamatkan oleh lemparan bom fosfor dari udara. Fatal bagi ayah dan sang anak.

Tidak ada sang paman diluar rumah, namun patut diduga pamannya itu sedang berada diluar rumah dan siap untuk berperang. Anak yang berumur 8 tahun itu menangis histeris, dilihatnya dengan nyata pemandangan ayahnya meninggal dunia.

“ayahh…,” suara Isacc, sang anak kecil itu memanggil-manggil ayahnya dalam bahasa Arab. Namun suaranya tersendak.

Kabut putih yang menyelimuti rumahnya bukan simbolisasi kebaikan sebagaimana dilihatnya dari film-film, ia bukan simbol malaikat, nampak kabut itu telah menerjang jiwanya dengan sangat tajam dan jahat. Beberapa menit kemudian, pamannya kembali sambil menggendong keponakannya dari luar rumah.

Lalu, di belakang rumah mayat ayahnya itu dikuburkan dengan sederhana. Kemudian sang anak kecil diberi makan semangka secukupnya, disembuyikan di sebuah Bunker bersama anak-anak yang telah lebih dewasa lainnya. Barulah selepas itu, pamannya keluar rumah melanjutkan perang.

Ini adalah satu kisah dari seribu satu macam riwayat kekejaman Israel di Palestina. Nestapa demikian sangat dirasakan oleh relawan yang datang, khususnya bagi yang menangani anak yatim-piatu yang ditinggal ibu dan ayahnya di medan perang.

Tentu para relawan itu menolong dengan penuh rasa kasih dan sabar, beberapa bayi tidak cukup mudah menyusu kecuali kepada ibu kandungnya sendiri. Pada mulanya sang bayi akan menangis dalam waktu yang cukup lama, lalu terdiam. Baru kemudian diberi susu sambung serta sepotong semangka dan lalu menangis lagi, begitu seterusnya hingga sang bayi rela meminum susu meski bukan dari ibu kandungnya sendiri.

Dalam pengamatan dan pengalaman pilu demikian, tidak jarang beberapa relawan memutuskan untuk mengadopsi anak dan membawanya ke negara masing-masing. Yang lain dirawat oleh relawan lainnya sebelum pemerintah Palestina mengambil alih nasib sang anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun