Seperti yang sudah diprediksi dalam tulisan saya terdahulu di Kabar Baru Forest Digest yang berjudul Lima Konsekuensi Perhutanan Sosial Masuk UU Cipta Kerja, tanggal 30 Oktober 2020 yang dalam salah satu alinea ditulis perlu penegasan beda antara hak pengelolaan dan perizinan berusaha.Â
Selama ini yang berlaku pada lima kegiatan hutan kemasyarakatan menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.86/2016 yang tergolong hak pengelolaan hanya kegiatan hutan desa. Â
Sedangkan hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat masuk dalam katagori izin usaha (perizinan berusaha). Hutan adat dan kemitraan kehutanan tidak termasuk keduanya.Â
Ternyata, dengan terbitnya peraturan pemerintah (PP) no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, yang merupakan derivative (turunan) (UU) no.11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan terjawab sudah bahwa  5 (lima) kegiatan Perhutanan Sosial bukan masuk dalam katagori perizinan berusaha tetapi masuk dalam wilayah pengelolaan kawasan hutan.Â
Keduanya, baik perizinan berusaha maupun perhutanan sosial sama-sama memanfaatkan  kawasan hutan khususnya hutan lindung dan hutan produksi meskipun skemanya berbeda.Â
Pemanfaatan hutan lindung dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat (UU no. 11/2020 pasal 26 ayat (2)). Pemanfaatan hutan produksi dilakukan dengan pemberian Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat (Pasal 28 ayat (2)). Â
Pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28 dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Lalu apa bedanya yang mendasar antara perizinan berusaha dengan pengelolaan kawasan hutan ?.
Perizinan Berusaha
Istilah perizinan berusaha yang terdapat dalam UU no. 11/2020 tentang  Cipta Kerja tentang kehutnan adalah istilah yang dikembangkan dari istilah izin usaha yang terdapat dalam UU no. 41/1999 tentang kehutanan.Â
Dalam UU no. 11/2020, perizinan berusaha dari pemerintah pusat untuk pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Sedangkan perizinkan berusaha dari pemerintah pusat untuk pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.Â
Perizinan berusaha untuk pemanfaatan hutan lindung maupun hutan produksi dapat diberikan kepada : a) perseorangan; b) koperasi; c) badan usaha milik negara; d) badan usaha milik daerah; atau e) badan usaha milik swasta.
Perizinan berusaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi diberikan oleh Menteri. Perizinan berusaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung diproses melalui Sistem OSS (Online Single Submission) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Setiap pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi berhak melakukan kegiatan usaha dan memperoleh manfaat dari hasil usahanya.
Setiap pemegang perizinan berusaha diberikan kewajiban yang salah satunya adalah dikenakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dibidang kehutanan.Â
PNBP dibidang kehutanan dapat berupa dana reboisasi (DR), dana investasi untuk pelestarian hutan, provisi sumber daya hutan (PSDH), iuran perizinan berusaha pemanfaatan hutan (IPBPH) dan iuran/pungutan lain yang sah sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku.Â
Jangka waktu kegiatan usaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi paling singkat 35 (tiga puluh lima) tahun. Kegiatan usaha pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi oleh Menteri.
Pemanfaatan kawasan hutan (baik hutan lindung, hutan produksi maupun hutan konservasi) harus mengantongi/memegang perizinan berusaha dalam pemanfaatan kawasan hutan yang diberikan Menteri dan masuk dalam wilayah atau bagian Pemanfaatan Hutan dalam PP no. 23/2021.
Pengelolaan Kawasan Hutan
Untuk tujuan mewujudkan kelestarian hutan, kesejahteraan masyarakat, keseimbangan lingkungan, dan menampung dinamika sosial budaya, diperlukan pemberian persetujuan, pengakuan, dan peningkatan kapasitas kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu, kegiatan perhutanan sosial bersama dengan kegiatan lainnya, dalam PP no.23/2021 masuk dalam katagori kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) (pasal 108 ayat (1b). Â
Kawasan hutan dengan pengelolaan khusus ditetapkan untuk kepentingan : a) perhutanan sosial; b) penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan; c) penggunaan kawasan hutan; d) rehabilitasi hutan; e) perlindungan hutan; atau f) pemanfaatan jasa lingkungan.
Pengelolaan Perhutanan Sosial , terdiri atas: a). Hutan Desa (HD); b) Hutan Kemasyarakatan (HKm) ; c) Hutan Tanaman Rakyat (HTR); d) Hutan Adat (HA); dan e) Kemitraan Kehutanan (KK). Pada kawasan hutan konservasi dapat diberikan persetujuan Kemitraan Konservasi. Sedangkan dalam kawasan hutan lindung dapat diberikan persetujuan sebagai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan/atau Kemitraan
Kehutanan. Dalam kawasan hutan produksi dapat diberikan persetujuan sebagai Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, HTR, dan/atau Kemitraan Kehutanan.
Kegiatan pengelolaan perhutanan sosial meliputi: a) penataan areal dan penyusunan rencana; b) pengembangan usaha; c) penanganan konflik tenurial; d) pendampingan; dan e) kemitraan lingkungan. Pengembangan usaha huruf b, terhadap pemanfaatan hutan pada pengelolaan perhutanan sosial, meliputi: a) pemanfaatan kawasan; b) pemanfaatan jasa lingkungan; c) pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau pemungutan hasil hutan kayu; dan d). pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan/atau pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pengembangan usaha pengelolaan perhutanan sosial dapat dilakukan secara mandiri oleh pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dan/atau bekerja sama dengan para pihak.
Pengelolaan perhutanan sosial dapat diberikan kepada: a) perseorangan; b) kelompok tani hutan; dan c) koperasi. Akses legal berupa persetujuan pengelolaan perhutanan sosial dalam kawasan hutan diberikan oleh Menteri.
Jangka waktu pengelolaan perhutanan sosial selain Hutan Adat (HA) diberikan paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang.
Setiap pemanfaatan hasil hutan pada persetujuan pengelolaan perhutanan sosial hanya dikenakan PSDH dan/atau DR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Â
Pemegang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial tidak diwajibkan /dikenakan dana investasi untuk pelestarian hutan, provisi sumber daya hutan (PSDH), iuran perizinan berusaha pemanfaatan hutan (IPBPH) dan iuran/pungutan lain yang sah sesuai dengan ketentuan/peraturan yang berlaku selain PSDH dan atau DR.
Dalam perkembangannya yang terkini, pengelolaan perhutanan sosial di pulau Jawa dan Madura, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana mengambil alih kewenangan pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani yang selama ini mengelola hutan seluas 2,4 juta hektar, dengan memangkas luas hutannya  1 (satu) juta hektar untuk dijadikan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), di mana rakyat bisa masuk mengelola dengan format Perhutanan Sosial. Rencana ini sebagai konsekuensi dari terbitnya PP no.23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, meskipun terdapat penolakan beberapa anggota DPR  Komisi IV secara pribadi.
 Areal pemangkasan itu akan ditetapkan sebagai KHDPK untuk Perhutanan Sosial, Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, Rehabilitasi Hutan, Perlindungan Hutan, atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan. Untuk Perhutanan Sosial, ada lima skema, yakni Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan Kehutanan, atau  Hutan Adat. Skema ini yang akan jadi peluang emas rakyat mengelola hutan di Jawa.Â
Dengan demikian, target kegiatan perhutanan sosial nantinya akan bertambah 1 (satu) juta hektar menjadi 13,7 juta hektar, yang realisasinya hingga hari ini baru mencapai lebih dari 4 juta hektar. Pengelolaan kawasan hutan (termasuk didalamnya pengelolaan perhutanan sosial) yang harus mengantongi persetujuan pengelolaan kawasan hutan yang diberikan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas nama Menteri adalah masuk dalam dua wilayah atau bagian yaitu Penggunaan Kawasan Hutan dan Pemanfaatan Hutan  dalam PP. no. 23/2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H