MEMORI : JUNI 2007
-Â Ini bukan kisah baru. Musibah yang menimpaku ini --yang terjadi 16 tahun silam---pernah kutulis di aplikasi blogspot. Kini kutulis ulang di sini, untuk pengingat bagi siapa pun --terutama keluarga dan teman-teman dekatku---dalam kondisi apa pun jangan lupa tetap bersyukur.-Â
Masih di hari keenam bulan Juni 2007....[pukul 3 lebih 20an menit]
Untungnya, adikku kemudian datang. Dia segera memberesi administrasi untuk pendaftaran UGD dan juga untuk keperluan rontgen. Begitu lunas, petugas UGD dengan sigap langsung mendorong tempat tidurku menuju ruang rontgen.
Saat itu kulihat beberapa teman kantor juga sudah mulai berdatangan. Ada Koko, Pak Ruru, Pak Hari Erwanto (bagian PSDM), Ravi, dan beberapa lagi yang tak sempat kuingat. Mereka mengantar sampai depan pintu ruang rontgen.
[Hari itu rupanya jadi 'Hari Naas' buat kantorku. Sebab, ternyata selain aku masih menyusul beberapa karyawan mendapat musibah juga. Pak Hari yang buru-buru menyusulku ke RS Adi Husada kendaraannya selip tak jauh dari lokasi rumah sakit. Yang lainnya, ada karyawan baru di bagian lay out terkena jeratan benang layang-layang sehingga menderita luka serius.
Sehari sebelum kecelakaan yang menimpaku, Dwi Pramesti, juga mendapat kecelakaan di Jl Jemursari sehingga harus dirawat di rumah sakit. Meski tak sampai harus pasang pen seperti aku, cewek seksi yang biasa disapa Ame ini malah menjalani perawatan lebih lama dariku. Karena ketika aku sudah masuk kantor, Ame masih belum kelihatan.]
Sekitar lima menit kemudian aku didorong kembali ke ruang UGD. Saat itu kulihat dua orang petugas kepolisian yang katanya dari Polwiltabes Surabaya melengkapi catatan mereka terkait kecelakaan yang menimpaku.
Sambil meminta data ke petugas UGD, petugas yang aku lupa pangkat dan namanya itu bercerita bahwa kasus yang menimpaku bukan yang pertama kali.
Sebelumnya juga terjadi kecelakaan yang sama, seorang pengendara sepeda motor jatuh gara-gara kena sodok 'bola liar' yang dimainkan anak-anak kampung Urip Sumoharjo di kawasan rusun itu. "Sampean masih untung, Mas. Yang dulu itu korbannya meninggal karena kepalanya terbentur trotoar!" beber sang petugas kepadaku yang cuma bisa mengangguk-angguk.
Dalam benakku lalu terbersit pertanyaan, kalau memang ini bukan yang pertama, dan bahkan sudah menimbulkan korban nyawa, kenapa masih berulang? Kenapa tidak ada teguran ke masyarakat setempat, khususnya para remaja agar tidak main bola sembarangan sehingga merugikan orang lain?
Ah, aku baru ingat kalau nyawa manusia di negara ini memang sangat, sangat murah. Atau bahkan sama sekali tak berharga. Apalah arti nyawa seorang Marsinah, sehingga kasusnya hingga kini tak pernah jelas benar seperti apa. Nasib yang tak jauh berbeda dialami Mbak Suci yang hingga kini juga masih 'keronto-ronto' memperjuangkan penyelesaian misteri kematian sang suami, Munir.
Wah, kenapa sampai jauh ke soal Marsinah dan Munir. Apa pula yang bakal terjadi jika tadi --misalnya---aku tak terselamatkan, dan --masya Allah---meninggal ! Bagaimana dengan keluargaku ? Apakah dapat perhatian yang memadai dari kantorku? Atau sekadar ucapan bela sungkawa?!
Aku mendadak tersadar dari lamunan, ketika petugas rontgen datang membawa hasil foto tubuh bagian dalam diriku. Begitu ditempel di monitor, terlihat jelas di bagian kiri atas ada tulang yang kalau utuh panjangnya sekitar 10 cm. Tulang yang dalam istilah medis disebut clavicula itu patah di bagian tengah dengan menimbulkan sepihan kecil.
Keputusannya aku harus menjalani operasi penyambungan tulang tersebut. Masalahnya dimana? Kalau harus dilakukan di rumah sakit itu, berarti keluargaku harus bolak-balik Surabaya-Sidoarjo.
Dengan pertimbangan operasi pasti memakan waktu lama, dan untuk memudahkan keluargaku nanti jika menjengukku maka aku minta dirujuk ke rumah sakit di Sidoarjo! [to be continued]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H