Kasus korupsi sudah bukan hal yang asing lagi untuk didengar atau dibicarakan oleh masyarakat. Perbuatan korupsi seharusnya menjadi hal yang tabu untuk dilakukan. Tetapi maraknya kasus korupsi yang merajalela membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang lumrah dan bahkan banyak orang yang mulai menormalisasikan perbuatan tersebut. Mulai dari kalangan pejabat negara, pegawai negeri, masyarakat biasa, semua dapat melakukan tindakan korupsi. Tetapi perbuatan tersebut tidak sepantasnya kita banggakan.
Khususnya negara yang kita diami saat ini. Negara Indonesia, negara dengan maraknya kasus korupsi yang sering sekali kita dengar baik di media cetak maupun media digital. Dilansir dari detik.com, diketahui bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara paling korup se Asia Tenggara. Dengan menduduki peringkat dunia ke-65. Asosiasi Global yang melawan Transparency International memberikan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dengan skala 0 (sangat korup) dan 100 (sangat bersih). Berdasarkan skala tersebut Indonesia mendapatkan skor CPI 34.
Jika dilihat dari statistik kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) kasus korupsi di Indonesia meningkat secara signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (kompas.co). Berikut merupakan data pemantauan ICW terkait jumlah kasus korupsi 5 tahun ke belakang :
Tahun 2019 : 271 kasus dan 580 tersangka
Tahun 2020 : 444 kasus dan 875 tersangka
Tahun 2021 : 533 kasus dan 1.173 tersangka
Tahun 2022 : 579 kasus dan 1.396 tersangka
Tahun 2023 : 791 kasus dan 1.695 tersangka
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia masih kurang melek perihal hukum dan keadilan. Ketika para pelaku korupsi dibiarkan begitu saja tanpa diadili sesuai hukum yang ada selamanya Indonesia akan menjadi negara yang rugi. Korupsi akan terus berkembang sampai sistem peradilan dapat menghukum pelaku kejahatan dan menjaga pemerintah tetap terkendali. Ketika keadilan dibeli atau diintervensi secara politik, rakyatlah yang menderita. Para pemimpin harus berinvestasi penuh dan menjamin independensi lembaga-lembaga yang menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Sudah saatnya mengakhiri impunitas korupsi," kata Franois Valerian, Ketua Transparansi Internasional (kompas.com).
Di samping itu, ada hal yang harus diingat bahwa setiap perbuatan pasti ada faktor yang mempengaruhinya. Menurut Ibnu Khaldun, seorang sejarawan asal Tunisia menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan seseorang melakukakan korupsi adalah hawa nafsu. Jika terdapat dalam suatu kelompok memiliki hasrat untuk hidup bermewah-mewah, maka untuk menutupi pengeluaran yang bermewah-mewah tersebut terjadilah tindakan korupsi (aclc.kpk.go.id)
Faktor tindakan korupsi juga dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu pressure (tekanan), opportunity (kesempatan), dan rasionalization (rasionalisasi). Tiga faktor tersebut di sebut dengan Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle Theory) yang dikemukakan oleh Donald R. Cressey. Teori tersbut ia simpulkan ketika ia mewawancarai 250 orang terpidana korupsi (dipb.kemekeu.go.id).
Pressure (tekanan), faktor pertama ini bisa merupakan trigger awal dalam melakukan korupsi. Tetapi faktor ini tidak harus benar-benar ada. Ketika sesorang sudah berpikir bahwa dia dalam keadaan tertekan atau sudah tergiur akan nikmatnya perbuatan yang dia lakukan, maka faktor ini sudah terpenuhi.
Opportunity (kesempatan), suatu perbuatan kejahatan akan terjadi jika ada kesempatan. Sama halnya dengan korupsi. Hal yang sering terjadi adalah lemahnya sistem pengawasan, yang membuat sesorang dapat terjerumus korupsi.
Rasionalization (rasionalisasi), faktor ini selalu berkaitan dengan alasan para pelaku korupsi. Faktor rasionalisasi ini setidaknya untuk mengurangi rasa bersalah para pelaku. Contohnya, "perusahaan selalu mendapatkan project-project besar dan pemasukannya pun juga besar, tetapi kami tidak mendapatkan upah yang layak dan selalu bekerja di bawah tekanan."
Dari beberapa faktor yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa tindakan korupsi bukan hanya dapat dilakukan oleh para pemegang kekuasaan. Korupsi juga dapat terjadi di lingkungan masyarakat atau bahkan lingkungan sekolah. Tanpa kita sadari, dengan banyaknya kasus korupsi yang kita lihat di berbagai media yang beredar dapat berpengaruh terhadap perilaku korupsi dini. Hal ini disebabkan oleh sekolah yang melakukan tindakan korupsi dan tidak memberi pendidikan anti korupsi kepada siswa dan siswinya.
Seperti kasus yang pernah terjadi di sekolah di daerah Sidoarjo, Jawa Timur. Dilansir dari javawatchindonesia.co.id, pada hari Senin 15, Juli 2024 JCW melayangkan surat somasi ke SMAN 2 Sidoarjo atas dugaan penyimapangan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tahun 2023 dan indikasi tarikan siluman sebesar Rp 415.000,00 oleh oknum SMAN 2 Sidoarjo yang kemudian dilaporkan ke Kejaksaan Negeri Sidoarjo.
Setelah itu ada pula kasus yang serupa terkait korupsi di SMPN 2 Krian yang ternyata juga menyalahgunakan fungsi dana BOS. Dilansir dari transnews.co.id, menginformasikan bahwa indikasi adanya pennyimpangan dana BOS, ketika para guru menanyakan rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dana BOS selalu disembunyikan. Lalu suatu ketika ada vendor yang menagih ke sekolah, bahwa sekolah masih punya hutang sekitar Rp 700 juta.
Selanjutnya dilansir dari bukti.id juga terdapat kasus di SDN 2 Sidokare yang diduga terdapat tindakan korupsi, secara spesifik yakni pungutan liar (pungli). Dengan dalihnya, tarikan iuran bulanan sebesar Rp 10.000,00 dengan menggunakan istilah "Kartu Iuran Paguyuban SMAN 2 Sidoarjo". Penarikan pungli tersebut ternyata sudah berjalan 5 tahun lamanya sejak tahun 2019.
Tercemarnya dunia pendidikan karena kasus korupsi yang telah menodainya. Hal tersebut patut dijadikan persoalan yang mengkhawatirkan. Dengan semakin banyaknya kasus, semakin banyaknya juga kerugian negara,dan semakin suram pula layanan pendidikan yang seharusnya menjadi pelatihan dasar dalam pendidikan karakter dan sikap seseorang. Oleh karena itu pentingnya kita mempelajari dan menerapkan pendidikan anti korupsi sejak dini terutama di lingkungan sekolah. Contohnya, melatih siswa untuk bersifat jujur melalui kantin kejujuran, mengoreksi sendiri tugas atau latihan yang diberikan oleh guru, memberikan fasilitas ektrakurikuler yang memadai bagi siswa, mengadakan sosialisasi tentang pendidikan anti korupsi dengan tujuan untuk membentuk karakter yang jujur dan anti korupsi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H