Setiap libur IdulFitri, 'macet' menjadi trending topic di sejumlah media sosial. Alhamdulillah, tahun ini --kabarnya---berkat 'tol Jokowi' meski masih ada kemacetan di sejumlah titik jalur lalu lintas, namun tidak seheboh tahun-tahun sebelumnya.
Sembari mengikuti sekilas info mudik di beberapa daerah melalui akun medsos, pikiranku melayang ke peristiwa yang sudah berpuluh tahun silam. Aku lupa persisnya. Mungkin sekitar 48-50 tahun lalu. Ketika aku masih TK atau setidaknya sekolah dasar kelas 1-2. Itulah masa-masa aku benar-benar menikmati mudik.
Setiap mudik, kami lebih sering bertiga, aku, adikku yang pertama, Yoyok, dan ibu. Bapak --yang memang asli Surabaya, jarang sekali ikutan bersama mudik ke Banyuwangi. Tempat tinggal kakek adalah di sebuah desa di Kecamatan Genteng di Kabupaten Banyuwangi. Aku juga sudah lupa nama desanya. Yang aku masih ingat adalah kereta api menjadi kendaraan favorit kami setiap mudik. Setelah sampai di Stasiun Genteng, lalu pindah naik dokar untuk mencapai tempat tinggal kakek.
Waktu itu, aku betul-betul menikmati perjalanan dari stasiun Genteng hingga rumah kakek. Kanan-kiri masih diwarnai sawah yang membentang. Entah sekarang apa sawah-sawah itu masih ada.
Sesekali dokar berhenti sejenak karena ada iring-iringan bebek melintas jalanan yang kami lalui. Atau ketika ada kerbau yang menyeberang jalan digiring oleh petani menuju sawah.
Jalanan di kampung menuju rumah kakek belum mulus oleh aspal. Seingatku masih berwujud jalanan makadam. Itu pula yang membuat dokar yang kami naiki sering bergoyang selama perjalanan.
Aku tak peduli, sama sekali tak peduli. Karena perhatianku tersita oleh panorama indahnya alam di kampung kakek itu. Maklum 'anak kota saba desa' jadi terpukau oleh pemandangan yang jarang dilihatnya.
Di sisi inilah aku bersyukur, punya ibu yang menjaga tradisi mudik saat Lebaran. Aku dan adikku jadi punya kenangan tentang indahnya alam desa di sebuah wilayah di Banyuwangi. Yang sekarang aku sudah lupa di mana letak desa itu. Begitu sampai tujuan, kakek sudah menanti kehadiran kami di depan rumah. Nenek menyusul keluar dari dalam rumah. Â
Biasanya aku tak tahan lama-lama ngobrol dengan kakek dan nenek. Aktivitas yang selalu aku lakukan setiap berada di rumah kakek adalah bermain di gumuk di belakang rumah kakek. Saudara dan kerabat yang tinggal dekat rumah kakek sering menemani kami bermain di gumuk hingga tengah hari, waktunya makan siang. Setelah istirahat usai makan, sorenya kami ganti main di petak-petak sawah depan rumah kakek.
Saat-saat yang menyenangkan itu sudah lama berlalu. Hanya jadi kenangan masa kecil. Sejak kakek dan nenek meninggal, kami tidak pernah menjenguk desa itu lagi.  Tak ada lagi madumongso khas bikinan nenek yang selalu kurindukan. Madumongso terenak yang selalu jadi oleh-oleh nenek di setiap IdulFitri.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H