"Tahukah engkau semboyanku? 'Aku mau!' Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung."Â ~ RA Kartini ~
Dan Kartini di dunia nyata itu adalah Rr Siti Hidayati. Sosok wanita tangguh yang melahirkan lima anak. Kami semua memang berlima, terdiri dari empat laki-laki dan satu perempuan. Sayang adik perempuanku meninggal di usia kisaran 2 tahun. Â
Sosok wanita tangguh ini pula yang mengajari kami tidak mengenal kata : "Tidak bisa!"
Sejak memutuskan keluar, meninggalkan segala kemewahan di rumah Jl Praban III no 1 Surabaya itu. Segala daya upaya dilakukan bunda untuk menopang ekonomi keluarga, menjadi pilar kedua di samping bapak yang pegawai di Kota Madya Surabaya.
Â
Sebagai lulusan SGTK, ibu tak punya ilmu bisnis, dagang. Tetapi di tahun 1970an, ketika kami tinggal di rumah Dukuh Kupang, ibu sudah menjajal peluang di bisnis kuliner. Bikin asinan. Hampir setiap hari, sebelum Subuh aku selalu diajak ke Pasar Keputran kulakan bahan untuk asinan ini. Buah mangga dan lain-lainnya.
Sampai di rumah, aku yang masih SD menjelang SMP waktu itu, dilibatkan dalam proses pembuatan asinan ini. Setelah dibungkus plastik lalu dikemas per-paket yang kemudian disetor ke kantin-kantin sekolah di kawasan Dukuh Kupang.
Tak bertahan lama. Ibu lalu menjajal peluang di dunia rias pengantin. Sempat ikut kursus untuk menambah ilmu rias pengantinnya. Di kegiatan ini, aku kembali dilibatkan. Kembali ke Pasar Keputran. Kali ini beli bahan-bahan untuk keperluan pengantin, seperti janur, dan beragam keperluan pelengkap prosesi pengantin lainnya.
Ibu juga sempat bikin kursus 'online', memberi pelajaran rias pengantin jarak jauh.
Juga tak bertahan lama. Ibu kemudian beralih buka TK di rumah. Memanfaatkan teras rumah untuk mengajar anak-anak di sekitar rumah.
Usaha ini terus berkembang. Saat kami pindah ke rumah di Jl Kupang Jaya (kompleks perumahan Ngesong), ibu awalnya menyewa sebuah rumah tipe kecil untuk melanjutkan usaha pendidikan ini. Alhamdulillah, terus berkembang hingga membeli sebuah lahan kosong dan dibangun area sekolah TK hingga SD di bawah Yayasan Tut Wuri Handayani.
Dari awalnya murid hanya belasan, lalu berkembang hingga puluhan dan bahkan ratusan.
Semua itu berkat dua kata yang selalu diucapkan ibu setiap mendapatkan 'tantangan' : "Harus Bisa!"
Ibu selalu menghadapi setiap permasalahan dengan kacamata keyakinan: Asal kita mau, pasti bisa.
Keyakinan ibu lainnya bertolak dari falsafah Jawa: 'Ilmu katon'. Jadi apa pun masalahnya, asal mau belajar, pasti bisa menghadapi, menjalani, dan bahkan menyelesaikannya.
Yang juga perlu digarisbawahi dan dikasih warna stabillo: Semua usaha yg dilakukan emake ini sama sekali lepas dari campur tangan bapak!
Ibu murni menjalani semuanya sendiri. Paling tidak, hanya dibantu kami, anak-anaknya dalam operasionalnya. Tetapi soal permodalan, dan berinteraksi dengan aparat untuk pengajuan izin-izin itu, murni ibu yang menyelesaikannya.
Â
Tidak mudah? Memang. Saya tahu betul bahwa di setiap usaha yang dijalani bunda selalu ada tantangan yang tidak mudah. Menghadapi persaingan usaha. Intrik-intrik pesaing dan banyak tantangan lain. Di antaranya tentu berkaitan dengan finansial. Permodalan, baik untuk merintis maupun mengembangkan usaha.
Â
Tetapi, benar seperti yang diucapkan Kartini: "Kata 'Aku tiada dapat!' melenyapkan rasa berani. Kalimat 'Aku mau!' membuat kita mudah mendaki puncak gunung."
Di dunia nyata dalam perjalanan kehidupan yang diajarkan bunda, kalimat itu pula yang selalu ditekankan pada kami. Semua tantangan kehidupan ini mampu dihadapi sendiri oleh emake dengan segala keberaniannya.
Semangat itu pula yg kini tertanam dalam diriku. Selalu optimistis menghadapi segala ujian kehidupan. Apa pun tantangannya: "Pasti bisa! Asal kita mau!"