Dalam buku lama terbitan tahun 1988 yang berjudul Saving the Tropical Forests yang ditulis oleh Judith Grandwohl dan Russel Greenberg, menyebutkan bahwa hutan tropika selalu terbatas dalam jumlah dan ukurannya, paling tidak dalam kondisi saat ini. Daerah utama hutan tropika basah adalah Amerika Selatan, Afrika dan pulau-pulau besar di Asia Tenggara.Â
Tiga negara hutan tropis- Brasil, Zaire dan Indonesia- mempunyai hampir 50 persen dari hutan tropika dunia yang berdaun lebar dengan tajuk tertutup. Negara-negara ini mempunyai hutan hanya setengah lebih sedikit dari tiga besar negara hutan beriklim sedang, Uni Soviet (sekarang Rusia dan negara pecahan Uni Soviet), Amerika Serikat dan Kanada (580 juta ha versus 1.650 juta ha menurut World Resources , 1986).
Diperkirakan, terdapat 1,6 milliar hektar hutan tropika basah dan lembab sebelum terjadinya penebangan dengan skala besar yang disebabkan oleh manusia. Daerah ini telah susut menjadi 1,1 milliar hektar. Angka-angka ini adalah perkiraan yang didasarkan pada data tahun 1970an; dan tidak ada data yang tepat dan valid berapa banyak luas hutan tropika yang tersisa.Â
Yang jelas dan pasti adalah penebangan hutan sekarang sedang berlangsung pada kecepatan paling tidak satu persen pertahun- diatas dua persen jika daerah di bawah pembalakan selektif dimasukkan angkanya- dan dari ekstrapolasi angka-angka ini, 20 sampai 40 hektar hutan hilang setiap menit.
Pada beberapa negara, situasinya bahkan lebih buruk. Di Pantai Gading dan Nigeria, Afrika Barat misalnya, laju penebangan hutan memcapai setinggi lima sampai enam persen per tahun. Negara-negara  parah lainnya yang hutannya cepat susut adalah El Salvador (3,3 persen), Thailand (2,9 persen) dan Kosta Rika (4,0 persen).
Dalam beberapa negara yang hutan tropikanya luas, seperti Indonesia dan Brasil, dapat ditemukan daerah yang menunjukkan laju penebangan hutan yang eksplosif karena kegiatan pembangunan tertentu. Seperti pada bagian-bagian tertentu di Amazon, di mana laju penebangan hutan tampak mengikuti garis eksponensial dan bukan linier atau lintasan. Situasi ekonomi sebuah negara atau kawasan dapat mempercepat atau memperlambat laju penebangan hutan. Saat ini laju penebangan hutan diseluruh dunia sedang meningkat.
Bagaimana Hutan di Indonesia
Meskipun secara hukum (dejure), Indonesia mempunyai hutan seluas 125,2 juta hektar yang terdiri dari hutan konservasi 27,3 juta ha hektar, hutan lindung 29,5 juta    hektar dan hutan produksi 68,4 juta hektar, namun secara kenyataan dilapangan (de facto) yang masih terdapat tutupan hutannya (forest coverage) diperkirakan tinggal sekitar 70 persen saja atau seluas 107,9 juta hektar.Â
Selama lebih dari tiga dekade di era orde baru (1967-1998),- meski secara sah dan legal- hutan tropika basah di Indonesia dieksplotasi secara besar-besaran sebagai modal utama pembangunan setalah minyak bumi melalui mekanisme konsesi hutan alam berupa hak pengusahaan oleh perusahaan asing dan dalam negeri berupa HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan jumlah HPH sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektar. Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional. Belum lagi termasuk angka penebangan hutan akibat illegal logging, perladangan berpindah (shifting cultivation), alih fungsi hutan dan lainnya yang angkanya diperkirakan mencapai hampir tidak kurang dari 8,3 juta ha.
Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2020-2124, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektar (2018), yang terdiri dari lahan kritis dalam hutan konservasi 880.772 hektar, hutan lindung 2.379.371 hektare hutan produksi 5.109.936 hektar, kawasan lindung pada APL (Areal Penggunaan Lain) 2.234.657 hektar, dan kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektar.
Sejak 1990, angka deforestasi tertinggi terjadi pada 1996-2000, yaitu 3,51 juta hektar per tahun, lalu menurun pada tahun berikutnya. Selama 2014-2015, total deforestasi di Indonesia mencapai 1,1 juta hektar, lalu menurun menjadi 630.000 hektar pada 2015-2016 dan terus menurun lagi menjadi 496.370 hektar pada 2016-2017. Pulau terluas deforestasi adalah Kalimantan dan Sumatera.
Deforestasi Versus Reforestasi
Sayangnya angka lahan kritis dalam kawasan hutan yang seluas 13,36 juta hektar, nampaknya belum banyak berkurang bahkan terdapat kecenderungan untuk bertambah dengan angka-angka baru laju deforestasi yang selalu ada setiap tahun, meski Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim bahwa sejak tahun 2015 angka laju deforstasi terus menurun.
Kemampuan pemerintah melaksanakan rehabilitasi hutan (reforestasi) di kawasan hutan yang rusak hanya 200.000 hektare per tahun. Sementara laju deforestasi 450.000 hektare per tahun dengan luas hutan kritis 13,36 juta hektar. Disisi lainpun, keberhasilan rehabilitasi hutan yang dilakukan pemerintah selama ini dipertanyakan. KLHK selama ini hanya mengkonversi kegiatan rehabilitasi hutan berdasarkan jumlah bibit tanaman hutan yang disiapkan dan atau jumlah luas bibit tanaman hutan yang ditanam dilapangan. Padahal, tanaman hutan yang dinyatakan berhasil adalah apabila anakan ditanam telah berubah menjadi tpohon dewasa yang berusia antara 15 - Â 20 tahun. Jadi, anakan/bibit yang baru ditanam belum dapat dikonversi sebagai keberhasilan rehabilitasi hutan karena peluang untuk tumbuh menjadi pohon dewasa masih kecil/rendah.
KLHK pernah merilis pada bulan April 2020, hasil pemantaun hutan pemantauan hutan Indonesia menunjukan secara netto deforestasi Indonesia tahun 2018-2019 terjadi kenaikan sebesar 5,2%. Namun demikian untuk deforestasi bruto terjadi penurunan sebesar 5,6%. Deforestasi bruto adalah deforestasi yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan hutan. Sedang deforestasi netto adalah deforestasi yang terjadi setelah dikurangi angka reforestasi. Â Menurut Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK, deforestasi netto tahun 2018-2019, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 462,4 ribu ha. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dengan dikurangi angka reforestasi (hasil pemantauan citra satelit) sebesar 3,1 ribu ha.Â
Sementara dalam rilisnya 3 April 2021, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH) KLHK Belinda A. Margono, menjelaskan bahwa angka deforestasi bruto tahun 2019-2020 sebesar 119,1 ribu ha, dan angka reforestasinya sebesar 3,6 ribu ha. Sementara angka deforestasi bruto tahun 2018-2019 sebesar 465,5 ribu ha, dan angka reforestasinya sebesar 3 ribu ha. Pertanyaan yang timbul adalah berapa luas angka luas reforestasi sesungguhnya yang telah dinyatakan berhasil ? Kenapa hanya menyebut angka 3,0 ribu hektar  untuk tahun 2018-2019 dan 3,6 ribu hektar untuk tahun 2019-2020. Sebenarnya hasil reforestasi ini merupakan tanaman tahun berapa dan umur berapa yang dinyatakan berhasil.
Reforestasi yang telah dilakukan oleh pemerintah cq  Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian dan berubah menjadi Departemen Kehutanan serta terakhir menjadi KLHK,  telah dilakukan kegiatan ini selama 44 tahun yang lalu melalui Inpres Reboisasi dan Penghijauan sejak tahun 1976 dengan luas ratusan ribu hektar bahkan jutaan hektar dengan menelan dana yang cukup banyak , berapa sesungguhnya yang telah dinyatakan berhasil dari pantaun citra satelit tersebut. Sampai dengan saat ini, tidak ada satupun penjelasan resmi dari pihak KLHK mengenai hal ini.
 Apakah program rehabilitasi hutan yang dilakukan pemerintah selama ini lebih banyak gagalnya dibanding yang berhasil sehingga tidak perlu diekspose dan dirilis sebagaimana keberhasilan KLHK dalam menekan laju deforestasi. Entahlah,  yang jelas dan dapat menjawabnya adalah berpulang kepada pemerintah yang dalam hal ini adalah KLHK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H