Masih membekas rekaman ingatan kita, tentang musibah banjir bandang yang menerjang Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua tahun 2019 lalu. Kerusakan kawasan hutan Cagar Alam (CA) Cycloop yang menimbulkan banjir bandang dan menelan korban jiwa cukup banyak. Pegunungan Cycloop yang dtetapkan pemerintah sebagai cagar alam pada tahun 1978, dengan luas 22.500 hektare mencakup dua wilayah Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Di Kabupaten Jayapura seluas 15.000 ha. Kerusakan di sekitar pegunungan Cagar Alam Cyclop, Sentani, Kabupaten Jayapura, hingga ke Kota Jayapura makin masif setiap tahun. Lahan kritis di sekitar kawasan itu terus bertambah. Data terakhir tahun 2018, lahan kritis dan rusak yang terdapat dalam cagar alam ini mencapai kurang lebih 1000 ha atau sekitar 7,7 persen dari luas total kawasan.  CA Cycloop nampaknya mempunyai fungsi ganda, disamping mempertahankan  menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, pegunungan Cycloop mempunyai fungsi hydroologis menjaga ketersediaan air bagi masyarakat kota Jayapura dan sekitarnya.
Sebagai kawasan konservasi nampaknya perlindungan, penjagaan, pengamanan cagar alam tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Praktek perambahan kawasan cagar alam harus segera dihentikan secepatnya apapun alasannya. Oleh karena itu, kawasan cagar alam wajib dijaga dan dipertahankan tutupan hutannya. Tidak boleh ada aktivitas manusia berkebun atau berladang disitu. Jika melanggar, penegakan hukum konsekuensinya. Kegiatan pencegahan harus menjadi prioritas bagi pemangku kepentingan khususnya pemegang otoritas CA Cycloop yaitu Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam (BBKSDA) provinsi Papua. Daerah penyangga menjadi amat mendesak untuk ditetapkan apabila dimungkinkan. Dengan daerah penyangga, pemerintah (BBKSDA) dan pemerintah daerah kabupaten Jayapura dapat melakukan pembinaan fungsi dengan kegiatan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan peningkatan produktivitas lahan. Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah  CA Cyloop dapat dipulihkan dan ditata kembali kawasannya?.
Regulasi Penataan Kawasan
Secara normatif, semua kawasan konservasi baik kawasan suaka alam (KSA) maupun kawasan pelestarian alam (KPA) dapat dilakukan penataan kawasan berdasarkan peraturan pemerintah (PP) no. 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) sebagai turunan undang-undang (UU) no. 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dan peraturan menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan no. P.76/2015 tentang kriteria zona pengelolaan taman nasional dan blok pengelolaan suaka alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata alam.
Dalam PP no. 28/2011 pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa penataan kawasan konservasi selain taman nasional dapat dilakukan dengan penyusunan blok pengelolaan dan penataan wilayah kerja. Â Blok pengelolaan pada KSA dan KPA selain taman nasional meliputi a) blok perlindungan; b) blok pemanfaatan; dan c) blok lainnya. Sedangkan penataan wilayah kerja meliputi a) pembagian wilayah kerja ke dalam unit pengelola dan seksi wilayah kerja; b) pembagian seksi wilayah kerja ke dalam unit yang lebih kecil. Sementara peraturan menteri LHK no. P.76/2015 dalam pasal 11 menyebutkan bahwa kriteria blok pengelolaan CA meliputi a. kriteria blok perlindungan/ perlindungan bahari yang terdiri dari 1) memiliki ekosistem atau merupakan perwakilan tipe ekosistem atau fenomena/gejala alam dan formasi geologi yang masih asli dan alami; 2) sebagai areal konsentrasi komunitas tumbuhan atau satwa/biota utama; 3) tingkat ancaman manusia rendah; dan/atau 4) tempat singgah satwa migran secara periodik ; b. kriteria blok rehabilitasi merupakan wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem; c. kriteria blok religi, budaya dan sejarah merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai blok perlindungan/perlindungan bahari yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah; d. kriteria blok khusus, meliputi : 1) terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak dapat dielakkan; 2) merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan tersebut sebagai CA; dan/atau 3) memenuhi kriteria sebagai wilayah pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan yang keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan. Namun demikian, dalam pasal 17 dalam peraturan menteri yang sama disebutkan bahwa dalam blok perlindungan, blok rehabilitasi, blok religi dan blok khusus; kegiatan yang dapat dilakukan dari keempat blok tersebut relatif sama dengan kegiatan yang dapat dilakukan dalam blok perlindungan.
Kondisi ini dapat dimaklumi karena dua regulasi tersebut (PP dan Permen) masih diikat oleh dua regulasi yang berada diatasnya yakni undang-undang (UU) no. 41/1999 tentang kehutanan dan UU no.5/1990 tentang konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya. Undang undang no.5 tahun 1990, menyatakan di dalam cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam kecuali pembinaan habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka marga satwa. Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam meliputi mengurangi, menghilangkan  fungsi dan luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli. Nampaknya aturan perundangan mengisyaratkan bahwa prioritas tertinggi yang harus dilindungi, dijaga dan dipertahankan ekosistem habitat dan kawasannya  (high protected priority), adalah  cagar alam dan zona inti taman nasional.
Cara Pemulihan CA
Untuk menjaga kekhasan, keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya, undang undang no.41 tahun 1999 mengatur bahwa kawasan konservasi cagar alam dan zona inti taman nasional tidak diizinkan/diperbolehkan dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan  yang dimaksud dapat dilakukan  di semua hutan dan kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Rehabilitasi hutan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif (pasal 41, UU no.41/1999).
Seharusnya dengan pengaturan yang sangat jelas dan tegas dalam UU no.5/1190 dan UU no.41/1999, tidak ada ruang lagi pengaturan turunan undang undang (peraturan pemerintah maupu peraturan menteri LHK) pada kawasan cagar alam sebagaimana zona inti taman nasional, namun pada kenyataannya dalam PP no. 28/2011 tentang pengelolaan kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA) (pengelolaan taman buru (TB) malah belum diatur padahal taman buru masuk dalam salah satu dari tiga kawasan hutan konservasi selain KSA dan KPA), cagar alam sebagai bagian dari KSA diberlakukan hal yang sama dengan KPA dalam penyelenggaraanya yang meliputi kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan evaluasi kesesuaian fungsi. Dalam perencanaan KSA khususnya penataan kawasan, dalam kawasan cagar alampun diatur penyusunan blok pengelolaan. Blok yang dimaksud adalah blok perlindungan, blok pemanfaatan dan blok lainnya.  Blok lainnya antara lain adalah  blok perlindungan bahari, blok koleksi tumbuhan dan atau satwa, blok tradisional, blok rehabilitasi, blok religi, budaya, dan sejarah, dan blok khusus.
Kalau seandainya diperlukan adanya  penyusunan rencana pengelolaan cagar alam dalam penataan kawasan perlu dipilih penataan blok yang terkait langsung blok perlindungan dan pemanfaatan serta blok koleksi tumbuhan dan atau satwa. Blok lainnya apalagi blok rehabilitasi sedapat mungkin dapat dihindari karena secara tersirat kontradiktif dengan UU no.41/1999 yang menaunginya.
Sayangnya, dalam turunan peraturan dibawahnya yaitu peraturan menteri LHK no. P.76/2015 tentang kriteria zona pengelolaan taman nasional dan blok pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata alam, pasal 11 ayat (c) secara tersurat menyebutkan bahwa kriteria blok rehabilitasi merupakan wilayah yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan ekosistem. Pasal ini jelas bertentangan dengan pasal 41 UU no. 41/1999. Pemulihan ekositem dalam kawasan cagar alam menurut PP no. 28/2011 pasal 29 ayat (2) dalam KSA dan KPA dapat dilakukan melalui mekanisme alam, rehabilitasi dan restorasi. Mekanisme alam dilakukan menjaga dan melindungi ekosistem agar proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami. Rehabilitasi dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut. Sedangkan restorasi dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemulihan ekosistem di kawasan cagar alam yang rusak hanya dapat dilakukan dengan mekanisme alam atau istilah ilmu ekologi disebut dengan suksesi alami. Sedangkan kegiatan restorasi apalagi rehabilitasi sekali lagi tidak dibolehkan/diizinkan oleh undang undang karena terdapat unsur kegiatan penanaman, pengkayaan, pemeliharaan dan sejenisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H